SELAIN tradisi Meamuk-amukan dari Desa Padangbulia, ada satu atraksi seni dari Kabupaten Buleleng yang juga ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia. Atransi seni itu adalah Janger Kolok. Sertifikat WBTB itu diserahkan oleh Gubernur Bali Wayan Koster Kepada Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng Nyoman Wisandika, bersamaan penutupan Bulan Bahasa Bali di Taman Budaya Bali, Denpasar, Sabtu 1 Maret 2025.
“Ditetapkannya tradisi dan atraksi seni dari Buleleng itu sebagai WBTB Indonesia bukan sekadar kebanggaan, tetapi juga amanah bagi seluruh masyarakat untuk menjaga dan melestarikan warisan leluhur,” kata Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng Nyoman Wisandika.
Janger kolok memang layak ditetapkan jadi WBTB Indonesia. Selain memiliki sisi-sisi unik yang sangat menarik, janger kolok juga memiliki semacam “keajaiban” yang membuat karya seni itu kerap jadi obyek penelitian dari sejumlah pakar di dunia.
Didirikan Tahun 1969
Menurut Ketut Kanta, Ketua Paguyuban Janger Kolok—yang juga dikenal sebagai penyambung lidah masyarakat kolok Desa Bengkala—kesenian janger kolok didirikan oleh (almarhum) Wayan Nedeng (sosok yang bisa berkomunikasi menggunakan bahasa kolok) pada 1969 di Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali. Tak terang betul latar belakang (atau motif) pembentukan sekaa janger yang beranggotakan orang-orang kolok (tuna rungu berbicara) ini, kecuali narasi “pemberdayaan”.
Namun, yang jelas, kelompok kesenian ini menjadi bukti bahwa kesenian begitu dinamis—bisa dinikmati, digarap, dikreasikan oleh siapa pun, termasuk masyarakat kolok Desa Bengkala.
Secara umum, Janger merupakan jenis tarian pergaulan, terutama bagi muda-mudi, yang sangat populer di Bali. Kesenian ini ditarikan oleh, kurang lebih, 10 pasang muda-mudi. Selama tarian berlangsung, kelompok penari wanita (janger) dan kelompok penari pria (kecak) akan menari dan bernyanyi, bersahut-sahutan.
Pada umumnya, lagu-lagu yang digunakan bersifat gembira, ceria, romantis, penuh rayuan. Sedangkan gamelan yang biasa dipakai mengiringi tari janger disebut batel (tetamburan) yang dilengkapi sepasang gender wayang.
Yang membedakan tari janger dengan janger kolok adalah senimannya. Tari janger biasanya ditarikan oleh orang normal; sedangkan janger kolok ditarikan orang tuna rungu-wicara. Nyanyian dalam janger kolok hanya menggunakan bahasa isyarat—atau suara-suara yang sebisa mungkin dihasilkan dari orang tuli-bisu.
Janger kolok secara logika begitu rumit untuk dipahami. Mereka menerobos batas-batas kenormalan dalam penciptaan seni. Apalagi seni tari, yang notabene menggunakan suara musik sebagai pengalun jiwa tarian. Melalui janger, orang-orang kolok Bengkala bersikeras menuangkan ekspresi kreatif yang khas—dengan emosi yang meledak dan menerobos aturan-aturan lazim.
- BACA JUGA:
Janger kolok dapat memecah kenormalan janger yang selama ini dikenal sebagai seni gerak dan nyanyian. Ia eksis di panggung-panggung festival besar macam Pesta Kesenian Bali (PKB) atau hajatan-hajatan pemerintah lainnya.
Pada awal pembentukan, sebagaimana diungkapkan Ni Nyoman Murni dalam Perkembangan Sekaa Janger Kolok di Desa Bengkala Periode 1998-2011, pakaian dan asksesoris sekaa janger kolok mengalami perkembangan. Tahun 70-80an penari janger kolok memakai kebaya, senteng, dan kamen. Sedangkan yang kecak hanya menggunakan udeng dan kamen. Namun, pada periode selanjutnya sampai sekarang, pakaian mereka terlihat lebih modern dengan menggunakan gelungan, kamen, kepet, selendang, dan lain-lain; sementara pemain kecak memakai udeng, rompi, saput, dan kamen.
Dalam jurnal Kesetaraan Hak Warga Kolok sebagai Wujud Integrasi Sosial Warga Desa Bengkala (2021), Chrisantya Angelita mengungkapkan bahwa proses pembelajaran gerakan tari janger berjalan cukup lama, yaitu 3-5 bulan. Hal tersebut wajar terjadi, sebab warga kolok belum ada yang pernah belajar menari. Pada mulanya, gerakan tari Janger Kolok adalah gerakan tari Janger pada umumnya—yang menampilkan gerakan tari Kecak. Gerakan itu juga dikolaborasikan dengan gerakan pencak silat yang menggunakan senjata tajam.
Dalam perkembangannya terdapat perubahan koreografi pada tari Sekaa Janger Kolok Bengkala sehingga gerakan pencak silat tidak lagi ditampilkan.
Menurut C. Angelita dalam penelitiannya, Eksistensi Sekaa Janger Kolok di Desa Bengkala, Buleleng, Bali (2021), Tari Janger Kolok biasanya dipentaskan pada acara-acara hiburan. Sekaa Janger Kolok pertama kali pentas di acara yang digelar oleh saudara Wayan Nedeng. Acara tersebut digelar di Desa Jagaraga. Saat itu, akses jalan menuju Jagaraga masih sulit, harus menyebrangi sungai dan mendaki tebing. Belum ada transportasi yang bisa mengantar, sehingga perjalanan menuju Jagaraga ditempuh dengan berjalan kaki. Di awal perkembangannya, Sekaa Janger Kolok belum diupah seperti sekarang.
Sebagai ganti upah, seniman kolok hanya diberikan konsumsi. Lama kelamaan kabar keberadaan Sekaa Janger Kolok semakin meluas beredar. Sekaa Janger Kolok sudah pernah tampil di berbagai acara nasional bahkan internasional.
Sampai di sini, sebagaimana telah diungkapkan I N Payuyasa dalam Eksistensi dan Perspektif Nilai Moral Janger Kolok di Desa Bengkala Singaraja (2016), keberadaan Sekaa Janger Kolok memberi warna baru—yang unik—dalam sejarah seni budaya di Bali. Sebelumnya, warga kolok tidak diperhitungkan dalam melestarikan kebudayaan. Salah satu apresiasi untuk Sekaa Janger Kolok yaitu kesempatan untuk pentas dalam acara Pesta Kesenian Bali 2002.
Pemerintah membantu perkembangan Sekaa Janger Kolok sebagai wujud kepedulian terhadap budaya lokal. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari pakaian penari yang lebih modern. Dalam perkembangannya, antusias warga terhadap Sekaa Janger Kolok terus meningkat.
Tari Janger Kolok menunjukkan potensi warga kolok di bidang seni. Potensi ini juga dikembangkan melalui program KEM (Kawasan Ekonomi Masyarakat) Kolok Bengkala, di mana warga kolok diajarkan beberapa variasi tarian baru di samping belajar baca-tulis-hitung. Alhasil, sekarang warga kolok bisa menampilkan Tari Baris Bebek Bingar Bengkala (Baris Bebila), Tari Jalak Anguci, dan Tari Puspa Arum Bengkala.
Berbagai Cerita Rakyat
Kisah ini diceritakan secara turun-temurun. Wajar bila Penyarikan Desa Adat Bengkala Ketut Darpa dapat menceritakannya kembali dengan baik. Kepada Jembrana Express (2024) ia bercerita tentang sekelumit asal-usul nama Bengkala secara etimologis. Menurutnya, nama Bengkala berasal dari dua kata: Bang dan Kala. Bang berarti merah, dan kala itu waktu.
“Sesuai dengan cerita para tetua kami, katanya dulu ada penjarah yang datang dari luar Bali. Mereka bertanya (kepada masyarakat setempat), tetapi tidak dijawab, diduga karena tidak nyambung (mengerti) bahasanya. Mungkin si penjarah itu memiliki janana tinggi, sehingga dikutuklah warga setempat itu. Lalu si penjarah menamakan desa ini Bang Kala—karena datang di saat matahari memerah di ufuk barat. Itu dari sudut mitologi,” tutur Ketut Darpa.
- BACA JUGA:
Ada versi lain yang berkembang. Dulu, ceritanya, masyarakat Bengkala hidup nomaden, berpindah-pindah, sebelum menetap di Bengkala (nama desa saat ini). Di Bengkala mereka bertetangga dengan Desa Batu Pimula atau yang saat ini dikenal dengan Desa Bila.
“Leluhur kami selalu diajak adu babi. Saat adu babi (dimulai), masyarakat Desa Batu Pimula mengeluarkan bangkal atau induk babi. Namun, leluhur kami bersiasat dengan membawa kucit (anak babi). Ketika diadu, kucit itu langsung mencari bangkal dan hendak menyusu. Sehingga larilah bangkal itu. Jadilah nama Bangkala,” terang Darpa.
Sebagai semacam bukti peristiwa adu babi tersebut, Darpa mengungkapkan bahwa di Desa Bengkala terdapat pelinggih Ratu Bawi di Pura Puseh. Pelinggih inilah yang dihaturkan sesajen saat upacara nedeh. Kemudian, oleh para arkeolog patung ini diteliti dan disimpulkan sebagai Arca Nandi, lingganya Siwa.
“Tetapi bentuk pelinggihnya seperti babi. Nah, kalau orang yang punya ternak babi agar ternaknya sehat, biasanya mereka nunas di pelinggih Ratu Bawi,” ujar pria yang juga sebagai guru di SMPN 1 Kubutambahan ini.
Terkait keberadaan warga kolok di Bengkala, Darpa merujuk pada Prasasti Bengkala yang belum diketahui pasti angka tahunnya. Pastinya, di prasasti itu memuat jika masyarakat Desa Bengkala diperlakukan semena-mena oleh admak akmitan apigajih (para petugas pemungut pajak) setiap bulan cetra (sasih kesanga) dari pihak kerajaan di Indrapura. Warga Bengkala bahkan diwajibkan membayar 27 jenis pajak.
Atas sikap pemungut pajak yang sewenang-wenang, tak pelak membuat masyarakat Bengkala meradang dan melakukan perlawanan. Salah satunya dengan mengabaikan perintah raja. Mereka tidak hormat, tidak mau bekerja, serta tidak mau bicara.
“Ditanya diam, disuruh bekerja tidak mau, tidak mau dengar perintah Maharaja Jayapangus. Kalau bahasa sekarang, mungkin mogok—mogok bicara, mogok bekerja, dan tidak mau tunduk kepada perintah raja. Tentu saja raja marah, sehingga dikutuk menjadi kolok sampai seribu tahun,” jelas Darpa.
Atas kutukan tersebut, empat perwakilan masyarakat Bengkala dipanggil ke Kerajaan Indrapura untuk menghadap Maharaja. Mereka yang dipanggil adalah Bapane I Marungua, Bapane I Pait, Bapane Kerti, Bapane Timur Jati. Mereka dipanggil untuk menyampaikan keluh kesah. Dari sanalah akhirnya empat tokoh tersebut menceritakan kondisi masyarakat Bengkala sembari menyerahkan prasasti. Sehingga Bengkala diakui sebagai desa mandiri.
“Apakah kutukan dari Maharaja itu yang menyebabkan masyarakat kami kolok? Tentu kami tidak berani memastikan. Apalagi dulu, suara raja adalah suara Tuhan,” katanya lagi.
Orang Kolok Bengkala
Dalam Kesetaraan Hak Warga Kolok sebagai Wujud Integrasi Sosial Warga Desa Bengkala (2021), Chrisantya Angelita mencatat terdapat 43 warga tuli bisu (kolok) di Desa Bengkala. Terlepas dari mitos yang berkembang menjadi cerita rakyat tentang kutukan Sri Maharaja Jayapangus kepada warga Bengkala yang menolak dipungut pajak, menurut A.S Michi (2017), fenomena ini disebabkan oleh perkawinan endogami lokal yang dipraktikkan dari generasi ke generasi pada populasi kecil. Alhasil, warga kolok tersebar di 14 dadia (klan) Desa Bengkala.
Lebih dulu, penelitian medis yang dilakukan John Hinan dari Universitas Archipelago, Amerika Serikat, pada tahun 1993, dari 200 orang Bengkala yang diambil sampel darahnya, berpeluang memiliki keturunan kolok. Sedangkan pada 1998, ada penelitian yang mengatakan bahwa kelainan pendengaran yang dialami kolok di Desa Bengkala merupakan kelainan yang bersifat genetik—dengan rumus genetik DFNB3 yang memiliki kemiripan struktur dengan sebuah gen di India.
“Jadi itu genetik. Suami-istri normal, anaknya bisa saja kolok. Atau orang suami-istri kolok, anaknya belum tentu kolok. Saat ini warga kolok di Bengkala sebanyak 44 orang. Rinciannya, 24 orang berjenis kelamin perempuan, dan 20 orang berjenis kelamin laki-laki,” ujar Ketut Darpa.
- BACA JUGA:
Meski tak bisa berbicara layaknya manusia pada umumnya, warga kolok Desa Bengkala tetap biasa bergaul, bermasyarakat, bersosial. Sejauh ini, mereka tidak pernah mendapat diskriminasi—walaupun tetap tak terhindarkan dari konflik-konflik kecil. Jika ada konflik antara warga kolok dengan warga lainnya, I Komang Wisnu selaku pembina warga kolok yang akan menjadi penengahnya.
Menurut Komang Wisnu, biasanya konflik yang timbul disebabkan karena miskomunikasi. Di Bengkala, warga kolok mendapat kesempatan yang setara dengan warga pada umumnya.
Di bidang kesenian, misalnya, warga kolok Bengkala berhimpun di Sekaa Janger Kolok Bengkala. Untuk pendidikan, mereka belajar di SDN 2 Bengkala—sekolah inklusi bagi warga kolok—walaupun tak semua dapat mengaksesnya, khususnya orang kolok dewasa.
Di bidang ekonomi, warga kolok mendapat kesempatan kerja yang sama. Warga kolok juga mempunyai hak berpendapat. Mereka kerap dilibatkan dalam pertemuan rapat desa. Mereka juga mempunyai hak pilih dalam pemilu.
Namun, soal pendidikan, pada 2019, dari total kolok di desa tersebut, National Geographic Indonesia mencatat hanya ada 4 orang yang berpendidikan SMP, 5 orang lulus SD, sisanya 39 orang masih buta huruf.
“Sebelum 2007, komunitas tuli-bisu di Bengkala tidak mengenyam pendidikan. Namun, setelah ada inklusi, anak-anak kolok bisa belajar. Mereka ditempa berbagai ilmu matematika, sains, dan juga diajarkan tiga bahasa isyarat yang berbeda: lokal, Bisindo, dan ISL. Mereka diajarkan bersaing,” ujar I Made Arpana, mantan Kepala Desa Bengkala.
Pada pembukaan Asian Para Games 2018 di Jakarta, salah seorang anak kolok Bengkala, bersama 12 orang tuli-bisu lainnya, ikut serta menyanyikan Indonesia Raya dengan bahasa isyarat. Namanya I Ketut Ariana. Ia adalah salah satu anak kolok yang lulus SD Inklusi Bengkala dan memegang ijazah SD.
Ia bercerita, ketika sekolah, ia belajar dan bergaul bersama orang normal tanpa batasan. Ia mengaku senang belajar. Hanya saja, dalam bahasa isyarat ia mengatakan, kalau sekolah lanjutannya jauh di kota. Oleh karena itu, ia putus sekolah.
Keberadaan SD Inklusi di Desa Bengkala ternyata belum cukup mengeluarkan masyarakat kolok dari buta huruf. Banyak orang kolok dewasa yang tidak bisa ikut bersekolah di SD Inklusi karena faktor usia. Banyak juga anak kolok yang sudah lulus SD Inklusi, dan ingin meneruskan sekolah, harus putus harapan karena SMP Inklusi jauh dari desa—sekolah SMP Inklusi hanya ada di kota. Akibatnya, mereka seringkali lebih memilih bekerja selepas lulus SD untuk membantu ekonomi keluarga.
Pada 2013, FlipMas (Forum Layanan Iptek Masyarakat) Indonesia dan FlipMas Ngayah Bali menginisiasi program KEM (Kawasan Ekonomi Masyarakat) Kolok Bengkala—yang kemudian mendapat dukungan PT Pertamina (Persero) DPPU Ngurah Rai pada 2015.
Menurut I Wayan Karyasa, anggota FlipMas Ngayah Bali Divisi Pendidikan, yang juga adalah dosen Universitas Pendidikan Ganesha, ada tiga komponen dalam program edukasi di KEM. Terdiri dari keaksaraan dasar di mana masyarakat kolok belajar calistung (baca-tulis-hitung), keaksaraan fungsional di mana mereka memelajari ilmu alam, ilmu sosial, berhitung, dan lain-lain lewat keterampilan sosial, lalu melanjutkan pendidikan SMP Inklusi. Akhirnya, bentuk pendidikannya adalah SPNF (Satuan Pendidikan Nonformal)—karena usia yang belajar berbeda-beda, tidak bisa dijadikan pendidikan formal.
Keberlangsungan program edukasi KEM Kolok Bengkala ini sehari-hari dapat berjalan berkat bantuan Ketut Kanta selaku guru dan pembina program, serta para tutor dari Universitas Pendidikan Ganesha. Di sela jadwal kuliah yang padat, para tutor ini secara sukarela mengajar masyarakat kolok, baik itu dalam keaksaraan dasar maupun keaksaraan fungsional yang kegiatan belajarnya bertempat di antara KEM atau ruang kelas SDN 2 Bengkala.
Dalam keaksaraan fungsional, ada lima mata pelajaran yang sudah dimulai sejak tujuh tahun yang lalu, yakni belajar mejejahitan (canang, sesajen), memasak, belajar batik lukis, membuat keripik, dan menyulam. Yang belum terlaksana adalah membuat dupa. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh peserta program menjadi objek pendidikan. Selayaknya sembari menyelam minum air, mereka bisa belajar ilmu berhitung atau ilmu alam sekaligus melatih life skill yang bisa digunakan di kehidupan nyata.
- BACA JUGA:
Selain itu, mereka juga mendapat pembinaan menenun, membuat kue, dan meramu jamu. Kain tenun yang dihasilkan warga kolok di KEM menjadi kain tenun khas dari Desa Bengkala. Kain tenun tersebut mempunyai motif kuda laut. Sedangkan aneka kue yang terbuat dari singkong, ubi, dan tepung terigu sudah terjual di pasar dan toko sekitar Desa Bengkala—warga kolok menjualnya sendiri. Begitu pula dengan jamu yang berbahan dasar kunyit.
Tak hanya memberikan fasilitas pendidikan bagi warga kolok, KEM Kolok Bengkala juga menyediakan kandang ternak, dan kebun untuk menanam berbagai tanaman pangan. Zero waste integrated farming diterapkan sebagai sistem peternakan, di mana limbah peternakan dikelola sehingga tidak mencemari lingkungan. Jadi, limbah dari sapi, babi, dan ayam diproses agar dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak.
Program edukasi Sekolah Inklusi Pra SMP ini memang belum berjalan lama, tetapi Kanta sebagai pendamping masyarakat kolok, merasakan perubahan positif yang terjadi secara bertahap. Masyarakat kolok kini lebih berani berkomunikasi dan bersosialisasi. Mereka pelan-pelan melek aksara.
Berdasarkan wawancara Dian Rahmani Putri dengan Ketut Kanta dalam Tuhan Orang-Orang Kolok Desa Bengkala (2020), dalam hal keagamaan, warga kolok di Desa Bengkala mengikuti peribadatan menurut agama Hindu Bali. Warga kolok juga biasa bersembahyang seperti orang normal. Kanta sering bertanya kepada warga kolok apakah mereka bisa bersembahyang? Jawaban mereka,meskipun mereka tidak bisa mengucapkan mantra, mereka bersembahyang dengan cara mereka sendiri, memohon kepada Tuhan (isyarat: menyembah dan menunjuk ke atas/ ke langit) agar sehat, bisa bekerja dengan baik, memperoleh rejeki dan permohonan lainnya.
Warga kolok juga mengetahui sembahyang purnama, tilem, dan lain-lain, biasanya mereka bersembahyang di Pura Dadia dan Pura Kahyangan Tiga.
Saat kegiatan upacara keagamaan, warga kolok dipercaya untuk melaksanakan tugas kebersihan di lokasi upacara atau di pura. Sebelum upacara dimulai, warga kolok bertugas untuk membersihkan lokasi upacara. Demikian pula setelah upacara keagamaan selesai, warga kolok kembali bertugas untuk membersihkan lokasi tersebut.
Mereka juga ditugaskan untuk membuat rajon, yaitu tempat untuk mencampur dan menyajikan lawar. Pada saat memasak untuk keperluan upacara, apabila aliran air terputus, dua-tiga orang kolok akan ditugaskan untuk mencari dan mengangkut air, sementara para kolok yang lain tetap membantu proses memasak.
Berdasarkan penjelasan ini, dapat ditemukan pula bahwa keaktifan warga kolok di Desa Bengkala juga tidak terlepas dari peran dan kesediaan warga desa yang normal untuk menerima, membantu, bahkan melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan keagamaan—walaupun warga kolok menempati posisi sebagai tenaga pendukung, tidak ada yang berperan sebagai pimpinan dalam upacara keagamaan. [T]
Reporter/Pengumpul Data: Tim Tatkala (Jas, Son, Rus, Ado)
Penulis: Jaswanto
Editior: Adnyana Ole
- BACA JUGA: