BANYAK harapan dari pemangku kepentingan di sektor pariwisata pada tahun 2025. Meski berbeda cara, harapan itu hampir sama. Peningkatan angka kunjungan wisatawan dan pendapatan dari sektor pariwisata adalah harapan semua pihak.
Sementara itu, industri pariwisata sangat sulit diprediksi perkembangannya. Itu semua karena pariwisata adalah industri yang menjual jasa pelayanan. Banyak faktor ikut berpengaruh terhadap fluktuasi bisnis pariwisata, seperti faktor resesi ekonomi, keamanan, dan bencana alam.
Kasus pandemi Covid-19 menjadi contoh, betapa industri pariwisata dunia terpuruk hampir lebih dari tiga tahun. Tragedi Bom Bali tahun 2002 juga berdampak sangat serius bagi pariwisata Tanah Air. Meski demikian, optimisme tetap perlu ditumbuhkan menyongsong pariwisata tahun 2025.
Mencermati perkembangan pariwisata Indonesia tahun 2024, sepertinya tren di tahun 2025 tidak terdapat perubahan yang terlalu drastis. Angka kunjungan tidak akan naik terlalu tinggi, mengingat kondisi perekonomian yang semakin tak menentu.
Tren pariwisata Indonesia tahun 2025 sangat dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu perilaku wisatawan, pilihan destinasi, dan kebijakan di sektor pariwisata. Ketiga hal itu akan menentukan pola pergerakan wisatawan, destinasi pilihan wisatawan, dan tata kelola pariwisata Indonesia ke depan.
Perilaku Wisatawan
Wisatawan di tahun 2025 sudah tidak lagi tergantung pada biro perjalanan dalam menentukan perjalanan wisatanya. Internet, media sosial, dan AI (Artificial Intelligence) akan dimanfaatkan untuk merencanakan, mencari informasi wisata, serta memutuskan pembelian produk wisata.
Kondisi ekonomi, baik global maupun nasional, memang belum mengembirakan. Namun perilaku wisatawan banyak yang didorong oleh fenomena doom spending. Fenomena ini mendorong wisatawan membeli produk wisata di tengah ketidakpastian ekonomi. Perilaku berwisata yang tidak rasional ini dipicu oleh emosi negatif, stres, kecemasan, maupun kemudahan dalam platform e-commerce.
Perilaku wisatawan yang doom spending biasanya melanda generasi Z dan milenial. Mereka tidak peduli dengan kesadaran finansial. Apa saja akan dibeli, termasuk membeli produk wisata. Promosi wisata yang menggiurkan akan menggoda wisatawan Z dan milenial. Apalagi didukung oleh prinsip hidup mereka YOLO (You Only Live Once), hidup hanya sekali; maka berwisata itu penting.
Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) juga masih mewarnai perilaku wisatawan. Wisatawan Z dan milenial masih terpengaruh oleh konten media sosial yang menampilkan destinasi wisata. Apalagi jika destinasi wisata populer yang dikunjungi oleh artis, figur publik, maupun influencer di media sosial.
Dampak pandemi Covid-19 mengubah perilaku orang dalam berwisata. Tahun 2025 wisatawan cenderung bersifat personal, mengunjungi objek wisata sendiri, bersama pasangan atau kelompok kecil. Bukan lagi berwisata dengan rombongan dalam jumlah besar. Berwisata lebih bernilai personal, bukan sosial.
Pilihan Destinasi
Terkait dengan pilihan destinasi wisata yang akan dikunjungi, wisatawan terbelah menjadi dua tipe. Pertama, adalah wisatawan yang lebih menyukai destinasi wisata massal yang populer. Pantai dan taman rekreasi menjadi objek wisata pilihannya. Alasannya sangat pragmatis, destinasi massal memungkinan wisatawan berinteraksi dengan orang dari berbagai penjuru, dan tersedia banyak fasilitas.
Sedangkan yang kedua, wisatawan yang lebih memilih destinasi wisata yang sepi dengan melakukan silent travelling. Alasannya lebih bersifat idealis dan futuristik, yaitu menjaga keberlanjutan destinasi dengan menikmati perjalanan wisata secara personal.
Kuliner akan menjadi faktor penting bagi wisatawan dalam menentukan destinasi wisata pilihannya. Saat berkunjung ke destinasi, wisatawan bukan hanya menikmati objek wisata saja, tetapi juga berburu kuliner. Apalagi konten media sosial saat ini banyak menyajikan tayangan beragam kuliner daerah.
Selain kuliner, atraksi seni budaya juga banyak diminati wisatawan di tahun 2025. Alasannya, wisatawan ingin mendapatkan pengalaman yang autentik dalam berwisata. Mengunjungi festival budaya, ritual adat daerah, maupun konser musik menjadi bagian dari agenda wisata seseorang.
Destinasi wisata yang mengusung konsep berkelanjutan menjadi pertimbangan wisatawan. Objek wisata yang sejuk, hijau, dan nyaman lebih dipilih ketimbang objek wisata yang ramai, padat, polutif, dan didera kemacetan lalu lintas setiap hari.
Tata Kelola
Pariwisata Indonesia di tahun 2025 sepertinya tidak ada perubahan yang signifikan dalam urusan tata kelola. Banyak pihak yang bergerak di sektor pariwisata bermain dengan wacana. Konsep pengembangan pariwisata begitu bagus, namun nihil implementasi seperti tahun-tahun sebelumnya.
Quality tourism atau pariwisata berkualitas menjadi pokok bahasan serius dalam setiap seminar dan pidato pejabat. Sayangnya, konsep ini juga acapkali menjadi sekadar wacana tanpa dibarengi tata kelola yang baik. Hotel, vila, dan resort pariwisata terus dibangun, seolah siap menampung wisatawan sebanyak mungkin.
Pariwisata berkelanjutan terus digaungkan. Akan tetapi banyak terjadi alih fungsi lahan produktif untuk kepentingan pariwisata. Tebing-tebing dibombardir untuk resort pariwisata. Perbukitan kehilangan keindahan lantaran tertutup wahana wisata. Perusakan lingkungan terus terjadi, sementara konservasi selalu terlambat sebagai antisipasi.
Kontradiksi tata kelola pariwisata Indonesia tahun 2025 akan terus terjadi. Pengembangan pariwisata yang berbasis masyarakat (community base tourism) dibarengi pula dengan semakin leluasanya investor asing berbisnis wisata di Indonesia.
Pemerintah akan selalu mendorong masyarakat untuk berwisata dengan dalih peningkatan pendapatan negara. Untuk itu hari libur nasional akan dimanfaatkan untuk mobilitas masyarakat berwisata. Namun tata kelola sektor transportasi tidak mendukung. Tiket transportasi yang mahal kerap dikeluhkan wisatawan.
Desa wisata akan menjadi andalan dalam pengembangan pariwisata di daerah. Akan tetapi tidak dibarengi dengan konsep yang jelas, sehingga desa wisata layaknya objek wisata populer. Nuansa pedesaan dikalahkan oleh berbagai wahana permainan. Pengawasan dan pembinaan pemerintah kurang optimal dalam pengembangan desa wisata.
Optimisme tetap diperlukan dalam menyikapi tren pariwisata tahun 2025. Apalagi Presiden Prabowo Subianto telah membentuk kabinet baru Kementerian Pariwisata. Saatnya bekerja untuk perkembangan pariwisata Indonesia. [T]
BACA artikel lain dari penulis CHUSMERU