DI Gumi Delod Ceking, Kuta Selatan, Badung, terdapat dua Pura yang bernama Pura Karang Boma, yaitu Pura Karang Boma di Banjar Sawangan Desa Adat Peminge dan Pura Karang Boma di Banjar Tengah Desa Adat Pecatu.
Pura Karang Boma di wilayah Banjar Sawangan terletak di sisi timur kawasan ngampan dalam posisi di kerendahan, sedangkan Pura Karang Boma di wilayah Banjar Tengah, Pecatu, berdekatan dengan Pura Uluwatu di sisi barat kawasan ngampan dalam posisi di ketinggian.
Kedua Pura Karang Boma itu mewakili kerendahan dan ketinggian sekaligus dalam bentang alam ngampan bukit di Gumi Delod Ceking. Oleh karena Pura sebagai benteng moral spiritual, maka kedua Pura ini merepresentasikan kerendahhatian dari umat-Nya sekaligus ketinggian budaya spiritual yang adiluhung.
Umat-Nya perlu menjaga secara konsisten dan kontinu merawat dan melihara agar terjaga dengan sebaik-baiknya. Dalam konteks Pendidikan dan Kebudayaan ala Ki Hadjar Dewantara ini adalah best practice dari ajaran Trikon.
Secara semantik, Karang Boma adalah ornamen tradisional Bali yang berbentuk kepala raksasa. Kisahnya diambil dari cerita Bomantara tentang kelahiran Boma sebagai pelindung hutan belantara. Kehadirannya kini digunakan untuk hiasan gamelan, wadah/bade, pintu kori agung.
Sekaa Unen dari berbagai daerah di Denpasar ngaturang ayah di Pura Karang Boma Sawangan Desa Adat Peminge, di Gumi Delod Ceking, Kuta Selatan. | Foto: Dok. Nyoman Tingkat
Penulis swafoto saat Pujawali di Pura Karang Boma Sawangan Desa Adat Peminge, di Gumi Delod Ceking, Kuta Selatan | Foto: Dok. Nyoman Tingkat
Berpijak pada pengertian itu, Pura Karang Boma di Gumi Delod Ceking dapat ditafsirkan sebagai pura untuk melindungi hutan belantara di sekitarnya agar tetap terpelihara dan lestari. Itu pula sebabnya Pura-Pura tertentu berada di tengah hutan memiliki alas kekeran dan keramat dijaga oleh binatang buas. Masyarakat awam sering menyebut binatang penjaga itu sebagai Duwe.
Dua Pura Karang Boma di Gumi Delod Ceking memang berada di tebing ngampan dan tersembunyi di tengah hutan tempo dulu. Kini hutannya nyaris tidak tampak sehingga monyet di sekitarnya pun menjauh dan sering menjadi tamu tak diundang ke rumah-rumah penduduk, : mengganggu. Walaupun demikian, masyarakat setempat memeliharanya dengan melaksanakan Pujawali secara rutin.
Pujawali di Pura Karang Boma Sawangan jatuh pada Sanisacara Kliwon Landep (Tumpek Landep). Pura ini menjadi istimewa karena banyaknya sekaa unen atau “grup seni berbasis spiritual”, umumnya barong dan rangda dari berbagai daerah di Denpasar, khususnya Pegok, Sidakarya, Suci, di Denpasar, selain sekaa unen dari Bualu dan Peminge. Ibarat rapat dalam bebanjaran, saat Pujawali sekaa unen itu parum mewakili sekala (penyungsung) dan pralingga berupa rangda dan barong sebagai simbolisasi yang mewakili niskala (spirit).
Dengan demikian, Pura Karang Boma di Sawangan menjadi tempat penyatuan para penyungsung sekaa unen dari berbagai daerah khususnya Gumi Delod Ceking di Badung Selatan dan Denpasar.
Baik Badung maupun Denpasar pada awalnya adalah nama salah satu kabupaten di Bali yaitu Kabupaten Badung dengan ibu kota Denpasar. Seiring dengan perkembangan zaman, sejak 1992, Denpasar ditetapkan sebagai Kota Madya dipimpin oleh Wali Kota. Walaupun terpisah secara kewilayahan administrasi, Badung dan Kodya Denpasar tak terpisahkan secara historis seperti Peken Payuk Badung di Jalan Gadjah Mada Denpasar.
Secara spirit juga Gumi Delod Ceking awalnya juga menjadi bagian wilayah Puri yang ada di Denpasar. Dilihat dari segi pawongan, tampaknya manusia Delod Ceking sejak dahulu kala terhubung ke Denpasar entah melalui proses maguru-siwa yang melahirkan hubungan peradaban yang terawat hingga kini.
Adanya sekaa unen di banyak desa adat di Gumi Delod Ceking sejak dulu tampak juga hasil proses berguru dengan perguruan di Denpasar, yang berpusat di Geria dan Puri. Proses itu sampai kini terawat baik. Contohnya tradisi ngerebong di Kesiman Petilan ternyata juga menghubungkan Sekaa Unen Banjar Swangan Desa Adat Peminge secara spirit sampai sekarang. Hubungan inilah yang disebut mategul tanpa tali (terikat tanpa tali), terhubung karena persamaan frekuensi spirit.
Dari hubungan demikianlah, tampaknya terjadi proses berguru secara tradisional yang kemudian melahirkan perguruan rohani melalui lembaga pendidikan dalam wadah Sekaa Unen untuk melestarikan seni, budaya, dan tradisi. Itulah cara beragama berkearifan lokal yang membumi dengan semangat manyama braya sekala niskala. Makna mendalam dari hubungan itu adalah saling pinjam peralatan berkesenian antar sekaa terjadi secara alamiah. Baik yang meminjamkan maupun yang meminjam tampak sefrekuensi, saling menghormati dan menghargai secara lascarya walaupun mereka dari sekaa unen yang berbeda. Saya meyakini keterhubungan mereka adalah atas tuntunan Hyang dipuja. Itulah makna pertama.
Pemedek disuguhkan hiburan di Jaba Tengah Pura saban Pujawali, saat Tumpek Landep | Foto: Dok. Nyoman Tingkat
Kedua, Sekaa Unen sebagai wadah berkesenian sekala niskala merepresentasikan hubungan keindahan yang tergarap dari perbedaan antarunsur yang diharmonisasikan sebagaimana tecermin dalam tabuh gamelan dengan bilah-bilah kerawang yang berbeda bunyinya dengan penabuh yang juga berbeda wataknya. Namun suara keindahan yang dihasilkan memukau beradu dengan deburan ombak pantai selatan dengan gerak-gerik ritmis pragina yang mengikuti angsel, tanjek, sledet, nyeregseg kadang-kadang diiringi syair yang dipetik dari kalangan pragina (tempat pentas, ngaturang ayah).
Ketiga, Sekaa Unen juga menggambarkan laku beragama secara komunal dalam suasana riang gembira. Kelebihan dan keunikan masing-masing anggota sekaa, semua mendapat tempat. Tidak ada yang pandai, tidak ada yang bodoh. Yang ada adalah semua pandai, semua bodoh. “Sing ada nak dueg, sing ada nak belog. Ne ada makejang dueg, makejang belog”, begitulah sekaa unen sering berkelakar. Semangat itu menunjukkan kurve normal dalam sekolah formal. Jika dihubungkan dengan Kurikulum Merdeka dalam pembelajaran di sekolah formal inilah yang disebut pembelajaran yang menyenangkan bin mendalam. Deef learning (pembelajaran mendalam) dengan Joyfull learning (pembelajaran menyenangkan) berbasis kealaman.
Begitulah Sekaa Unen membuat budaya Bali menjadi ajeg hingga kini. Di mana ada sekaa unen, aura ke-tenget-an dan kesakralan Desa Adat akan dirasa oleh mereka yang memiliki kepekaan rasa. Oleh karena itulah, tidak secara kebetulan bila Pura Karang Boma di Sawangan oleh krama-nya juga sering disebut Pura Barong-Barong yang mengingatkan saya pada Pura Puncak Padang Dawa di Baturiti Tabanan.
Pura Karang Boma di wilayah Banjar Sawangan Desa Adat Peminge adalah tempat bertemunya Sekaa Unen Badung dan Kodya ngaturang ayah setiap Saniscara Kliwon Landep (Tumpek Landep) merepresentasikan penyatuan kekuatan laut (sagara), sedangkan Pura Puncak Padang Dawa merepresentasikan kekuatan gunung (giri) dengan basis kekuatan pada sekaa unen juga dari berbagai wilayah lintas kabupaten.
Saya meyakini, tempat Pura Karang Boma di Sawangan itu dipilih orang-orang suci tempo dulu berdasarkan kekuatan jnana sehingga aura taksu menembus batas waktu dan batas geografis yang sulit ditempuh ketika Gumi Delod Ceking menjadi wilayah hutan tutupan dan tempat pembuangan yang ternyata menjadi titipan masa lampau untuk pengingat masa kini. Begitulah semesta mendukung.
Kini Pura Karang Boma di Sawangan terdesak oleh keangkuhan pariwisata. Kanan-kiri Pura berdiri fasilitas pariwisata yang tampak angkuh. Saya tidak tahu berapa persen krama Desa Adat Peminge bekerja di sana yang nota bena penjaga asli Pura Karang Boma Sawangan. Disebut penjaga asli karena merekalah krama ngarep yang mipil dan nyungsung Pura Karang Boma dengan aneka ritual dari dulu hingga kini.
Dari sejak tanah-tanah Delod Ceking tiada berharga hingga kini dengan harga melangit bahkan menjadi rebutan investor dan membuat guncangan tak terlawan krama adat akibat keterbatasan yang dimiliki untuk bernegosiasi. Seyogyanya mereka mendapatkan keadilan dan kesetaraan sehingga tidak menjadi penonton di tengah glamour pesta pariwisata. Jangan sampai ada ayam mati kelaparan di lumbung padi.
Jika Pura Karang Boma di Banjar Sawangan Desa Adat Peminge berada di ujung timur ngampan Delod Ceking, maka Pura Karang Boma di ujung barat ngampan Delod Ceking berdekatan dengan Pura Uluwatu. Pujawali di Pura ini bersamaan dengan Pujawali di Pura Uluwatu, Selasa Kliwon Medangsia yang disebut Anggarkasih Medangsia.
Berdasarkan penelusuran saya, Pura Karang Boma ini disungsung oleh salah satu keluarga Bandesa Manik Mas, bukan oleh krama Desa Adat Pecatu. Namun demikian, I Nyoman Sudama, tokoh adat setempat, mengatakan, “Di Pura ini krama Desa Adat Pecatu melaksanakan upacara Nyegara Gunung”. Hal itu juga dibenarkan oleh I Nyoman Sujendra sebagai Panyarikan ‘sekretaris’ Desa Adat Pecatu.
Perlu pula dicatat bahwa Puri Jro Kuta Denpasar menjadi penanggung jawab pembiayaan ritual di Pura Luhur Uluwatu, sedangkan Puri Celagi Gendong penanggung jawab Pura Dalem Bejurit di Madya Mandala Kawasan Pura Uluwatu. Namun demikian, menurut Pengelola Destinasi Kawasan Luar Uluwatu, I Wayan Wijana, juga menyisihkan keuntungan 3-5% untuk Pura Uluwatu yang dikelola oleh Desa Adat Pecatu.
Begitulah Desa Adat Pecatu berperan terkait aci di Pura Uluwatu dengan Pura Prasanaknya : Pura Pererepan di Pusat Desa Pecatu, Pura Pengleburan di Pantai Labuhan Sait, Pura Slonding, dan Pura Kulat. Itu menunjukkan tanggung jawab Pura sejak dulu sudah dilimpahkan ke Desa Adat setempat oleh Puri, sebagai strategi pemberdayaan dan pembelajaran bagi masyarakat lokal.
Kedua Pura Karang Boma di Gumi Delod Ceking adalah catatan abadi untuk melawan lupa. Bersyukurlah Gumi Delod Ceking tempat pembuangan bagi orang-orang yang nyineb wangsa dapat menyelamatkan diri dari dulu hingga kini. Dulu, hutan Delod Ceking adalah hutan tutupan dan tempat titipan. Tempat titipan itu kini makin menyala seiring dengan lirikan investor yang tergoda dengan bentang ngampan yang memukau, deburan ombak yang menggoda para omm dan mbak-mbak menikmati kisah butir-butir pasir putih di laut. [T]
- BACA artikel tentang GUMI DELOD CEKING
- BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT