- Artikel ini adalah materi dalam panel diskusi “Berguru pada Kekuatan Perempuan Marginal dalam Teks Lama dan Baru”, serangkaian Singaraja Literary Festival (SLF), Sabtu, 24 Agustus 2024, di Sasana Budaya, Singaraja, Bali
- Artikel ini disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Singaraja Literary Festival (SLF), 23-25 Agustus 2024
***
SEJARAH kerap mencatat figur-figur penting dan peristiwa besar yang mana kebanyakan adalah laki-laki. Tapi lain cerita dengan perempuan, apalagi perempuan pekerja, yang sampai hari ini masih termarjinalkan. Di Jawa, perempuan pekerja dapat dengan mudah ditemui di banyak tempat. Dari buruh gendong di pasar tradisional, penggarap lahan sawah, pemetik teh di perkebunan, juga para pembatik. Kalau sejarah luput mengingat cerita mereka, tidak demikian dengan karya-karya yang mereka hasilkan.
Dalam selembar batik, misalnya, ada sejarah panjang kehidupan para pembatik yang ikut diabadikan. Hidup mereka dapat dilacak dalam cerahnya warna batik Pekalongan dan Rembang. Perjuangan dan kisah hidup para perempuan pembatik juga dapat dengan mudah kita baca dalam lembar-lembar batik dari pedalaman Surakarta dan Yogyakarta. Guratan karya yang indah dan bermakna inilah yang menjadi saksi atas setiap perjuangan para perempuan.
Batik dengan ragam pola dan komposisi warna yang memesona itu telah memancing ketertarikan saya. Petualangan pertama saya dimulai beberapa tahun silam. Ketika saya bertemu sosok luar biasa, usianya 80-an tahun saat itu. Mbah Fatanah namanya. Siang itu, ia duduk di belakang rumah. Mengenakan kemben lawas dan bersarung batik. Di depannya adalah dunianya, hamparan kain yang sedang ditembok. Tangannya yang keriput dan gemetar tetap kokoh menggenggam canting. Penglihatannya tidak lagi awas. Tapi dia tidak menyerah dengan usianya.
Simbah membatik di samping kandang ayam peliharaannya. Dengan tekun dan sabar ia menutup setiap garis pola dengan lilin panas. Tak jarang tetesan lilin panas itu meleset tidak pada pola yang diinginkan atau mengenai kulitnya. Ketekunan simbah dan daya juang simbah membuat saya iri. Perempuan itu tidak menyerah karena usianya dan tetap menikmati lakonnya.
Lain cerita di Yogyakarta. Perempuan paruh baya, Ibu Ngatijah, seorang ibu rumah tangga sekaligus seniman batik. Tatkala permintaan batik tidak menentu, dia tetap setia membatik. Mewarisi tradisi membatik dari neneknya, ngugemi pakem pembatikan gaya Yogyakarta. Ia kadang membatik untuk kalangan istana atau para kolektor batik. Puluhan tahun ia jalani dan tidak ada kata bosan untuk melestarikan batik gaya Yogyakarta.
Perempuan hebat lainnya adalah Suratmi. Orang biasanya memanggilnya Mbak Ami. Sosok jenius yang mampu menangkap ‘pesan’ dari naskah kuno menjadi guratan motif batik. Kepiawaian Mbak Ami dalam mengalih-wahanakan iluminasi dalam naskah kuno ke dalam motif batik tidak diragukan lagi. Ketulusan dan kreatifitas beliau dalam berkarya tidak, semua tergambar anggun di setiap lembar batik desainnya.
Mundur jauh ke belakang, sepenggal pengalaman perempuan-perempuan itu telah sedikit banyak dirangkum dalam Suluk Prawan Mbabar Bathik dan Suluk Bathik. Kedua naskah tersebut memuat teks tentang perjuangan perempuan dalam membatik. Dimana tiap unsur yang meliputi proses, alat, bahan, serta teknik pembatikan digambarkan sebagai simbol akan pendidikan karakter perempuan, keterampilan perempuan, sekaligus tuntutan yang harus diemban para perempuan.
Gawangan sebagai penyangga kain yang akan dibatik diibaratkan sebagai alam semesta. Wajan tempat melelehkan malam diibaratkan sorot pelita. Malam sebagai perintang warna diibaratkan rasa sejati. Dan canting, alat utama yang menorehkan lilin panas diibaratkan kalam Ilahi. Perumpaan alat membatik dalam teks sangat dekat dengan gambaran alam dan kuasa sang Pencipta.
Tak berlebihan ketika kegiatan membatik dalam tradisi Jawa dipahami sebagai proses menempa diri. Perempuan yang membatik sejatinya sedang belajar mengimani Tuhannya. Mensyukuri setiap karunia yang diberikan. Baik itu yang berwujud nyata maupun tidak kasat mata. Hal ini dituangkan di awal suluk, yang menghendaki untuk bermunajat terlebih dahulu sebelum menggoreskan canting. Dengan demikian mendekatkan diri pada sang pencipta merupakan pembuka dalam berkarya.
Melalui batik perempuan berkontemplasi. Ia mempertajam rasa, melembutkan jiwa, serta mengolah karsa. Membatik menjadi sebuah cerminan akan perjuangan seorang perempuan
dalam mengendalikan diri. Tak ayal, kadang ia berpuasa selama empat puluh hari atau melakukan pantangan demi membuat selembar kain batik.
Nilai-nilai tersebut barangkali telah demikian asing bagi generasi muda hari ini. Di tengah gempuran modernisasi, biaya hidup yang semakin tinggi, serta rayuan bekerja di pabrik atau sektor lain yang dinilai lebih instan untuk mendapatkan pundi-pundi penghasilan.
Dalam kajian yang dilakukan Tempo pada 2015 silam, upah pembatik di Yogyakarta berkisar di angka Rp800.000 setiap bulannya. Sementara itu, Amalinda Savirani mencatat bahwa pada 2007 upah pembatik di Kota Pekalongan hanya berkisar di angka Rp550.000 per bulan.[1]
Angka tersebut tentu tak seberapa jika dibandingkan dengan upah ideal yang diidamkan generasi muda di Indonesia. Hari ini, dengan beban kerja yang sama, pemuda usia produktif itu bisa masuk ke pabrik tekstil atau garmen dengan upah di kisaran Rp2 juta lebih setiap bulannya.
Fakta tersebut semakin memperkuat keyakinan saya bahwa mengambil pilihan hidup sebagai seorang pembatik adalah komitmen besar yang jauh dari keriuhan. Nama mereka tak akan sementereng hasil karya yang dikenakan atau dikoleksi para saudagar dan priyayi, para juragan mereka.
Hanya sebagian kecil dari pembatik tradisional tersebut yang bisa mengabadikan namanya dalam selembar kain baik, seperti Nyai Bei Mardusari dari Pura Mangkunegaran, Surakarta. Sisanya hilang tak berbekas. Lantas apakah seniman-seniman tersebut bisa hidup sejahtera dari batik? Apakah sosok-sosok yang demikian berjasa bagi pelestarian budaya tradisional itu dikenal, atau setidaknya viral di jagad maya?
Tidak juga. Mereka tetap berkarya dalam keheningan, tanpa berlimpah materi apalagi popularitas. Batik, yang diagungkan sebagai luapan rasa, ide, kreatifitas, juga ‘laku’ bagi seorang perempuan Jawa tradisional, tetap tak bisa lepas dari sekelumit pergumulannya. Hidup mereka tak semulus dan tak seapik kain-kain batik yang dibuatnya saban hari.
Tentu, ketiga sosok perempuan yang saya ceritakan di atas punya ujian hidupnya masing-masing. Dari perkara usia, tingkat pendidikan, akses akan pengetahuan dan informasi, hingga beban sosial lainnya.
Mereka terus berjuang dan melakoni jalan keseniannya dengan tetap membatik. Tangan mereka tetap cermat memainkan canting, untuk memastikan tiap detil alur pola serta warna kain agar tetap mencorong. Barangkali, mereka pun sadar bahwa selain berlembar-lembar kain batik yang mereka buat, tak ada lagi bekas eksistensi diri mereka yang bakal dicatat sejarah. Kalau memang demikian, barangkali kesadaran itu pula yang diartikan sebagai nilai kesabaran, rasa sejati, ketulusan hati, keteguhan jiwa, serta religiusitas yang disinggung dalam dua suluk di bagian awal.
Kondisi tersebut menjadi gambaran kecil dari figur perempuan dalam tradisi Jawa. Perempuan, yang hingga hari ini, masih dituntut untuk menjadi sempurna tanpa banyak menutut dan bersuara. Bukan bermaksud untuk mempertahankan status quo semacam itu. Tapi bagi saya, pengalaman hidup para pembatik itu membawa pelajaran penting yang perlu direfleksikan lebih lanjut. Sebuah pelajaran tentang keteguhan dan daya juang. Tentang energi para perempuan hebat yang bersiasat dan mengabadikan eksistensinya, walau kecil dan terbatas, dalam lembaran batik.[T]
[1] https://projectmultatuli.org/hari-batik-buruh-murah/
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024