INI cerita tentang Chiang Mai, Thailand. Biasa, hanya cerita seorang pemandu dan pejalan.
Saya melakukan perjalanan ke Provinsi Chiang Mai pada Senin, 8 Juli 2024. Setelah Bangkok, Chiang Mai adalah kota terbesar ke dua di Negara Thailand.
Setelah transit di Changi, Singapura, saya melanjutkan perjalanan ke kota yang sering disebut dengan nama Chiengmai.
Sebelum mendarat di Bandara Chiang Mai Internasional Air Port, dari atas tampak gugusan pegunungan dan kawasan pertanian membelah kota ini.
Yang menarik, saya kebetulan berasal dari Bali bagian utara, dan kali ini saya akan berkunjung ke kota terbesar di Thailand bagian utara.
Sama -sama di utara, apa kira-kira ada hal yang sama yang akan saya temui, antara utara di Bali dan utara di Chiang Mai. Menemukan hal yang berbeda, itu sudah pasti.
Bandara yang tidak terlalu besar mengingatkan saya pada bandara di Labuan Bajo, Flores, NTT. Tetapi jalan di kota itu memang lumayan besar dan tidak ada kemacetan, meski kita sudah berada di pusat kota. Tidak seperti di Bangkok yang merupakan ibukota dan pusat pemerintahan.
Sepanjang perjalanan menuju tempat menginap, saya diberikan beberapa informasi oleh sopir angkutan online yang saya pesan.
“Swadikap!” kata sopir itu. Itu ungkapan yang bermakna”Selamat datang, apa kabar” dalam bahasa Thai.
Lalu, dengan bangganya dia menjelaskan bangunan kuno yang menjadi land mark dari kota Chiang Mai, juga pusat kuliner dan aktifitas yang bisa dilakukan selama berada di Chiang Mai.
Sebagai seorang pedagang dan pemandu partikelir yang suka dan berkesempatan jalan, saya merasakan bagaimana perbedaan dalam hal penyampaian informasi tentang kebanggaan kita terhadap yang kita miliki, mulai dari pusat kebudayaan sampai kuliner.
Menjelang petang saya seperti biasa berjalan kaki ke pusat kuliner di sebelah Sungai Mae Ping yang merupakan hulu dari Sungai Chao Phraya di Bangkok.
Cerita seperti ini persis memiliki kekentalan di Bali utara. Bagaimana Singaraja, kota di Bali utara, memiliki banyak cultural heritage dan nilai-nilai kuliner yang bisa dibagikan sebagai pengalaman bagi para pelancong.
Sepanjang jalan saya melewati tempat sembahyang paling Iconic di old town Chiang Mai yaitu Wat Chedi Luang. Terlihat masih banyak pengunjung yang keluar masuk ke tempat sembahyang Budhist yang paling besar di kota ini.
Sesampai di tempat kuliner saya mencoba kuliner yang menjadi ciri khas masakan dari Thailand utara, yaitu Khao Soi. Ini sejenis mi kari ayam dari Thailand Utara. Kita bisa menambah sayur sepuasnya.
Ada juga menu dari ratusan pedagang yang sangat variatif menjadikan tempat-tempat di Thailand sebagai surga kuliner bagi pelancong.
Setelahnya saya mencoba menikmati sate ayam yang dipanggang di jalanan. Ambil satu seharga 10 Baht.
Menikmati kehidupan kota dengan suasana pedesaan mungkin menjadi alasan para pelancong banyak berkunjung ke kota ini. Terus di Bali Utara? Semuanya ada, dari pertanian, budaya, kuliner apalagi.
Tetapi bagaimana kebanggaan kita terhadap sebuah nilai sejarah dan itu hidup dalam laku dan lisan maupun tulisan itu yang paling membedakan “utara” di sini dengan “utara” di Bali. [T]
- BACA artikel tentangTUALANGlainnya