PADA saat Dewa-Dewi yang diikuti para Apsara-Apsari ditugaskan turun ke bumi, Dewa yang paling bersemangat ikut adalah Dewa Rudra.
Dewa yang memiliki kemampuan di bumi serupa Siwa itu, sangat tak sabar untuk ikut mengambil peran. Sebenarnya Mahadewa ragu mengijinkan Rudra untuk menjelma menjadi manusia, karena kesaktiannya bisa membuat Rudra melupakan kedewataannya.
“Sebagai Panglima Perang Sorga, kesaktianmu tanpa tanding. Bali hanya pulau kecil yang disorgakan, kehadiranmu memang bisa memberi kebaikan, tetapi juga keburukan. Hanya kamu Dewa yang bisa beralih menjadi Kala, ” Mahadewa berusaha membendung hasrat Rudra yang berapi-api.
“Panglima Perang Sorga, hanya simbol, bukankah sudah ada Mahadewa yang maha tahu dan maha segala, perkenankan hamba turun ke bumi. Jika tuanku khawatir dengan kesaktian hamba yang bisa menghancurkan Bali, hamba akan menjelma menjadi tiga orang manusia yang berbeda, sebagai brahmana/pendeta, ksatria /raja dan wesya/sudra, ” jelas Rudra, langsung menciptakan dirinya sendiri, mengambil peran sebagai Brahma.
Pada arah mata angin Bali, Dewa Rudra ditempatkan di arah Barat Daya, tempat pertemuan pertiwi (material) dan teja (panas). Beliau bersenjatakan mosala, senjata yang berasal dari perpaduan esensi material yang dipanaskan, tajam di kedua ujungnya berwarna jingga.
Sebagai jelmaan Dewa Rudra Tiga itu sama-sama memiliki wajah dan tubuh yang nyaris sempurna. Gagah, berwibawa dan tampan. Rudra satu menjadi petani dan pengusaha yang sukses kaya raya, yang mengantarnya menjadi penguasa. Rudra Dua, menjadi raja dan Rudra Tiga menjadi pendeta.
Kehadiran Rudra Tiga yang terpisah sangat dipuja dan disanjung. Benar-benar dipuja bak Dewa di dunia, karena bisa memberi cahaya penerang, memelira dan menghancurkan keangkaraanmurkaan.
Rudra satu suka memberi materi, sehingga banyak dipuji. Rudra dua mengandalkan sakti sehingga tak ada yang berani. Rudra tiga menampakkan suci, sehingga dihormati.
Tetapi secara sendiri-sendiri Para Rudra itu gelisah, tak percaya diri, sehingga sibuk mencari-cari lawan untuk diajak berkelahi.
“Akulah Rudra, penguasa dunia, semua harus tunduk padaku. Sebagai Rudra aku bisa mencipta, memelihara juga melebur, ” Para Rudra mulai lupa kedewaannya.
Yang raja merasa suci, yang pendeta merasa sakti, yang wesya merasa menguasai.
Hentah kenapa yang suci dan sakti, pecah kongsi, saling caci, saling maki, paling mau menang sendiri. Merasa diri paling mumpuni.
Saat raja dan pendeta berkelahi, yang jadi korban keluarga sendiri. Kesucian dan kesaktian dipakai membohongi. Tinggal Rudra Satu bermain sendiri, sesuka hati. Sebagai penguasa, dengan memberi materi Rudra Satu merasa sakti dan suci.
Niatnya menguasai Bali, bersama para sakti dan yang berlagak suci. Seperti penjudi, mengira semua bisa dibeli.
Bali, Bali duh Bali, Mahadewa tersungging, , sesungging senyumnya memberi cinta kasih, Padma yang menjelma trisula, menikam pikiran, kata-kata dan perbuatan.
Kala Rudra meraung, memohon pengharmonisan, pahyangan (sistem peyakinan), pawongan (kemanusiaan) dan palemahan (alam lingkungan). Saatnya manusia Bali beritual juga dengan darma laksana selain darma wacana. [T]
[][][]