“Ayah…!” panggilku dengan lemah.
Rasanya jariku sudah mau menyerah karena terus menulis rumus dan menahan kepalaku yang setiap detiknya semakin terasa berat.
“Ada apa, Sayang?”
Pria 37 tahun itu perlahan membuka pintu kamarku. Aku menyambutnya, namun Ayah sepertinya tahu kalau aku sedang muak melihat kertas dan buku pelajaran di atas mejanya.
“Ayah, aku ingin soto yang di samping gang itu lagi. Apakah boleh Ayah belikan untukku?”
Ayah terlihat berpikir.
Aku tidak ingin ayahku menolak, karena kali ini aku benar-benar perlu soto itu. Warung yang menjual aneka ragam makanan Indonesia itu memiliki soto ayam yang, jujur saja, sebenarnya tidak memiliki rasa yang luar biasa. Hanya terasa seperti soto ayam pada umumnya. Namun, sejak aku memutuskan diri untuk mengikuti sebuah olimpiade sains, khususnya dalam bidang kimia, soto ayam itu sering disantap olehku ketika rasa frustrasi telah datang.
Kadang, soto itu juga menemaniku belajar, walaupun kuahnya kadang mendarat sebagai cipratan di kertasku. Kehangatan dari soto itu yang membuatku tenang, dan dapat membuatku kembali belajar. Belajar untuk membanggakan orang tua.
Aku anak tunggal, jadi aku perlu melakukan itu, membanggakan orang tua. Tentu, memenangkan lomba olimpiade ini.
“Iya, bisa kok. Tunggu ya, Ayah berangkat sekarang!” suara Ayah terdengar sangat lembut.
Aku mengeluarkan senyum pertama setelah tiga jam yang lalu. “Terimakasih banyak, Ayah!” jawabku. Lalu aku mencoba untuk kembali melanjutkan proses belajarku.
Ayah datang setelah 25 menit. Aku keluar dari kamar agar tidak merepotkan Ayah lagi. Mulutku sudah berair memikirkan hangat soto ayam itu.
“Bintang, boleh kamu makan sembari duduk di sini? Bapak ingin menyampaikan sesuatu!” Ayah mengeluarkan pertanyaan ketika aku sedang menyiapkan mangkok dan gelas.
Aku mengangguk dan duduk di meja dapur, dan Ayah mengikutiku, duduk.
“Bintang, Ninik ingin kamu nginap di rumahnya selama seminggu, tolong ikuti permintaannya ya, Sayang!”
Mendengar itu, aku hampir menumpahkan seluruh soto ke lantai ketika aku menuangkan isi bungkusan itu ke dalam mangkok. Ninik adalah sebutan kami untuk nenek.
“Maksudnya, Yah? Ayah kan tahu, aku sedang menyiapkan lomba!”
“Tidakkah kamu bisa belajar di rumah Ninik?”
“Enggak bisa, Yah. Pasti aku tidak bisa fokus di sana!”
“Bintang!” Ayahku berusaha menenangkan diriku. “Ninik sedang kesepian!”
Ya, tentu, aku tahu akan hal itu. Dari empat cucu, hanya aku saja satu-satunya yang masih tinggal di tempat yang dekat dengan rumah Ninik. Sepupuku yang lain bersama orang tua mereka, tinggal di kota lain, dan hanya berkunjung pada tanggal merah atau hari libur. Selain hari-hari itu, hanya aku yang diandalkan untuk menghibur Ninik. Aku juga dapat merasakan tekanan yang lebih besar karena tidak memiliki kakak maupun adik yang aku bisa ajak tukar peran sebagai penghibur.
“Sejak Ibu melanjutkan kuliahnya di Australia, hanya kita saja yang bisa menemani Ninik ketika dia kesepian,” lanjut Ayah. “Dan, Ayah sudah sering mengunjunginya, dan Ninik ingin sesekali bertemu denganmu!”
Aku menghela napas. Apa yang Ayah bilang memang benar, namun ini bukanlah waktu yang tepat. Mustahil jika aku tidak memikirkan tentang olimpiadeku sekarang ini. Dari pengalamanku, tugas sekolah akan sulit diselesaikan saat aku bersama Ninik.
Di rumah Ninik, aku aku tahu apa yang akan terjadi. Aku harus mendengarkan cerita Ninik dan ikut serta dalam obrolannya. Dia sering memintaku untuk menemaninya memasak, dan akan bercerita mengenai resep masakan yang dia sedang buat pada saat itu, atau menemaninya menyiram tanaman, dan mengajariku cara merawat berbagai tanaman. Kadang, memang seru melakukan berbagai kegiatan itu. Tetapi, aku akan mendapatkan sisa waktu yang sedikit untuk belajar dan mengerjakan tugas.
“Ini bukan waktu yang tepat, Yah. Aku baru bisa menemaninya setelah OSN ini!” kataku.
“Maaf, Sayang, Ayah tidak enak kepada Ninik yang selalu rindu denganmu. Jika kamu memang sudah tidak sanggup lebih lama, Ayah akan jemput kamu ke rumah Ninik. Tapi Ayah kali ini memohon!”
Aku tidak dapat berargumen lagi. Aku hanya mengangguk dan menghabiskan soto ayamku yang kuharap dapat menenangkanku.
***
Ayah sepertinya sudah selesai memanaskan mobil, karena aku dapat mendengar suara gerbangku dibuka. Aku berkumur sekali lagi setelah menggosok gigi dan mencuci muka. Keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan wajah menggunakan handuk kecil ditanganku, aku melirik ke arah jam dinding di atas TV. Sudah jam setengah tujuh.
Aku mengeluarkan helaan napas yang ternyata lebih keras dari yang kukira. Saatnya ke rumah Ninik.
“Bintang, cucuku!”
Aku sudah sampai, dan aku bahkan belum sempat menutup pintu rumah Ninik, tapi dia sudah menyambutku dengan pelukan. Wangi minyak khasnya dapat tercium dengan kuat ketika aku juga memeluknya.
Aku mengeluarkan senyum yang tulus. Walau masih jengkel. Mencium wanginya membuatku rindu akan tempat ini. Tempat di mana aku menghabiskan masa kecilku berlarian di taman, tanpa rasa beban apapun.
Tapi, aku disadarkan lagi oleh situasi yang ada, ketika Ninik berkata, “Ninik sudah tidak sabar untuk menghabiskan seminggu bersamamu!”
Senyumku menurun mendengarkannya, tapi aku memaksakan bibirku untuk tersenyum kembali. Seminggu. Apakah aku bisa mendapatkan waktu belajar yang tenang selama seminggu? Bukankah seminggu terlalu lama? Ayah sudah janji jika setelah hari ketiga aku sudah tidak sanggup, dia akan menjemputku. Tapi, aku harus berusaha diam di sini, di rumah Ninik, selama seminggu, karena aku juga tidak ingin membuat Ninik sedih.
Setelah mengucapkan salam kepada Ayah, aku mengeluarkan semua alat belajarku di bekas kamar tanteku. Tanteku kini sudah menikah ke kota lain. Tapi aku tak akan bisa tenang sendiri di kamar tante. Selama seminggu ini, aku pasti akan tidur bersama Ninik di kamarnya.
Aku putuskan untuk belajar di kamar tanteku saja. Tak apa nanti saat waktu tidur aku akan ke kamar Ninik. Ninik melihatku sudah ditemani oleh pulpen, pensil, kertas A4, buku tulis catatanku, dan juga buku-buku kimiaku.
“Bintang, belum sampai 10 menit kamu di sini, dan kamu sudah mengeluarkan buku pelajaranmu,” ucap Ninik sembari mengelus rambutku. “Pasti kamu menyiapkan diri untuk olimpiademu, ya?”
“Bintang hanya menyiapkan peralatan dulu, Nik. Nanti Bintang akan belajar setelah sarapan!”
Menu sarapan Ninik kali ini adalah nasi goreng. Ninik sangat pandai memasak, dia selalu ingin aku melihat cara dia bekerja untuk menghasilkan hidangan yang memuaskan. Cara dia mengelupas bawang, memotong cabe, mengaduk kuah, menuangkan lauk ke panci, hingga banyak detil memasak lainnya, selalu dia pamerkan kepadaku.
Untuk kali ini, aku tidak perlu mencatat ini dan itu untuk hasil nasi gorengnya, karena ketika aku sampai, hidangan tersebut sudah siap untuk dimakan. Nasi goreng Ninik memang khas, dan aku menyukainya. Sayangnya, aku harus memikirkan olimpiadeku, dan aku tidak dapat menikmati nasi goreng dengan maksimal.
Ketika mencuci piring, aku memutuskan untuk menyampaikan semua prosesku kepada Ninik.
“Nik, Bintang kan lagi ada olimpiade. Apa boleh jika nanti Bintang lebih fokus belajar, Nik?”
Aku sedikit terkejut melihat Ninik yang tersenyum. Biasanya, jika aku menolak mendampinginya, dapat terlihat wajahnya yang murung, seakan kecewa karena aku lebih memilih untuk belajar daripada harus menghiburnya. Memikirkan hal itu kembali, aku biasanya merasa jengkel, kenapa Ninik tidak mau memikirkan dan mengerti perasaanku mengenai pelajaranku?
“Iya, Bintang. Silakan!”
Aku mulai belajar lagi. Belajar, dan belajar. Hanya menggunakan waktu istirahat untuk mandi dan makan. Aneh, biasanya setelah makan siang, Ninik akan mengajakku mengobrol, atau menyiram tanaman, atau kegiatan lain. Tapi kali ini dia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengecek kondisiku sesekali. Aku merasa lega, mungkin kali ini Ninik sudah berubah karena melihat betapa pentingnya olimpiade ini bagiku.
Aku kembali mengecek jawabanku dan mencocokannya dengan jawaban di Google. Tiga jawabanku menghasilkan jawaban yang salah, tiga dari dua puluh soal. Aku mengetuk kepalaku, kecewa dengan kelalaianku dalam menjawab.
***
Aku membuka mataku dengan panik, menegakkan posisi dudukku secepatnya. Tubuhku penuh dengan keringat, dan sebentar lagi wajahku akan penuh dengan air mata. Aku ketiduran. Sial, aku ketiduran. Aku keluar kamar untuk mencuci muka. Aku rasanya ingin meledak.
Bagaimana aku bisa ketiduran? Apakah aku menganggap olimpiade ini adalah hal yang sepele? Ada apa dengan diriku. Aku ingin teriak saat itu juga, tapi aku berusaha untuk menahan amarah itu. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Masih banyak soal yang belum aku kerjakan, dan setelah cuci muka aku masih merasa lesu dan lelah. Dunia seperti sedang berputar, dan yang aku perlukan sekarang, adalah soto ayam. Soto ayam itu.
“Astaga, cucuku!”
Aku membalikkan badan dan melihat Ninik.
“Aku mau Ayah, aku mau soto ayam yang Ayah sering belikan itu!” Aku mencoba untuk mengeluarkan apa yang aku inginkan tanpa berteriak.
“Kenapa harus dibeli? Sini, Ninik akan buatkan!”
Aku tahu, menginginkan soto ayam adalah hal yang egois. Karena di rumah Ninik, berbagai menu makan malam sudah dimasak dan siap untuk disantap. Tapi Ninik tidak mengomentari permintaanku. Dengan sigap ia mulai memasak. Ninik tidak bilang apa-apa, walau seharusnya dia meminta diriku melihat. Jadi, aku tetap menemaninya, walaupun aku masih kesal dengan diri sendiri, dan hampir seluruh tubuhku ingin kembali belajar.
Aku mengambil kursi dan duduk di samping Ninik, dan bertanya apa yang dia lakukan hari ini selama aku di kamar. Dia hanya terdiam.
Dan, dia mengeluarkan sesuatu yang menjawab apa yang telah aku tanyakan selama ini.
“Bintang, Ninik tidak pernah ingin kamu gagal dalam proses akademik kamu, justru Ninik sangat bangga kepadamu. Sekarang kamu mengikuti sebuah olimpiade yang pasti sangat berharga bagimu, dan melihat dedikasimu, Ninik sungguh bangga!”
Aku merasa dadaku memberat. Kata “bangga” itu memang kerap membuatku merasa emosional. Aku bingung dengan apa tujuan Ninik mengatakan hal itu.
“Tapi, Bintang, kamu tidak sadar bahwa kamu suka membuat dirimu kewalahan karena kamu memaksakan dirimu secara berlebihan!”
Aku menelan ludah dan memalingkan muka, menjatuhkan wajah agar mataku tertuju kepada tanganku yang ternyata masih memegang pulpen. Sepertinya ketika mencuci muka, aku menaruh pulpen di sebelah tempat sikat gigi dan odol, lalu kembali memegangnya lagi.
“Melihat cucunya Ninik yang menenggelamkan diri dalam rasa stres yang banyak seperti itu, Ninik tidak tega. Ninik mencoba untuk menghiburmu setiap Ninik melihat kondisimu yang selalu memaksakan diri. Ninik ingin melihatmu belajar dengan sehat, jadi Ninik selalu mencoba untuk menurunkan stresmu itu. Sepertinya Ninik belum bisa, ya? Ninik akan coba lagi dengan cara yang lebih baik!”
Kata-kata yang sungguh tidak aku sangka. Aku melepaskan air mataku dan mengeluarkan isakan tangis yang pelan. Selama ini, bukan aku yang selalu berusaha untuk menghibur Ninik, namun Ninik yang berusaha menghiburku, berusaha untuk menenangkan diriku dengan cara-caranya.
Aku menutup mulutku untuk menahan isakan tangis yang terlalu keras. Aku memejamkan mata memikirkan Ninik yang khawatir dengan cara aku bersikap dengan diri sendiri. Tidak adil, sepatutnya Ninik tidak perlu memikirkan cara untuk membuat cucunya senang, namun sebaliknya aku yang seharusnya membuat Ninik senang.
Kaget, sedih, dan rasa menyesal bercampur di dalam diriku.
“Sudahlah, Sayang. Keluarkan saja tangisanmu itu. Kamu sudah terlalu lama memaksakan diri dan menyimpan perasaanmu!” kata Ninik.
Aku belum sanggup mengeluarkannya. Aku hanya ingin menenangkan diri agar air mataku tidak menghalangi pandangan Ninik yang sedang memasak.
“Nik!” Aku tidak dapat mengatakan apa-apa selain satu kata itu.
Aku memeluk Ninik dengan erat dan wangi minyaknya kembali tercium. Mendengar apa yang Ninik katakan membuatku sadar, bahwa aku tidak baik dalam mengatur pekerjaan, sehingga aku merugikan diri sendiri dan orang lain, dan aku harus segera memperbaikinya.
Waktuku di rumah Ninik masih sisa banyak, masih enam hari. Dan aku tidak sabar untuk belajar hal lain, bukan belajar tentang kimia, tapi belajar mengenai diriku. Kapan aku harus memberi diriku waktu yang layak untuk istirahat, untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, dan diri sendiri.
38 menit telah berlalu, dan soto ayam sudah siap untuk aku santap. Selama menunggu, aku dan Ninik berbincang dan kali ini aku tidak merasa terpaksa. Ya, memang kadang aku teringat oleh sisa soal yang belum terjawab olehku, dan beberapa soal yang sebelumnya aku jawab dengan salah. Semua itu mengingatkan aku pada kesalahanku dalam menghitung dan membaca soal dengan benar. Tapi, mengingat kembali tidak membuatku panik seperti biasanya, dan aku tetap melanjutkan obrolan dengan tenang.
Ninik duduk di sampingku, untuk melihat suapan pertama dariku. Ketika nasi campur kuah, daging, dan sayur itu memasuki mulutku, aku hampir menangis lagi saking enaknya rasa itu.
“Nik, ini enak sekali.”
“Tentu. Itu kan Ninik buat dengan penuh kasih sayang dari Ninik untukmu!”
Ya, sepertinya kasih sayang itulah yang membuat soto Ninik jauh lebih nikmat dibanding soto dari warung yang ada di samping gang itu. Rasa hangat dari soto buatan Ninik, lebih berbeda. Kehangatan soto ini disebabkan oleh kasih sayang yang dituangkan oleh Ninik. Ketika menyantapnya, aku dapat merasakan pelukan Ninik.
Aku akhirnya menyadari, bahwa selama ini, ketika dunia sedang berputar karena alasan akademik, aku akan mencari kehangatan untuk menenangkan diri. Tapi kehangatan ini bukan hanya hangat dari makanan, melainkan kehangatan dari keluarga yang selalu akan menyayangi dan mendukungku apa adanya. Kehangatan itu sudah ada di depanku sejak dulu, namun aku tidak menghargainya dengan sepenuhnya. Walau menenangkan diri melewati makanan dapat tetap aku lakukan, aku akan lebih sering mencari kehangatan dari keluargaku. Dari Ninik.
Seminggu kemudian Ayah datang, “Ayo, pulang, Bintang!” katanya.
“Ayah pulanglah sendiri. Jemput Bintang seminggu lagi!” kataku mantap. [T]
- BACA cerpen lain di tatkala.co