“BESOK gas healing ke pantai!” begitu kata Sugik di Whatsapp kemarin malam. Dalam benak saya, mungkin sudah saatnya melepaskan penat setelah begitu padat jadwal kuliah. Beruntung punya teman seperti Sugik, mungkin hanya sekadar mengingatkan, tapi hal sesederhana itu sangat luar biasa saya rasa. Tidak menutup kesempatan, dengan penuh semangat saya langsung terima ajakannya.
Bisa dibilang, tak semua orang seberuntung saya. Setiap ada waktu luang untuk berlibur, selalu saja saya sempatkan mengunjungi tempat wisata yang saya suka. Bisa berganti-ganti, kadang di wilayah timur, sesekali juga berkunjung ke barat. Untuk itu, ketika belum banyak manusia yang tahu tempatnya, sekali saya upload foto di media sosial, seketika itu juga kadang postingan berubah menjadi selebriti, meskipun riuhnya cuman sehari.
Karangasem, sebuah tempat di mana saya dilahirkan, entah dengan siapa saya menang gunting-batu-kertas (sebuah permainan tangan untuk menentukan pemenang) ketika memperebutkan tempat secantik ini. Seakan tak mau kalah dengan yang lainnya, kabupaten di ujung timur Pulau Bali ini juga memiliki beragam destinasi wisata yang tak kalah keren.
“Ah, bukannya hanya Gunung Agung saja destinasi di Karangasem?” begitu ucap seseorang yang hanya telisik dari sedikit informasi. Awalnya saya juga berpikir begitu, tapi berubah bak power rangers ketika sudah tahu bagaimana realitanya.
Anak-anak mandi di Pantai Labuhan Amuk | Foto: Pande
Kawan, ayo cepat merapat sebentar, kamu perlu tahu Karangasem dan jangan hanya berhenti sampai di sana. Hijaunya bukit dan persawahan sudah tidak diragukan lagi, 87 kilometer panjang garis pantai, masing-masing memiliki daya tarik wisata tersendiri.
***
Saya pernasaran dengan panjang garis pantai itu dan Google Maps membantu mencarikan jawabannya. Sayang sekali, penasaran saya semakin bertambah ketika mengetahui setiap jengkal pantai yang memiliki warna pasir berbeda-beda. Ada yang berwarna hitam, di sebelahnya malah berwarna putih, padahal hanya dibatasi sebuah bukit. Malahan, ada pula yang saya temui tidak berpasir, melainkan penuh dengan bebatuan kecil hingga besar.
Terdengar begitu aneh, tapi ini nyata adanya. “Tergantung pada karang yang mendiami laut itu, jika karangnya kebetulan putih, pasti pasirnya ikut berwarna putih,” begitu kata Sugik, teman saya, meyakinkan saya ketika memegang butiran-butiran pasir yang masih basah terkena deburan ombak. Awalnya saya berpikir Sugik membaca detail informasinya, tapi ternyata, pemuda berkumis tipis nan klimis itu mendapat informasi dari bapaknya ketika ia masih kecil dulu.
Terbilang, dua kilometer dari rumah saya sebenarnya sudah berjumpa dengan pantai, namun acap kali saya merasa jenuh dengan suasana yang begitu-begitu saja. Sudah sedari kecil saya bermain ke pantai di dekat rumah. Tapi kali ini saya mau yang berbeda. “Pantai ini lebih indah dan lebih cantik,” kata Sugik berani menjamin untuk itu. Jadilah saya janjian berangkat dengannya.
Tumben saya bangun tidur jam 06.00 WITA, biasanya jam delapan ke atas. Sugik belum bangun waktu itu. Awalnya saya hendak menunggu dengan bermain game ringan, tapi entalah, mungkin faktor masih mengantuk, malah keblablasan tertidur lagi. Bangun-bangun sudah jam setengah tujuh pagi. Dan ternyata Sugik sudah lebih dulu bercengkrama dengan kopi hitam buatan bapak.
“Sudah kesiangan, kamu terlambat,” begitu bapak bergurau, ia ditemani kopi dan smartphone miliknya.
Awalnya saya sedikit ragu untuk melanjutkan perjalanan karena pagi itu matahari telah terbangun dari mimpinya. Tapi saya teringat apa yang dikatakan Eren Yaeger, “Di balik tembok itu ada kebebasan dan keindahan.” Bersama ucapan karakter utama anime Attack on Titan (kartun Jepang) itu saya bergegas.
***
Dermaga Terminal Bahan Bakar Minyak Manggis | Foto: Pande
Perjalanan waktu itu kami tempuh sekiranya 15 menit dari rumah. Tanpa perlu Google Maps, Sugik meliuk-liuk dengan lincah membawa motor saya. Sekejap sudah tiba di jalan raya Candidasa, sekejap lagi sudah tiba di pertigaan menuju lokasi.
Mari saya beri tahu, patokannya itu ada di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) di Kecamatan Manggis. Jika kalian datang dari arah Denpasar, posisi jalannya tepat di sebelah kanan jalan raya Ulakan-Karangasem.
Lurus saja, sekitar 700 meter jauhnya, di ujung jalan itu kalian akan dihadapkan pertigaan kedua, ambil arah ke kiri. Tapi jika berbelok ke kanan, itu jalan menuju bukit dengan view tidak kalah bagusnya. “Next trip tujuan kita ke sana,” begitu saya katakan kepada Sugik ketika ia menawarkan pilihan lain.
Dari pertigaan itu, tujuan akhir berada tepat di depan saya. Bagi saya, pantai ini sangat berbeda dari pantai yang lain, kapal-kapal dengan ukuran yang begitu besar mencoba bersandar di dermaga panjang yang menjorok ke tengah laut. Perahu-perahu kecil milik nelayan juga tampak berseliweran di tengah birunya laut. Baguslah, minggu pagi ini ternyata tidak begitu ramai. Jika terlalu ramai, sama saja tidak bisa menikmati heningnya pantai.
Sekilas saya menoleh, tepat di samping kiri saya, terdapat tulisan Pantai Labuhan Amuk di plang dengan huruf timbul yang saya baca sebelum menginjak pasir putih bercampur batuan kecil. Deburan ombak itu seperti memberi sinyal, perlahan memanggil saya agar cepat turun dari panggung kayu dan merasakan dingin airnya.
Sugik menuruni panggung kayu menuju pantai | Foto: Pande
Turun dari panggung? Ya, memang benar, pantai ini mengalami abrasi yang begitu besar. Ada sebuah panggung tidak begitu panjang dan cukup lumayan tinggi, bahkan menutupi sebagian badan pantai yang terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem itu. Kayunya sudah tidak begitu terawat, beberapa sudah mulai keropos. Ada dua pilihan tangga yang bisa kita pakai turun untuk berinteraksi dengan ombak dan pasir pantainya.
Saya mencoba menuruni setiap anak tangganya, begitu pelan karena saya lihat masih basah, takut kiranya licin. Kaki telah menapak di pasir putihnya, dengan cepat langsung disapa deburan ombak yang dingin. Memandang ke arah kanan, mata dimanjakan dengan bukit tinggi dengan lereng karang yang begitu hitam. Ada banyak anak-anak kecil bermain riang sembari mandi dan bermain voli air. Saya yakin, itu akan menjadi kisah berjilid-jilid, yang akan mereka ceritakan selama hidup mereka.
Lebih terkejut saya ketika melihat anak kecil bermain sepeda sembari menyusuri pantai itu. Ah, mungkin ia sudah terbiasa. Sepertinya anak kecil itu tinggal dan tumbuh di sekitar sini. Mandi di pantai mungkin sudah ia anggap sebagai aktivitas rutin yang kurang menantang. Tetapi bisa-bisanya dia malah bermain sepeda di sana. Apakah itu sebuah eksperimen? Pikir saya sembari memandangi anak kecil itu.
Tapi lupakan masalah anak kecil dengan sepedanya itu. Mencoba menoleh ke arah kiri, mata saya kembali disuguhi panorama jejeran bukit dan Gunung Agung yang seharusnya terlihat megah, seperti yang ditampilkan beberapa foto wisatawan di Google Maps. Tapi sayang, kami tidak mendapatkan momen terbaik itu. Giri Tohlangkir, sebutan warga Bali untuk Gunung Agung, lebih memilih berselimut awan pagi itu.
Anak kecil bersepeda santai di tepi pantai Labuhan Amuk | Foto: Pande
Poouummm. Terdengar klakson kapal pengangkut bahan bakar yang telah berhasil bersender di dermaga TBBM. Baru pertama kali saya menyaksikan secara langsung BBM yang sering saya pakai akan di-drop pada bak penampungan besar yang sudah siap dengan berbagai macam jenis BBM.
Melihat ke arah laut, saya berpikir, dekat dengan dermaga itu apakah air laut tidak ikut tercemar? Lalu apakah ekosistem bawah laut masih terjaga dengan baik?
Secara tidak sengaja ketika memikirkan hal itu, sepintas saya perhatikan beberapa wisatawan manca negara naik ke perahu nelayan secara perlahan. Ia sudah lengkap memakai alat tempur, bersiap bertemu penghuni laut. Sepertinya di sini tempat terbaik untuk melakukan aktivitas snorkeling.
Saya menyambangi nelayan yang sedang merawat perahu kecilnya. Pak Made, salah seorang nelayan di sana, mengatakan ekosistem di sini masih terjaga. Makanya alam bawah lautnya masih indah.
Tarif snorkeling di sini masih standar, berkisar Rp. 150,000 per orang untuk wisatawan lokal ber-KTP Bali dan Rp. 200,000 per orang untuk wisatawan dari luar Bali—untuk wisatawan manca negara Pak Made tidak begitu tahu tarifnya.
Di sini saya merasa tenang. Ketenangan ini yang saya cari-cari selama ini. Hanya ada suara deburan ombak dan burung-burung kecil yang saling bersahutan. Suara kapal-kapal itu? Tidak. Itu alami ketika kita berada di pantai, apalagi tempatnya dekat dengan pelabuhan, selagi tidak merugikan, pikir saya.
***
Warung kecil di atas panggung pantai Labuhan Amuk | Foto: Pande
Kami duduk sejenak di salah satu warung kecil di atas panggung kayu itu. Saya rasa ini satu-satunya warung tepi pantai dengan view yang begitu cantik. Saya memesan secangkir kopi hangat ditemani roti kecil, sementara Sugik memesan sepiring mi goreng, sepertinya cacing-cacing di dalam perutnya sudah mulai memberontak.
Pulang ke rumah tentu menjadi tujuan utama kami setelah berlabuh di Labuhan Amuk dua jam lamanya. Ternyata, semakin tinggi mentari semakin tajam sengatan panasnya.
Oh, sebelum benar-benar meninggalkan tempat ini, terlintas sejenak di dalam ingatan. Sedih rasanya jika diceritakan, pantai dengan panorama yang begitu indah, masih saja saya temukan sampah-sampah berserakan, begitu banyak sampai mengotori setiap sudut bibir pantai.
“Mungkin saja sampah-sampah kiriman,” pikir saya. Perlu diingat, laut tidak akan pernah membuat dirinya kotor, ia akan membersihkan serta mengembalikan apa pun yang merusak dan mengotori keindahannya. Rasanya perlu ada pengelolaan sampah yang lebih serius dari pihak desa, atau dari pihak manam pun, agar pantai itu benar-benar memilki keindahan yang sempurna.
Kondisi sampah yang mengotori pantai Labuhan Amuk | Foto: Pande
Melihat yang seperti ini, saya lebih setuju tempat wisata itu dikenakan biaya tiket masuk, asalkan tempatnya tertata rapi dan terjaga kebersihannya. Sangat perlu membentuk kelompok desa sadar wisata, apalagi dalam kondisi seperti sekarang ini, sayang sekali jika pantai secantik ini, harus rela bersolek noda yang penuh dengan sampah-sampah di setiap sudutnya.
“Cepat, Nde, biar tidak keburu panas lagi!” Sugik memanggil-memanggil saya dari tadi, bergegas saya pamit meninggakan pantai ini.
Menjaga dan menata, sudah semesetinya dari sekarang dilakukan, bahkan sangat perlu saya pikir, agar tidak menjadi sesal dikemudian hari.
Nah, apa yang saya katakan di atas? Hanya membuat story singkat di Whatsapp saja, tidak perlu waktu lama, banyak saudara hingga teman bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Wah, cantik sekali, di mana tempatnya?” Sayangnya saya hanya menampilkan cantiknya saja, tidak sempat mengirim bagian cemarnya.[T]
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.