MENINGGALKAN Singaraja saya berkendara ke selatan. Hujan mengguyur kota ini dengan deras dan brutal. Menguapkan lumpur ke jalan-jalan. Di punggung Gitgit, sepanjang jalan short cut, kabut tebal bagai lorong alam lain. Jarak pandang hanya sepelemparan ludah. Sedang kendaraan seperti muncul tiba-tiba dari mulut makhluk mitologi asing dan mistis. Saya menggigil berselimut jas hujan murah seperti kambing konyol yang telat masuk kandang.
Hujan baru agak sedikit reda saat kuda besi yang saya tunggangi memasuki wilayah Baturiti. Itu cukup melegakan. Walaupun gigil tak kunjung pergi. Awal tahun, setidaknya di wilayah sekitar Buleleng dan Tabanan, hujan memang sedang deras-derasnya—seperti wahanan air tumpah di pekan raya. Saya memasuki Marga. Lurus, berbelok, sampai ditujuan, di Banjar Ole.
“Rumah ini menghadap ke timur atau ke mana?” tanya seorang teman. Saya menjawab tidak tahu. Sebab saya sendiri juga tidak yakin mengenai hal itu. Meski, di antara kami, saya dipercaya “paling tahu” mengenai arah mata angin.
Banjar Ole sedang bergeliat sore itu. Beberapa orang sedang mengaso di sebuah warung templek di pinggir jalan. Mereka menikmati kudapan hangat di kala mendung mendaulat. Sebelum gerimis, di sanalah saya memamah biak soto lontong—yang rasa kuahnya, alih-alih seperti soto, malah lebih dekat dengan kuah bakso. Di seberang warung itu, di halaman rumahnya, seorang bapak sedang sibuk memermak bambu panjang dengan nyiur. “Untuk penjor Galungan,” katanya. Sebagaimana hari raya lainnya, Galungan juga “harus” dirayakan.
Selain pelinggih-pelinggih mewah, di Banjar Ole, sejauh mata memandang, di setiap rumah, selalu terpacak lumbung padi di halaman. Lumbung, penemuan tua yang di beberapa daerah hanya tinggal cerita itu, seperti semacam kewajiban yang harus di miliki setiap keluarga di sana—atau setidaknya mereka yang memiliki sawah meski hanya barang sepetak. Tabanan, kota yang subur, sudah lama menyandang julukan “Lumbung Padi” di Bali.
“Nanti tidur di sini. Ini namanya bale gede,” ujar Made Adnyana Ole, wartawan senior sekaligus sastrawan yang sudah menulis puisi sejak remaja itu. Saya akrab memanggilnya Pak Ole. Tapi di tanah kelahirannya, ia terkenal dengan panggilan Pan Putik. Sebab anak pertamanya bernama Putik. Tiap lelaki dewasa di Tanah Ole, barangkali juga di Bali pada umumnya, dipanggil dengan sebutan “Pan”, disusul nama anak sulungnya.
Maka, jika Anda berkunjung ke Ole dan tujuan Anda adalah rumah Made Adnyana Ole sedangkan Anda sama sekali tidak tahu letak-posisinya, saya sarankan jangan bertanya, “Rumah Pak Ole sebelah mana, ya?” jika Anda tidak mau mendapat tatapan aneh, heran, dan dianggap konyol oleh orang-orang yang tinggal di Banjar Ole. Memangnya sejak kapan Ole menjadi bapak?
Jadilah saya tidur di balai gede rumah Pan Putik setelah menonton pertandingan sepakbola Liga I antara Borneo FC melawan Bhayangkara FC. Malam itu Pesut Mahakam menggebuk The Guardian dengan skor 4-0 tanpa balas. Pluim, Lilipaly, Felipe, dan Zikrak, adalah mimpi buruk bagi tim berbau militer itu.
Ole terlelap, basah, dingin, dan banyak nyamuk. Itu membuat tidur saya lebih beradrenalin daripada biasanya.
Pada hari berikutnya, kami, Tim Tatkala, meluncur meninggalkan Desa Marga. Di sebuah pertigaan jalan menuju Desa Tunjuk, kami berhenti di sebuah warung kelontong yang dijaga orang Madura. Di mana-mana ada warung Madura. Seolah mereka telah menginvasi berbagai wilayah di Indonesia sampai di lorong sempit sekali pun.
Warung Madura merupakan fenomena urban. Tampilan bangunannya yang sederhana dan segmen pasarnya yang membidik kelompok ekonomi menengah-bawah kerap mengaburkan status sosial pemiliknya. Meski memulai bisnis dari bawah, banyak pemilik warung Madura yang kemudian berhasil meningkatkan taraf hidup keluarganya di kampung halaman. Kerja keras, keuletan, dan tahan banting adalah kuncinya. Dan sejak awal mula kehadirannya, barangkali DNA warung Madura adalah juru selamat bagi mereka yang telat tidur.
Meninggalkan warung Madura, mobil bergerak menuju Pemanis. Sepanjang jalan hanya ada kebun, sawah, dan kampung yang tak padat-padat amat. Seperti di Ole, rumah-rumah di Tunjuk, Tajen, dan sekitarnya, selain terdapat pelinggih-pelinggih mewah, juga terdapat lumbung-lumbung dengan berbagai ukuran. “Bagi orang Tabanan, membangun tempat ibadah itu yang utama. Tak apa rumah sederhana, tapi bangunan untuk para dewa haruslah mewah,” kata Pak Ole sembari tertawa.
Di Tabanan, terlepas dari tempat ibadah yang mewah, lumbung adalah semacam identitas. Tabanan menempati peringkat pertama dalam produksi padi dibandingkan wilayah lain di Provinsi Bali. Orang-orang BPS Bali tahun 2021 mencatat 169.562 ton padi yang dihasilkan. Sedangkan produktivitasnya mencapai 5,76 ton per ha. Sampai tahun 2023, Tabanan masih menempati podium pertama dengan 171.023 ton, meningkat daripada tahun sebelumnya.
Namun, di balik melimpahnya produksi padi dan beras di Tabanan, alih fungsi lahan juga cukup masif di sini. Aktivitas manusia yang mengancam luas area persawahan itu, sejak 2008 telah menggerogoti Tabanan sampai hari ini. Selama tiga tahun terakhir, periode tahun 2019 sampai dengan tahun 2022, luas alih fungsi lahan pertanian di Tabanan mencapai 322,15 hektar. Di Kecamatan Kediri, misalnya, alih fungsi lahan sawah sebagian besar masuk kategori terbangun (sektor perumahan) dengan luas mencapai 11,64 hektar. Ini diprediksi akan terus bertambah di tahun-tahun yang akan datang.
“Tapi di sini sawah sangat dijaga. Tak sembarangan dapat mendirikan bangunan. Sebab padi tak hanya dianggap sekadar tumbuhan, tapi juga manifestasi Dewi Sri,” Bakti Wiyasa sedang berteori tentang padi, tumbuhan yang tak semata mengusir lapar, tetapi juga memikat mitos; tumbuhan yang sejak belasan ribu tahun lalu tumbuh di lahan-lahan subur Asia; tumbuhan yang kini memasok perut lebih separuh warga bumi.
Di Asia Tenggara, kata Fatris mengutip sejarawan Anthony Reid, beras adalah bahan makan yang paling pokok. Mungkin ada makanan pokok yang lebih tua, semacam umbi-umbian atau biji-bijian lain. Tapi, pada abad ke-15, padi telah menjadi tanaman yang lebih disukai dan bisa tumbuh subur di kawasan ini.
Di Subak Aya Pemanis, Penebel, berhektar-hektar sawah berwarna hijau. Padi-padi tumbuh subur di atas tanahnya. Di sini, petani sudah mulai mengurangi penggunaan pupuk kimia yang merusak. Pantas saja serangga sawah seperti klipes, capung, dan binatang licin berlendir seperti belut—orang Bali menyebutnya lindung—yuyu atau kepiting sawah, juga keong, masih banyak berkembang biak.
“Anak-anak itu sedang memancing lindung,” ujar Wiyasa, pelukis yang memilih hidup di desa dan mendirikan koperasi pangan (bersama petani sekitar) dan warung bernuansa desa bernama Warung Uma Manis itu, sambil menunjuk dua orang anak yang timbul-tenggelam di balik pematang. Tapi sayang, kata perupa lulusan ISI Jogja itu, kami datang setelah padi sudah tumbuh. “Padahal banyak ritual digelar sebelum menanam padi,” sambungnya.
Di Subak Aya Pemanis, menanam padi bukan sekadar proses biasa seperti kebanyakan orang Jawa. Tapi ada beberapa ritual yang sudah dipercaya dan diwarisi turun-temurun. Sebelum menanam padi, petani di sana—barangkali juga petani di belahan Bali yang lain—menggelar upacara mapag toya, ritual menjemput air dengan segala doa-doa purba. Petani berjalan menjemput air, membersihkan parit, memberi jalan untuk aliran air dari hulu hingga hilir. “Biasanya mereka juga mempersembahkan Tari Baris,” terang Wiyasa.
Tarian Baris di sungai, mantra pemangku ulun suwi, dan gamelan gong, bukanlah tontonan pariwisata. Itu adalah ritual yang penuh makna untuk menyambut musim tanam, luapan rasa syukur akan karunia air sungai dari gunung dan Danau Tamblingan yang mengalir melalui Yeh Gembrong di Batu Lumbung, daerah Soka-Senganan, sampai ke Subak Aya.
Selesai memapag toya, para petani mulai menebar benih padi atau suwinih. Barang sudah sejengkal orang dewasa, bibit padi siap dipindah-tanamkan di sawah yang telah selesai dibajak—ngawiwit atau memulai musim tanam
Namun, tak sembarang petani bisa seenak sendiri. Siapa yang berhak menanam padi terlebih dahulu, adalah mereka yang telah ditunjuk atas dasar rapat kesepakatan pengurus subak. “Petani yang mendapat giliran ngawiwit itulah yang menanam padi untuk pertama kalinya pada musim itu, sekaligus petani itu melaksanakan upakara ngawiwit,” kata Wiyasa sambil membenarkan letak kacamatanya.
Selanjutnya, sehari setelah ngawiwit, petani melakukan Nyepi Subak. Petani tak boleh bekerja di sawah. Ini masa jeda. Dan jeda, saya teringat sebuah prosa berjudul Spasi (1998) yang ditulis Dewi Lestari. “Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia mengerti bila tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak?” Dan Nyepi adalah spasi untuk mengerti.
Selasai Nyepi, petani mulai membenamkan akar (bibit) padi di lumpur-lumpur subur sawah mereka dengan riang dan semangat yang tak terbendung. Selama abulan pitung dina atau 42 hari usia padi setelah ditanam, upacara pertama mantenin digelar. Pada saat padi bunting, giliran upacara mesaba atau ngusaba diadakan. Di tahap ini, artinya padi telah siap dipanen. Di Penglatan, Buleleng, jauh dari desa ini, saat Ngusaba Nini, petani akan melantunkan pupuh dangdang gendis—salah satu pupuh tembang macapat.
“Tapi sudah tidak ada padi bali di sini,” ujar Wiyasa, “padahal tanahnya cukup subur untuk itu. Semua petani sudah menggantinya dengan padi hibrida.” Di Pemanis, padi bali, varietas padi khas Bali, telah lama ditinggalkan. Banyak petani hari ini memilih berpikir praktis dan pragmatis. Pasalnya, padi bali dari tanam hingga panen membutuhkan waktu sekitar enam bulan (dua kali lebih lama dari jenis hibrida), dengan pengolahan lebih rumit dibandingkan padi pada umumnya.
Di Tabanan, padi jenis ini hanya dilestarikan di Senganan, Jatiluwih, dan sekitarnya. Kebanyakan petani di Bali sudah meninggalkannya dengan berbagai alasan. Maka tak heran, di beberapa daerah, padi bali hanya memorabilia yang ngendon di kepala orang-orang tua. Ia, hari ini, hanya semacam tinggalan masa lalu yang cukup dilestarikan dan dijaga oleh beberapa orang saja. Tak perlu banyak, yang penting ada. Sebagai pelajaran, sebagai penanda, bahwa Bali juga (pernah) punya varietas padi sendiri.
Gerimis turun tiba-tiba. Kami duduk di teras belakang Koperasi Tri Guna Arta—yang juga sekaligus galeri lukisan karya Bakti Wiyasa—di Banjar Pemanis Biaung sambil menikmati kopi dan laklak Warung Uma. Di utara, deretan Gunung Batukaru, Gunung Sanghyang, dan lainnya, menjulang bagaikan lukisan Hindia Molek, gambaran haru-biru orang Eropa tentang eksotisme Timur. Batukaru, adalah gunung penting di Tabanan. Dua anak pemburu lindung itu, telah lenyap ditelan gelap.
Sebelum beranjak, saya teringat apa yang ditulis Fatris, “kita memang tidak berhasil mengetahui apa pun mengenai orang-orang yang pertama kali menemukan padi, juga bagaimana rumput liar ini kemudian menjadi begitu jinak sehingga bisa dibudidayakan manusia. Tapi ‘jinakkah’ padi kini bagi kita?
Produksinya nyaris tak bisa dijinakkan. Rencana-rencana swasembada bisa ambruk oleh wabah dan bencana—dan akibatnya bisa fatal secara politis. Beras adalah topik yang hangat saban tahun, apalagi di musim kampanye saat para politisi berkoar soal perut rakyat yang lapar. Memastikan produksi beras adalah tanggung jawab negara, dan beban itu diletakkan pada pundak kaum petani di desa-desa.”
Saya kembali ke Banjar Ole. Di tv, pembawa berita sedang mewartakan mahalnya harga beras seusai Pemilu 2024. Sedang stasiun tv lainnya menayangkan orang-orang yang berebut beras bantuan. Saya menghela napas.[T]