“Sahabat kita yang sangat mendalam dalam urusan ajaran lontar-lontar, sastra Indonesia dan Kawi, serta hal-hal mendalam lainnya, Cokorde Istri Sawitri telah berpulang.”
Itu adalah tulisan filolog Sugi Lanus yang beredar di sejumlah grup WA, terutama grup WA penulis, sastrawan dan pemerhati lontar di Bali.
Banyak orang kaget mendengar berita duka berpulangnya sastrawan dan budayawan Cok Sawitri, karena sejumlah teman masih sempat berkomunikasi lewat WA sehari atau dua hari sebelum kabar duka itu merebak.
“Turut berduka, Indonesia, terutama Bali, kehilangan salah satu putri terbaiknya. Sungguh tak bisa dipercaya beliau meninggalkan kita begitu cepat. Semoga spirit beliau menemu kedamaian abadi bersama semesta,” kata Marlowe Bandem, pemerhati arsip dan pendiri Arsip Bali 1928, di salah satu grup WA.
Kadek Sonia Piscayanti dari Komunitas Mahima sempat melakukan komunikasi akhir Maret 2024 untuk membicarakan Singaraja Literary Festival (SLF) yang akan digelar Agustus mendatang. Sonia meminta Cok Sawitri menjadi pembicara dan menyatakan siap akan datang.
“Saya tak bisa menahan tangis mendengar kabar duka ini,” kata Sonia.
Ida Made Dwipayana, suami dari koreagrafer Dayu Ani, dari Komunitas Bumi Bajra (Yayasan Bumi Bajra Sandhi) mengatakan Cok Sawitri diketahui berpulang ketika pada Kamis pagi, 4 April 2024, dibangunkan dari tidurnya di kamar, di rumahnya di Jalan Batanghari, Renon, Denpasar.
“Kata keponakannya, saat dibangunkan dari tidurnya, tubuh mendiang sudah kaku,” kata Dwipayana kepada tatkala.co.
Cok Sawitri, Ida Made Dwipayana dan Dayu Ani memang punya hubungan erat, selain hubungan keluarga, juga punya hubungan sangat dekat untuk urusan seni dan proses kreatif di Komunitas Bumi Bajra Sandhi, bahkan Cok Sawitri adalah penasehat di komunitas itu.
Cok Sawitri bahkan ikut berperan pada pementasan Gambuh Masutasoma karya Dayu Ani yang akan dipentaskan Sabtu, 6 April 2024 pukul 18.30 WITA di Griya Jelantik Budakeling, Karangasem.
“Saya sangat sedih dan bingung. Karena Mbok Cok punya peran utama, selain bertindak sebagai dramatug dalam pementasan itu,” kata Ida Made Dwipayana.
Tentang jadwal upacara palebon, menurut Dwipayana, pihak keluarga masih akan berembug karena masih menunggu saudara Cok yang sedang dalam perjalanan ke Bali dari Jerman.
Cok Sawitri dalam sebuah pementasan yang digarap Komunitas Bumi Bajra | Foto: Ida Made Dwipayana
Cok Sawitri adalah sastrawan yang lahir pada 1 September 1968 di Bali. Ia dikenal sebagai penyair, prosais, dan dramawan yang produktif. Selain sebagai seniman, ia juga kerap terlibat di dalam gerakan sosial.
Di Bali, Cok Sawitri bisa dikatakan sebagai panutan dari kalangan sastrawan, budayawan, pemerhati lontar, juga dari aktivis gerakan sosial.
Karya-karya Cok Sawitri, baik berupa puisi, novel, cerpen, naskah drama, tersebar di media massa lokal dan nasional, serta pada buku-buku yang diterbitkan penerbit di Jakarta maupuan di Bali.
Di media massa, karya-karyanya bisa ditemukan di Bali Post, Bali Echo, Nusa Tenggara, Lalitudes, Jurnal Kalam, Kompas, Gatra, Jurnal Perempuan, The Jakarta Post, Bali Rebound, dan lain-lain. Di bidang gerakan sosial, ia pendiri dan aktif bergerak di Forum Perempuan Mitra Kasih Bali dan Kelompok Tulus Ngayah Bali.
Di bidang sastra dan teater ia terpilih sebagai Tokoh Seni Pilihan Tempo 2018 untuk kategori Seni Pertunjukan. Novelnya yang terkenal dan dibicarakan di banyak tempat, antara lain Sutasoma dan Sitayana.
Cok Sawitri dalam sebuah pementasan yang digarap Komunitas Bumi Bajra | Foto: Ida Made Dwipayana
Yang fenomenal dan selalu jadi perbincangan di kalangan sastrawan dan penggemar sastra adalah tiga novel yang tergabung dalam Trilogi Jirah, yaitu Janda dari Jirah, Si Rarung dan Manggali Kalki. Novel Janda dari Jirah, diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2007 dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Widow of Jirah. Saking getolnya ia menggali, mengupas dan menemukan makna-makna baru dalam kisah dari dunia Jirah itu, Cok Sawitri, oleh sejumlah teman, bisa disebut sebagai sastrawan dari “Jirah”.
Sebagaimana ditulis di Kompas, ketiga buku adalah tafsirnya terhadap legenda Jirah yang terkenal. Bahwa pada akhirnya manusia akan melewati masa sunyi dan penderitaan untuk memahami diri dan keterhubungannya dengan alam semesta.
Tahun 2022 Cok Sawitri mendapat penghargaan seni Bali Jani Nugraha dari Pemerintah Provinsi Bali, dan setelah itu ia menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul Setahun Kematian Semilyar Nyanyianku Mati, Kiamatku Dalam Jarak 3 Centimeter yang diterbitkan Mahima Institute Indonesia.
Membicarakan dan menuliskan karya dan kiprah Cok Sawitri di bidang seni, budaya, adat, dan gerakan sosial tak akan habis dalam satu buku tebal. Seluruh hidupnya bergerak di dunia yang ia cintai sejak masih anak-anak hingga akhir hidupnya. Selamat jalan, Cok. [T][Ado]
Editor: Adnyana Ole