“DIRIKAN tenda di sini aja. Di atas jarang ada tempat lapang. Malam juga sudah larut. Sedangkan puncak masih jauh. Nanti, sekitar jam 2-an, kita mendaki sama-sama,” kata Awan. Angin malam berembus mengusap wajah kami, menyelinap di celah-celah batu, dan menggoyangkan vegetasi yang memaksa tumbuh di tanah gersang di lembah Gunung Agung.
Di sekeliling tak ada apa pun kecuali batu-batu besar, semak, dan pipa-pipa saluran air. Puncak masih jauh, tentu saja, meski kami sudah berjalan sekitar tiga jam dari Pura Pasar Agung, membelah belukar penuh duri yang nyaris tak tertembus, melintasi setapak sempit dengan jurang yang curam, susah-payah merunduk melewati bangkai pohon besar yang tumbang, dan dihantui khawatir akan ketersesatan.
“Berarti kalian salah jalur,” ucap Awan dengan tawa yang mengejek. “Itu jalur lama. Sudah ditutup tiga tahun lalu, sejak erupsi tahun 2017.” Pantas saja. Jalur yang kami—saya, Dziky, Fikri, dan Rina—lewati sejak awal memang terasa janggal dan mengerikan. Selain hanya semak, rumput setinggi tubuh, dan banyak pohon tumbang, tak ada jejak alas kaki, putung rokok, atau bungkus permen. Itu pendakian pertama kami ke Gunung Agung.
Jaswanto berpose di puncak Gunung Agung / Foto: Dok. Jaswanto
Kami mendirikan tenda tepat di sebelah kiri Awan dan kedua temannya duduk sambil bercakap dengan bahasa yang tak kami mengerti. Mereka lebih dulu mendirikan tenda. Perbekalan kami keluarkan. Menyingkirkan kerikil dan menata bawaan. Malam kian larut. Menyelimuti alam Agung beserta isinya. Bayang-bayang batu menghitam seperti raksasa dalam mitologi yang menyeramkan dan penuh misteri. Udara semakin terasa dingin.
Awan dan dua temannya membantu menyalakan api. Pemuda yang baru kami kenal ini mengaku sudah tiga kali mendaki gunung yang disucikan itu. Ia terus saja bercerita tentang situasi darurat dan mencekam saat gunung ini muntah tahun 2017—tiga tahun sebelum kami memacak tenda di sana. Katanya, saat itu, ia dan keluarganya sedikit pun tak peduli dan kepikiran akan harta benda. “Saat itu aku sadar nyawa lebih penting daripada hp kreditan,” sambungnya sambari tertawa.
Mendengar cerita Awan, yang sedikitpun tak bisa saya bayangkan itu, mengingatkan saya akan hilir-mudik berita yang saya baca. Sekitar 122.500 orang dievakuasi dari rumah mereka yang berada di sekitar gunung. Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia mendeklarasikan zona eksklusi 12 km dari pusat bencana. Saat itu saya masih kuliah. Dan saya ikut menggalang dana bersama teman-teman mahasiswa lainnya.
Gunung Agung termasuk dalam barisan gunung api yang masih aktif di Indonesia. Jika tidak salah baca, jauh sebelum negara bernama Indonesia ini diproklamasikan, dalam bahasa purba Babad Gumi,Babad Tusan, danTattwa Batur Kalawasan, Gunung Agung diperkirakan pernah meletus pada Oktober 1710 sampai Februari 1711.
Letusan ini menjadi yang pertama tercatat dalam sejarah—walaupun dalam Babad Gunung Agung mencatat pertama kali Gunung Agung meletus pada candra sangkala rudira bumi tahun 11 Saka atau 89 Masehi.
Pada tahun itu digambarkan air panas merusak desa-desa seperti Bukit, Caukcuk, Bantas, Kayuaya, Kayupetak, Tanjung, Rijasa, Mandala, Pagametan, serta wilayah lainnya seperti Tamblingan dan sekitarnya.
Seorang ahli botani dari Swiss Heinrich Zollinger mencatat, Gunung Agung kembali meletus pada tahun 1843. Katanya, sebelum meletus, didahului sejumlah gempa bumi, kemudian memuntahkan abu vulkanik, pasir, dan batu apung.
“Setelah lama tidak aktif, tahun ini gunung itu mulai hidup kembali. Pada hari-hari pertama kegiatan, guncangan gempa terasa setelah itu diikuti dengan keluarnya abu, pasir, dan batu,” tulis Heinrich.
Satu abad setelah kematian Heinrich, pada 18 Februari 1963, penduduk lokal mendengar suara letusan keras dan melihat asap tebal keluar secara vertikal dari puncak Gunung Agung. Letusan ini mengeluarkan abu panas dan gas setinggi hampir 20.000 meter. Empat hari setelahnya, lava mulai mengalir turun dari bagian utara gunung. Lava terus mengalir selama 20 hari dan mencapai kejauhan hingga 7 km.
Jaswanto saat perjalanan turun dari puncak Gunung Agung / Foto: Dok. Jaswanto
Pada 17 Maret 1963, Gunung Agung meletus dengan Indeks Letusan sebesar VEI 5 (setara letusan Gunung Vesuvius) dan kembali meletus pada tanggal 17 Mei 1963. Jumlah kematian yang disebabkan seluruh proses letusan Gunung Agung mencapai 1.148 orang dengan 296 orang luka-luka.
Letusan ini dicatat oleh Ida Pedanda Made Sidemen dalam kolopon lontar ‘Pūjā Pañambutan’ yang disalinnya dengan pangéling-éling (pesan pengingat) tentang letusan Gunung Agung tahun 1963, yang diikuti kekacauan politik tahun 1965. Agung, sebuah bisul besar yang memicu kiamat kecil.
“Tapi harus diakui, bahwa Gunung Agung juga berkah bagi kami,” kata teman Awan, memecah kesunyian. Kami semua tersenyum. “Kami percaya, sebagaimana orang tua kami, Gunung Agung adalah tempat suci, tempat para dewa berstana,” katanya lagi. Untuk kalimat yang terakhir ini, dia terlihat bersungguh-sungguh.
Mereka bertiga adalah pemuda Hindu yang lahir pada abad ke-20, di mana dunia sedang menuju peradaban rasional, materialis, dan pragmatis. Namun, meski beberapa filsuf Barat berbuih-buih menolak pernyataan-pernyataan metafisik dan menganggapnya tidak bermakna (non sense), itu sama sekali tidak menggoyahkan kepercayaan mereka atas apa yang telah diajarkan dan diyakini nenek moyangnya dari dulu.
Dalam sejarah peradaban manusia, penyucian gunung tak hanya dilakukan umat Hindu di Bali, bangsa Yunani menganggap Gunung Olimpia sebagai tempat suci, begitu pula Haraberezaiti yang disucikan bangsa Iran, atau Gerizim disucikan bangsa Palestina, dan Golgota di Yerusalem yang disucikan oleh umat Kristiani.
Jaswanto saat perjalanan turun dari puncak Gunung Agung / Foto: Dok. Jaswanto
Api tinggal menyisakan bara yang berada di batas nyala. Asap membumbung seperti Agung yang hendak meletus. Menyatu dengan kepulan tembakau bakar dari mulut kami. Entah berapa batang yang sudah kami hisap. Malam begitu sunyi, seolah tak seekor pun serangga malam berani menggesek sayap.
Meninggalkan Awan dan kedua temannya, saya masuk tenda untuk tidur barang sejenak, sebelum kembali mendaki dini hari nanti. Fikri beranjak sambil menyalakan senter. “Pipis dulu,” katanya. Dia berjalan menjauh dari tempat kami mendirikan tenda. Gelap telah menelannya, hanya terlihat samar cahaya bergerak-gerak di balik batu besar di pinggir jurang.
Waktu bergerak secepat rusa berlari. Pukul dua dinihari, Dziky membangunkan saya. Tampaknya dia sudah mengemas bawaan. Sesaat sebelum rombongan bule beserta guide-nya melintas, kami telah menggulung tenda. Mereka menyapa kami dengan nada berat yang seolah dipaksa, kemudian raib di balik bebatuan besar yang mungkin didiami arwah petapa suci yang moksa.
Selesai berberes, kami berjalan menerabas batu-batu muntahan Agung. Sejak keluar dari hutan, jalur Pura Pasar Agung hanya menyisakan sabana kering, tanah dan pasir hitam, gundukan batu-batu botak. Kehidupan seolah lenyap ditelan lava. Waktu bagai degup jantung yang terus berderu. “Masih lama?” Rina bertanya kepada Awan, pemuda dari Selat yang merantau ke Denpasar dan bekerja sebagai sales.
“Tenang, sebentar lagi sampai,” jawab Awan, tentu tidak sungguh-sungguh. Kelar istirahat sebentar, perjalanan dilanjutkan. “Ini belum setengah jalan,” kata teman Awan. Fisik kembali diuji. Fikri dan Rina memilih berhenti, tak melanjutkan pendakian. Kami meminta mereka untuk menunggu di tempat di mana kami terakhir berbincang.
Atas-bawah: Kawah Gunung Agung; Gumpalan awan di leher Gunung Agung / Foto: Jaswanto
Apa yang dicari seseorang di puncak gunung? Saya masih bertanya. Belasan jam kami menggasak langkah, memaksa tenaga. Seorang pendaki tidak akan mengeluh hanya karena letih, kata Awan mengoceh.
Kami meniti jalan setapak yang berdebu dan menanjak. Jurang-jurang dan batu yang terjal, membuat kami merasa was-was. Tanjakan makin terjal, kabut dan embun mulai saling bertengkar menutupi jarak pandang. Napas saya mulai sesak.
Dziky tertinggal jauh di belakang sana. Sedangkan saya tertinggal jauh oleh rombongan Awan. Sendirian saya berjalan di tengah dunia asing yang tak berpenghuni—dengan batu-batu, pasir, dan suasana purba yang menyelimutinya. Dua jam berselang. Langit berubah terang. Awan putih menggumpal di leher Gunung Agung. Tak ada pohon, tak ada rumput, tak ada edelweiss yang mekar.
Saya berdiri mematung, memunggungi kawah berpasir dan berasap. Angin sangat kencang. Di timur yang jauh, seperti kata Fatris, Rinjani bagai perempuan yang menopang dagu dengan kabut tipis melingkari lehernya. Berteriak, saya memanggil Dziky yang berlari mendekati puncak.
Sebelum turun, sekelebat saya teringat perkataan teman Awan, “Gunung Agung adalah tempat suci, tempat para dewa berstana.” Gumpalan-gumpalan putih—seperti kapas—berarak indah mengelilingi leher Agung. Di sanakah istana para dewa? Saya sudah lelah bertanya.[T]