DAMPAK lingkungan atas nama pembangunan dan konflik lahan menjadi fokus diskusi Kumpul Warga: Mempertahankan Hak dan Ruang Hidup dalam puncak Festival Hak Asasi Manusia (HAM) Bali akhir pekan ini.
Rangkaian kegiatan peringatan Hari HAM sedunia ini ditutup dengan diskusi publik, pertunjukan seni, dan pameran karya oleh sejumlah komunitas pada puncak Hari HAM di Taman Baca Kesiman, Denpasar, Minggu (10/12/2023).
Sebelum kegiatan penutupan dilaksanakan, gabungan beberapa komunitas terlebih dahulu melakukan aksi damai dan kampanye publik di Lapangan Puputan Renon, pada Minggu (3/12/2023) lalu. Sejumlah isu pelanggaran HAM seperti akses disabilitas, kekerasan perempuan, dan kelompok rentan dan marjinal disampaikan saat itu.
Ya, festival tersebut dihelat swadaya oleh belasan lembaga dan komunitas di Bali yang bergerak di berbagai bidang seperti perlindungan masyarakat adat, pelestarian lingkungan, pendampingan hukum, pemberdayaan perempuan, disabilitas, dan lainnya.
Komang Era Patrisya, misalnya. Perempuan Adat Dalem Tamblingan dalam Kumpul Warga itu menceritakan upaya Catur Desa Adat Dalem Tamblingan untuk pengakuan hutan dan Danau Tamblingan, yang mereka sebut sebagai Alas Mertajati, sebagai hutan adat. Saat ini, kawasan tersebut berstatus Taman Wisata Alam (TWA) yang ditetapkan pemerintah; dan menjadikan Alas Mertajati dapat dieksploitasi sumber daya alamnya untuk pariwisata massal.
Era menjelaskan, di hutan Tamblingan terdapat 17 pura. “Bagi kami, masyarakat adat Tamblingan, semua kawasan hutan merupakan tempat suci. Hutan dan danau kami yang masih asri itu tidak bisa dijual,” katanya.
Apalagi ancaman terhadap kelestarian Alas Mertajati telah dirasakan. Dari luar, hutan mungkin terlihat masih asri. Namun menurut Era, di dalam hutan sudah banyak penebangan pohon secara liar. Dan hal ini berdampak pada surutnya mata air di hutan.
“Kami sudah melakukan pemetaan beberapa mata air. Menurut warga lokal, dulu ada beberapa titik air, namun saat ini sudah mulai surut. Alas Merta Jati Tamblingan masuk dalam kawasan cagar alam, dan penyuplai ⅓ air di Bali. Kami menjaga alas ini bukan hanya untuk kami, tetapi juga untuk masyarakat Bali,” tutur perempuan generasi muda Tamblingan itu.
Tak hanya warga di tingkat tapak yang sedang mempertahankan ruang hidupnya. Seniman juga harus bersiasat mengakses hak ruang ekspresinya terutama mengkritisi pembangunan di Bali. Salah satunya Slinat, salah satu seniman mural terkenal di Bali.
“Saya pernah membuat mural terkait banyaknya pohon yang ditebang, dan lain sebagainya. Pernah dibawa pecalang ke banjar, ditanya, mengapa buat mural begitu, sudah mendapatkan izin belum?” katanya, heran.
Salah satu mural yang pernah Slinat bikin—yang berukuran besar—di sekitar kawasan Pasar Badung dan Kumbasari juga pernah berusaha diredam. Di karyanya tersebut ada pesan kritik: “Kemajuan adalah hutan menjadi bangunan.” Mural tersebut pernah ditutup poster dan pot tanaman besar sehingga pesannya menghilang.
I Gusti Agung Made Wardana, ahli hukum lingkungan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), mengingatkan hukum dalam konteks nasional dijadikan sebagai alat represi rezim pemerintahan. Hal ini dilihat dari kasus-kasus perampasan ruang hidup saat warga protes. Misalnya saat warga mempertahankan ruang dari ekspansi industri ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit, tambang, dan proyek pariwisata.
Agung Wardana menjelaskan, untuk konteks Bali, ketika membicarakan tentang konflik ruang dan mempertahankan hak, tidak bisa dilepaskan dari bagaimana cara kerja dan ekspansi industri pariwisata. Apabila dibandingkan corak industri ekstraktif di tambang dan perkebunan, industri pariwisata dinilai memiliki karakteristik yang unik.
“Karena yang dijual bukan komoditas yang diekstrak dari alam secara langsung seperti bahan tambang, atau sawit. Tetapi, yang dijual adalah pengalaman berwisata di luar ruang rutinitas dari wisatawan,” jelasnya.
Sehingga perlu dikaji bagaimana industri pariwisata ini sebagai corak produksi yang dominan, bekerja, melahirkan kontradiksi-kontradiksi, baik kepada masyarakat lokal maupun terhadap lingkungan. Tak ayal, pariwisata bisa memberikan ancaman pada lingkungan dan perampasan hak masyarakat lokal termasuk ruang hidupnya.
Dari rangkuman kasus 2010-2022, Agung mengatakan ada pembungkaman para pembela HAM atau mereka yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari ekspansi pembangunan ekonomi, dengan target 204 orang. Sebagian besar menggunakan hukum pidana. Entah karena tuduhan penghinaan, pencurian, dan lainnya.
Made Supriatma, peneliti ISEAS, juga memberi catatan tren kemunduran negara hukum selama 9 tahun terakhir. Ciri-cirinya, mundurnya kebebasan sipil: pelarangan organisasi, mundurnya kebebasan berbicara, berekspresi, dan mengemukakan pendapat serta pemakaian UU ITE secara lebih intensif.
Pernyataan Sikap
Diskusi juga menghadirkan perwakilan warga di sejumlah konflik ruang lain untuk menceritakan pengalaman mereka, seperti di TWA Gunung Batur Bukit Payang di mana petani yang tinggal turun temurun di hutan terancam tergusur oleh pengusaha wisata yang mendapat izin konsesi kawasan hutan, serta perwakilan masyarakat Desa Bugbug Karangasem yang sedang mempertahankan kawasan suci mereka dari pembangunan resort.
Pada akhir diskusi, perwakilan lembaga dan komunitas menyatakan Pernyataan Sikap Bersama Hari HAM Sedunia. Pembacaan secara bergantian dipandu oleh Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Rezky Pratiwi. Bahwa individu memiliki hak atas perlindungan HAM dan kebebasan dasar tanpa diskriminasi, namun di Bali, hak ini dihadapkan pada berbagai rintangan.
Berikut butir pernyataan sikap tersebut:
Pertama, pertumbuhan ekonomi yang eksploitatif telah merubah pandangan atas pentingnya penghormatan dan pemenuhan HAM. Rezim pertumbuhan ekonomi mengubah hak asasi manusia menjadi hal yang dapat dikesampingkan terutama ketika bertentangan dengan kepentingan elit ekonomi dan politik.
Kedua, ekspansi industri pariwisata mengancam ruang hidup masyarakat dan menimbulkan konflik tenurial. Di Kabupaten Buleleng, Masyarakat Adat Dalem Tamblingan sedang berjuang untuk hak pengakuan atas hutan adat mereka agar terlindung dari eksploitasi.
Di Celukan Bawang, PLTU Batubara hingga kini terus meracuni udara, mencemari laut, merugikan masyarakat di pesisir termasuk berdampak serius terhadap kesehatan warga. Di Kabupaten Bangli, petani yang hidup turun temurun di Gunung Batur Bukit Payang terancam penjara dan tanahnya digusur.
Di Kabupaten Karangasem, masyarakat Desa Bugbug juga terancam penjara karena membela kawasan suci dari pembangunan resort. Banyak lagi konflik lainnya yang tidak hanya terjadi di Bali namun juga di Indonesia.
Ketiga, alih fungsi lahan yang masif tidak diiringi oleh tata ruang yang memperhatikan dampak sosial dan lingkungan, memunculkan masalah privatisasi ruang, kemacetan, polusi, dan pengelolaan sampah yang semrawut.
Keempat, imajinasi tentang lapangan pekerjaan yang dibawa industri pariwisata nyatanya masih menyisakan persoalan. Akses pekerjaan yang terbatas dan upah rendah memaksa sebagian masyarakat Bali menjadi pekerja migran dengan minim perlindungan. Sementara pelanggaran hak-hak pekerja terus terjadi dengan penindakan yang lemah.
Kelima, kemunduran demokrasi di Indonesia mengancam suara kritis dan mempersempit gerakan masyarakat sipil. Kemunduran ini dipotret dari minimnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan publik, serta pengambilan keputusan lainnya termasuk dalam terbitnya izin-izin usaha yang berdampak pada hajat hidup masyarakat. Potret lainnya adalah pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat yang melibatkan berbagai elemen, mulai dari aparat pemerintah, penegak hukum, hingga ormas.
Keenam, kekerasan dan diskriminasi berbasis gender, rasial, agama dan keyakinan juga masih terjadi dengan lemahnya upaya untuk menanggulanginya. Di Bali situasi ini terus menerus merugikan kelompok marginal dan rentan seperti perempuan, anak, disabilitas, komunitas LGBT, dan mahasiswa papua.
Karena itu, elemen masrakat sipil ini menyatakan, menyerukan solidaritas bersama mendesak negara kembali pada konstitusi dan komitmen pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia untuk memastikan setiap orang dapat hidup dengan bermartabat.
Hentikan segala bentuk perampasan ruang hidup masyarakat serta intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan haknya. Hentikan eksploitasi terhadap pekerja dan wujudkan kondisi perburuhan yang melindungi hak-hak pekerja.
Hentikan penghalang-halangan, intimidasi, dan kekerasan dan pelanggaran lainnya terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hentikan kekerasan seksual berbasis gender, rasial, agama dan keyakinan, serta wujudkan keadilan bagi korban. Wujudkan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi disabilitas untuk dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan masyarakat.[T][Rls*]