AKU mengecup keningnya dalam kamar itu. Nafsuku yang brutal mulai bergejolak. Apalagi setelah aku melihat cinta di matanya. Diriku jadi rusuh. Aku suruh ia berbaring, lalu mendekapnya erat. Aku tidak mau ia pergi. Aku ingin ia selalu ada dalam pelukanku.
“Apa yang kamu tidak sukai dari aku,” tanyanya. Matanya menatap ke atas loteng.
“Hal yang tidak aku sukai dari kamu, ketika kamu tidak lagi menyukai aku,” jawabku.
Ia belum juga membalas pelukanku. Tanganku yang gatal menjelajah ke bagian tubuhnya yang lain, sampai aku menyentuh auratnya paling aurat, lalu menjalar lagi berhenti pas di bagian susunya.
Ia hanya menggigit bibirnya, pelan-pelan ia menyingkirkan tanganku yang menempel di dadanya.
“Aku tidak mau kau memperlakukan aku berlebihan seperti ini, perbuatan tidak benar. Jika aku menerimamu sebagai pacar, dan menyeretmu dalam kamarku ini untuk tidur bersama, bukan berarti aku siap dicicipi, cukup kau memelukku. Kau jangan memandang rendah diriku sebagai seorang perempuan, kau tidak boleh macam-macam!”
Aku tak mengerti, kenapa tiba-tiba ia merongrongku seperti itu. Aku memperlakukannya seperti seorang kekasih yang baru bertemu setelah lama menunggu. Dan memang aku dan dia sudah lama tidak bertemu.
Selama ini ia kuliah di luar negeri. Tiga hari setelah kedatangannya, tiba-tiba ayah dan ibunya ada keperluan ke luar kota, tinggal ia sendiri di rumah. Aku begitu merindukannya selama ini. Sebelum ia datang, aku juga pernah bilang berkali-kali, aku harus mencium dan memelukmu, bahkan lebih dari itu.
Aku yakin ia mengerti maksudku. Dan ia jawab, aku yang duluan memelukmu nanti. Dan akhirnya terjadi peperangan seperti ini.
“Aku tidak mau kalau kau hanya mencintai tubuhku, tapi tidak dengan hatiku!”
Kenapa ia menuduhku sejauh itu. Dulu juga aku pernah memperlakukan dia lebih dari ini, tapi ia diam, tak ada berkoar sepatah kata pun. Kenapa ia sekarang berubah seperti ini? Dan ia bilang, ia mengajakku ke dalam kamarnya berduaan untuk berbagi cerita.
“Kalau sekadar memeluk, cium kening dan pipi silakan, lebih dari itu jangan!” ucapnya menatapku tajam.
“Sekali lagi kukatakan, jika kau ingin melakukan kemesraan denganku, cukup peluk, dan kau boleh memegang kedua tanganku, sambil mencium keningku, tapi ingat tak lebih dari itu, tak lebih dari itu!”
Dari situ aku baru tahu, apa syaratnya supaya aku boleh masuk dalam kamarnya ini.
“Kenapa waktu itu ketika aku meminta akan memelukmu, dan memperlakukanmu lebih dari itu, kau mengindahkannya?” kataku.
Aku harus memperjelas kenapa ia memperlakukanku seperti ini.
“Karena aku merasa kaulah yang akan menjadi suamiku nanti,” jawabnya.
“Maksudmu? Bukankah aku sudah melakukannya denganmu?”
“Saat itu aku yakin, suatu saat kau akan jadi suamiku!”
“Sekarang?”
“Tidak.”
Aku terkejut mendengar pengakuannya. “Kenapa?”
Ia terdiam, sepertinya ada yang ingin ia sampaikan, tapi mungkin belum saat yang tepat jika ia utarakan sekarang. Sebelum aku menanggapi pernyataan tidaknya itu, ia sudah mendahuluiku.
“Kau seorang ustaz, tak mungkin mau melakukan hal buruk seperti itu, ternyata aku salah!”
Aku tidak tahu apa maksud dari kata-katanya itu, yang jelas aku lulusan pondok pesantren, dihancurkannya nuraniku. Bukankah dari dulu aku melakukannya, kenapa baru sekarang ia persoalkan. Dadaku serasa retak mendengar ungkapannya itu.
“Kalau saja aku menuruti kemauanmu bisa jadi kau melucutiku di sini, tak seharusnya kau melakukan itu, kau seorang ustaz!”
Lagi-lagi ia menyinggungku. Aku malu pada diriku, malu pada wanita itu, dan entah malu pada Tuhan. Kalau saja aku malu pada Tuhan, tak mungkin aku berani menerobos masuk ke dalam kamar seorang perempuan yang belum halal melepas kerinduanku dengan pelukan. Harusnya kupingku tak harus panas mendengar nasihat-nasihatnya untukku.
“Bukankah kau sering bilang padaku, kau tidak suka melihat perempuan yang tidak bisa menjaga harga dirinya?”
Aku teringat obrolan yang panjang waktu itu sampai larut malam. Dan ia menangis mendengar wejanganku, seolah ia perempuan yang sudah tercederai sekujur tubuhnya. Aku bangkit dari tempat tidur, minta izin pergi.
“Kau di sini saja, tidurlah bersamaku sampai datang waktu pagi. Tapi ingat, kau tidak boleh macam-macam!”
Ia menarik tanganku, meletaknya di atas dadanya, menyuruhku memeluknya erat dalam selimut itu, aku mengikuti perintahnya. Dan tak lama kemudian ia pun tertidur membelakangiku.
* ***
Pagi yang cerah, aku melangkah meninggalkan rumah itu. Diam-diam aku pergi tanpa sepengetahuan Niken, pacarku itu. Sesampai di rumah, aku ditelepon. Ia tanya kenapa aku pulang sementara ia tidak dibangunkan.
“Aku ingin selama orang tuaku masih di luar kota, aku maunya kamu tidur di kamarku, ini kesempatan untuk kita bersmesraan,” pintanya pada obrolan lewat telpon itu.
Aku diam.
“Kau marah ya, dengan kata-kataku tadi malam?”
Mendengar aku diam ia tahu aku menyimpan sesuatu dalam hati.
“Sekarang kamu boleh memperlakukan aku lebih dari sekadar pelukan!”
Aku tidak senang lagi mendengar kata-katanya. Kelakuannya malam itu membuatku punya pemikiran aneh pada dirinya, yang mebuatku resah. Ia memandang diriku lelaki bobrok yang hanya mencintai tubuhnya semata, tidak dengan hatinya. Kuakui, dalam memerangi hawa nafsu malam itu, aku kalah dan terpatahkan setan. Aku pernah diajarkan seorang guru, jika seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berduaan dalam tempat yang mengundang sahwat, apalagi dalam kamar, yang ketiganya adalah setan. Aku melihat setan itu dalam diriku malam itu.
Setan itu sedang tertawa renyai melihatku memeluk seorang wanita yang belum halal untukku, dan selama ini aku tidak pernah melakukannya pada perempuan mana pun, kecuali pada Niken. Setan menang, dan aku terkalahkan.
Tapi setelah perempuan itu mengeluarkan kata-kata yang menyayat hatiku, setan mulai ketakutan, ia khawatir aksinya yang menjerumuskanku dan perempuan itu pada perzinaan paling puncak gagal. Dari ucapannya yang membabi buta itu, aku menyimpulkan ia menganggapku laki-laki yang kehadirannya hanya untuk menggores tubuhnya yang lembut, dan setelah itu aku akan pergi meninggalkannya yang sudah terludahi kesuciannya.
“Aku tidak bisa lagi datang ke rumahmu, apalagi masuk ke dalam kamarmu,” ucapku sambil menutup telepon.
Setan keparat yang terus mengikutiku itu pun menangis. Sesampai di rumah aku siap-siap mandi, terus berangkat ke tempat kerja di sebuah hotel dekat dari bandara Sultan Syarif Kasim. Aku baru dapat pekerjaan freelence, sebagai seorang pelayan di hotel itu. Jika ada acara saja aku bekerja, itu pun jika aku menolak karena ada kesibukan lain, dan itu tidak masalah. Ini sebagai pekerjaan tambahan saja, selain sehari-hari aku jadi teknisi lepas untuk service AC di rumah-rumah.
Mengenai pekerjaan baruku ini sengaja aku tidak cerita sama Niken. Aku memakai baju putih lengan panjang, ditutup dengan rompi hitam, dan memakai celana dengan warna yang sama, sepatu juga wajib warna hitam. Acara pertemuan para pengusaha itu di lantai dua. Aku sibuk mempersiapkan segalanya, meletakkan meja, menyusun kursi, dan mengangkat piring-piring, meletakkannya rapi di atas meja itu setelah dilap.
Waktu aku masih sibuk, dan acara hampir dimulai, tak sengaja aku menoleh ke kiri bertemu dengan teman lama yang sudah sukses. Aku ingin menyapanya, tapi terpaksa aku urungkan niat, setelah melihat teman lamaku itu bersama Niken. Mereka bergandengan tangan menunjukkan kemesraan pada orang-orang layaknya suami istri.
Aku yang terlanjur sakit hati sudah berpikir jauh, di depan keramaian saja mereka bermesraan. Apalagi ketika berduaan. Aku yakin mereka akan tidur di hotel ini berduaan. Ia bukan saja memeluk Niken, tapi sudah melakukan yang lebih intim. Aku tahu Niken juga mencintaiku dengan perasaannya, tapi mungkin sebagai cadangan untuk menemani hari-harinya jika dibutuhkan.
Ternyata inilah jawabannya, kenapa ia berubah. Dalam persaingan cinta ini, aku pasti kalah. Bukan kerena kurang tampan, tapi tidak bermodal. Sekuat apapun kau mencintai seorang perempuan, kau biasanya akan tersingkir seperti bangkai busuk oleh lawan mainmu jika hartanya lebih melimpah dari kamu.
Aku tidak fokus lagi bekerja pada hari pertama itu. Aku terpaksa menyelip-nyelipkan diri, agar mereka tidak melihatku. Tapi aku tidak berhasil, aku disuruh mengantar makanan ke atas meja mereka. [T]