JIKA ADA karya sastra yang abadi, yang tak lekang dimakan zaman; maka dialah puisi. Salah satu karya sastra ini selalu hadir di setiap waktu, dan telah melahirkan sastrawan di setiap generasinya.
Mengapa puisi tetap abadi sepanjang masa? Jawabnya, karena puisi adalah detak nadi dan hembusan nafas setiap orang. Sepanjang masih ada fase yang bernama kehidupan, maka di saat itulah puisi hadir.
Bagi sebagian orang yang hanya dapat membaca dan menikmati puisi, karya sastra ini dapat mengisi jeda rutinitas kehidupan. Puisi dapat dibaca santai di sela-sela rehat kerja atau dibaca serius di ruangan pribadi. Namun bagi penulis puisi, kerja berkesenian ini tentunya tak sekadar mengisi waktu luang.
Setiap pusi sejatinya intensional. Ada tujuan dari setiap puisi yang ditulis. Lewat bait dan baris dalam puisi, sang penyair hendak mengkomunikasikan pesan kepada pembacanya. Maka puisi bukan hanya proses berkesenian, tetapi juga proses komunikasi.
Pesan Puisi
Interaksi antara penyair dan pembacanya sangat ditentukan oleh kekuatan dan interpretasi pesan. Setiap puisi memiliki kekuatan yang terbentuk oleh energi penyair ketika ketika menuangkan gagasannya. Sedangkan interpretasi pesan puisi oleh pembaca akan menimbulkan getaran jiwa, yang dalam beberapa kasus dapat menjadi spirit untuk bertindak.
Pesan puisi dapat bersifat eksitensial. Apa yang ingin disampaikan kepada pembacanya adalah tentang dirinya, tentang ke-aku-annya. Puisi “Aku” yang ditulis Chairil Anwar tahun 1943 mengandung pesan ekistensial. “Aku ini binatang jalang; dari kumpulannya terbuang; biar peluru menembus kulitku; Aku tetap menerjang; luka dan bisa kubawa berlari “.
Begitu cuplikan pusi karya Chairil Anwar. Sangat individualistik. Tapi memang demikianlah puisi eksistensial. Tak ada pesan yang terlalu penting untuk diketahui pembaca, selain agar memahami diri sang penyair.
Karya puisi dapat membawa pesan religius. Bermacam doa, rasa syukur atas nikmat Tuhan atau kebesaran Tuhan kerap mewarnai pesan puisi. Termasuk dalam penyair yang religius di Indonesia, terdapat nama Taufiq Ismail dengan karyanya “Sajadah Panjang”dan “Rindu Rasul” yang digubah menjadi lagu oleh grup musik Bimbo.
Puisi kerap digunakan mengkomunikasikan kritik sosial atas kondisi yang ada di masyarakat maupun di suatu negara. Puisi karya Si Burung Merak, WS Rendra yang berjudul “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta” begitu keras dan vulgar membuka borok kehidupan di ibu kota Indonesia. Simak saja penggalan puisi WS Rendra tersebut: “Para kepala jawatan, Akan membuka kesempatan, Kalau kau membuka kesempatan, Kalau kau membuka paha, Sedang diluar pemerintahan, Perusahaan-perusahaan macet, Lapangan kerja tak ada”.
Bukan hanya sarana kritik, puisi juga dapat untuk menyampaikan pesan perlawanan terhadap situasi maupun rezim. Puisi karya Wiji Thukul berujudul “Peringatan” yang ditulis pada tahun 1986 telah menjadi spirit bagi rakyat, mahasiswa, dan aktivis untuk melawan rezim Orde Baru. Penggalan puisinya, “Maka hanya satu kata: lawan!”, telah menjadi ungkapan wajib para demonstran ketika menyuarakan perlawanan terhadap rezim yang menindas.
Mengungkapkan perasaan sedih, senang, dan cinta sering disampaikan lewat puisi. Begitu pula kekaguman terhadap alam semesta ini. Sastrawan Sapardi Djoko Damono menulis puisi bertajuk “Hujan Bulan Juni” yang selalu menjadi trending setiap bulan Juni tiba.
Puisi yang ditulis tahun 1989 itu begitu syahdu dan mampu mengaduk-aduk perasaan setiap orang tentang kenangan di bulan Juni. “Tak ada yang lebih tabah, dari hujan bulan Juni, Dirahasiakannya rintik rindunya, Kepada pohon berbunga itu”. Penggalan puisi “Hujan Bulan Juni” yang sungguh menyentuh relung hati.
Manfaat Puisi
Puisi bukan semata ekspresi penulisnya, tetapi juga apresiasi pembacanya. Menulis puisi dan membaca puisi tak sekadar aktivitas berkesenian. Puisi juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan tubuh, baik bagi penulis maupun pembaca.
Menulis puisi, sebagaimana aktivitas menulis lainnya memiliki banyak manfaat. Hasil penelitian Harvard Medical School, sebagaimana dikutip Kompas.com, 13 Agustus 2021 menyebutkan, menulis dapat dapat meningkatkan kesehatan mental, fisik, dan emosional. Bahkan, penelitian tersebut juga membuktikan bahwa menulis dapat meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh, mengurangi peradangan, dan membantu mengurangi rasa sakit.
Bagi pembacanya, puisi juga memberi manfaat untuk otak. Sebuah studi yang diterbitkan Frontiers in Psychology, seperti diungkap Sukocokongso dalam Lombokjournal.com, 4 Mei 2021, menyebutkan orang yang membaca puisi menunjukkan peningkatan kefasihan linguistik dan flesibilitas mental.
Terapi seni, termasuk puisi; dapat meredakan gejala nyeri fisik dan emosional kronis. Pusat Memori New York telah menerapkan puisi sebagai bentuk pengobatan dimensia atau penurunan daya ingat. Membaca puisi secara teratur bahkan dapat memperpanjang umur bagi orang dewasa yang menginjak usia lanjut.
Puisi memang sebuah karya yang mampu menembus ruang dan waktu, dapat ditulis dan dibaca oleh siapa pun tanpa memandang jenis kelamin, usia, ras, agama, dan suku bangsa. Puisi yang ditulis dan dibaca dengan sepenuh hati akan membuat hidup lebih bergairah.
Penyair Rusia Yevgeny Yevtushenko mengatakan, puisi itu seperti burung, mengabaikan semua batas. Sedangkan aktivis dan penyair Amerika Serikat Lawrence Ferlinghetti menegaskan, puisi adalah grafiti abadi yang tertulis di hati setiap orang. [T]
- BACA opini dan esai lain tentang komunikasi dari penulis CHUSMERU