KOMANG PERLU MEMASTIKAN sudah menghapus semua percakapan nggak penting dalam semua aplikasi percakapan gawainya, sebelum bertemu ceweknya, yang kebetulan namanya Komang juga. Gawainya harus steril dari segala percakapan nggak penting, karena ceweknya sangat pecemburu dan posesif. Apalagi kalau chattingan-nya dengan seorang gadis idaman lain, sampai ketahuan.
Sejak sebulan ini, ia memang nakal, atau boleh dibilang sedang mencari-cari masalah. Telah menjalin hubungan rahasia, daring dengan seorang cewek lain. Sampai hari ini, mereka memang belum pernah bertemu langsung atau kopi darat. Tapi, melihat kepribadian pacarnya, nggak kebayang deh huru-hara yang bakal meletus, kalau perselingkuhan itu sampai ketahuan.
Maka itu, jangan sampai ada percakapan digital yang tiba-tiba nyelonong mencolok mata ceweknya.
Clear! Ia memasukkan smartphone ke saku jaketnya, memakai helm lalu menarik gas sepeda motor matic-nya, menjemput sang kekasih.
Saat tiba di rumah Komang.
“Kok lama banget sih!?”
Ketimbangan sebuah pertanyaan, kalimat pembuka Komang lebih terasa sebagai tuduhan. Komang Oki memang begitu posesif kepada kekasihnya, Komang Oka.
Selain namanya sama atau nyaris sama, mereka juga kuliah di satu kampus, satu ruang kuliah, duduk di kursi berpasangan. Secara teori, bagaimana mungkin ia bisa berselingkuh? Saat kepada anda diterapkan sistem keamanan maksimum, apa yang bisa anda lakukan?
Komang cuma tersenyum. Ia tak pernah mau konfrontasi dengan Oki. Defensif pun bukan pilihan menarik baginya.
“Sori, Beb, tadi mandikan motor dulu. Biar cling kayak kamu, hehehe!”
“Awas kamu macam-macam!”
Matanya mendelik, tajam mengarah ke tubuh cowoknya. Ya, tatapan matanya mengarah ke tubuh Oka, bukan ke matanya. Hal yang tak lazim dilakukan seorang wanita yang lagi curiga kepada pasangannya.
“Nggaklah, Beb. Satu kamu saja, sudah segala macam rasa,” tangkisnya santai sambil tersenyum.
Oki meneruskan monyong bibirnya. Sesaat kemudian ia sudah bertengger di boncengan, memeluk mesra kekasihnya, meluncur gesit menuju pantai Penimbangan, Singaraja.
Setiap Sabtu sore, di sepanjang Pantai Penimbangan biasa dipenuhi remaja dan anak baru gede (ABG) kota Singaraja dan sekitarnya. Tempat nongkrong itu lebih populer disebut PP. Lokasi yang ideal banget buat remaja dan ABG dengan bujet terbatas namun menyediakan suasana hangat, seru, akrab dan mudah dijangkau. Pemerintah daerah terus membenahi spot-spot buat nongkrong agar lebih rapi, bersih dan kekinian.
“Ngapain aja kamu dari pagi?”
Oki kembali menginterogasi Oka yang lagi kebingungan memilih menu di sebuah kafe dekat bibir pantai.
“Eh, pilih menu dulu yuk. Kamu mau apa, Beb?”
“Samain aja sama kamu!” jawabnya sambil bersungut-sungut.
“OK, chiken crunchy seporsi, ice lemon squash dua!”
Ia memanggil pelayan kafe yang berpenampilan sporty dengan t-shirt, celana pendek selutut dan sepatu kets. Seirama dengan busana yang dikenakan sepasang kekasih yang dilayaninya.
Sebetulnya, secara fisik pasangan ini sangat serasi, jegeg bagus atau ganteng dan cantik. Bodi keduanya juga ideal. Bisa dimaklumi kenapa pasangan ini membuat teman-teman mereka di kampus sering kali iri. Tentu saja, ada cowok lain yang mengidolakan Oki dan sebaliknya tak sedikit cewek yang tergila-gila sama Oka. Terutama di kalangan cewek yang tahu Oka sering dikasarin oleh ceweknya.
Sementara bagi beberapa cowok, karakter Oki yang galak itu dirasakan sebagai sebuah tantangan yang sangat menggugah jiwa kelaki-lakian. Judes saja cantik, bagaimana saat ia romantis ya? Atau, gimana ya kira-kira sensasinya, ketika ia pasrah? Imajinasi kaum laki-laki memang suka liar.
“Ah? Ngapain aja dari pagi? Kok gak ada WA aku?”
Oki, melanjutkan “urusan dinasnya” yang tadi sempat tertunda gara-gara urusan menu.
“Di rumah saja. Nyuci baju, lanjut nyetrika, rapikan kamar. Tadi bangun tidur, sebelum mandi, mandikan si matic hitam dulu. Laporan selesai!” Oka menjawab dengan logat bergaya pasukan yang memberikan laporan kepada komandannya. Toh, usaha itu belum juga dapat mencairkan es hati Oki yang masih keras.
“Betul? Itu saja?”
Oka mengangkat lengannya, menempelkan jari-jari tangannya pada dahi, memberi sikap hormat. “Siap, betul, Beb!”
Kali ini, Oki tak dapat menahan senyum. Monyongnya menjadi derai tawa. Es hatinya mulai cair menjadi teh manis yang hangat. Namun itu umumnya nggak bakal bertahan lama. Buat Oka pun itu tak masalah. Mereka berpacaran sudah hampir lima tahun, sejak kelas satu SMU hingga kini di bangku kuliah semester empat.
Mereka satu sekolah sejak SMU. Dan keduanya, baik dalam hatinya masing-masing, juga sudah pernah saling mengutarakan, merasa yakin akan berjodoh dan akan selamanya bersama. Mungkin karena itulah, Oka seakan tak perlu ambil pusing dengan sikap Oki yang posesif, dan sebaliknya, Oki nggak perlu merasa bersalah atau menyesal bersikap terlalu cemburu dan galak kepada kekasihnya yang cakep itu.
Jarum jam telah mendekati angka 11. Mereka bergegas pulang, dalam pelukan yang lebih hangat. Sebelum berpisah, Oka mencium mesra dan hangat bibir kekasihnya, lalu membisikkan kata-kata romantis.
“Good nite, Sweetheart.”
“See you, Honey.”
***
Oki menutup pintu kamarnya. Kedua orang tuanya cuma melirik anak gadisnya sembari menonton tv di ruang keluarga. Sejujurnya, mereka sudah bosan melihat tayangan TV sedari sore. Namun tetap harus bertahan, sampai memastikan satu-satunya anak gadisnya berparas ayu itu sudah pulang ke rumah. Oki memang anak tunggal dan mendapat perhatian penuh dari mama papanya. Di kamar tidurnya yang luas, ia mengganti pakaian, mencuci muka, memakai skin care dan mematikan HP-nya. Oh ya, ia perlu memeriksa smartphone-nya yang lain, siapa tahu ada pesan penting. Sambil rebahan setengah berbaring dan mengangkat kedua kakinya ke atas bantal guling, ia mengecek pesan masuk dan kemudian asik membalasnya. Sesekali ia tersenyum.
***
Saat tiba di rumah tadi, Oka mendapati rumahnya sudah sepi dan gelap. Ia memang selalu membawa anak kunci sendiri agar tidak merepotkan ayah, ibu dan adik-adiknya. Belum sempat berganti pakaian, ia langsung melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Mengambil smartphone-nya, memastikan apakah status WA Komang Oki sudah off? Off, Yes! Jiwanya bersorak, ini waktu yang telah ditunggu-tunggu untuk menyapa kekasih gelapnya. Hatinya sumringah, cewek yang dikenalnya dengan tak sengaja di dunia maya itu, seakan selalu menunggunya untuk chattingan. Ia telungkup di atas ranjang, menatap layar HP-nya menjelang tengah malam itu. Dan itu merupakan pertemuan maya yang kesekian kalinya.
“Hi, Anime!”
Oka mengirimkan pesan singkat (SMS) melalui SIM-card kedua dari HP-nya. Baru beberapa detik, balasan SMS telah muncul.
“Hi, Alfa! Sori ya, tadi aku ada acara keluarga.”
“It’s OK, Anime. Tadi juga aku ada kuliah tambahan di kampus.”
Oka menyebut selingkuhannya dengan nama “Anime”. Ia memang terobsesi dengan figur animasi gadis Jepang. Baginya, gadis Jepang dalam animasi-animasi tersebut, selain sempurna fisiknya, tutur bahasanya lembut dan cenderung sangat sabar. Kontradiksi dengan Komang Oki yang temperamen, meskipun ia meyakini, Oki sangat mencintainya. Oki yang dominan. Sementara Anime-nya, begitu penurut dan membuatnya merasa sangat laki-laki. Untuk pertama kalinya telah bisa membagi cintanya, sesuatu yang baginya laki banget.
Awalnya, mereka berkenalan melalui akun Instagram (IG). Ia tak sengaja melihat akun IG dengan foto profil animasi gadis Jepang yang langsung membuatnya tertarik. Lalu Oka membuat akun IG baru, tentu saja dengan identitas bukan dirinya. Ia membuat akun dengan nama “Alfa”. Sebuah kata yang tak begitu ia pahami maknanya, namun ia menyukai kata tersebut. Justru baru malam inilah ia mengetahui maknanya, dari percakapan SMS mereka. Komunikasi dengan layanan telepon seluler, dirasakan lebih aman bagi mereka.
“Oh ya, pasti kamu capek banget ya? Masih ambil kuliah tambahan di hari Sabtu.”
“Nggak juga. Aku melatih diri menikmati apa yang sedang terjadi.”
“Wow, bisa ya kamu? Melatih diri menikmati apa pun yang sedang terjadi?”
“Sure. Rasanya itu satu-satunya pilihan terbaik, menurutku.”
“Keren! Gimana ya caranya?”
“Emang kamu kenapa, Me?”
“Nggak kenapa sih. Aku risau aja jika suatu saat nanti, aku harus menjalani hal yang nggak aku suka. Hehehe.”
“Ini dia rahasia yang jarang diketahui orang. Sejatinya, bukan masalahnya lho, yang menentukan keadaan seseorang.”
“Really? Lalu apa?”
“Reaksi orang terhadap masalah tersebut.”
“Wah, menarik sekali. Bagaimana bisa begitu ya, Alf?”
“Ya itulah yang kubilang tadi, rahasia, hehehe.”
“Kamu senang, menyimpan rahasia yang membuat aku penasaran?”
“Hahaha!”
“Ayo dong boy, jelasin buat aku!”
“Sure, I will, sweety…”
Suasana hati Komang Oka makin menggebu. Kontras dengan malam yang kian jauh dan sunyi. Ia seakan jatuh hati untuk pertama kalinya. Adakah hubungan yang sudah terlalu lama dengan Komang Oki membuat alam bawah sadarnya telah kehilangan gairah? Pesan-pesan Anime yang terus mendamba membuatnya semakin melayang bagai pilot pesawat tempur menguasai angkasa. Alam bawah sadar seorang lelaki.
“Kamu pernah gak mengamati, sekelompok orang yang melintasi halaman berdebu?”
“Ya, lalu Alf?”
“Sedikit di antara mereka bersin-bersin karena debu yang beterbangan. Sebagian besar tidak mengalami apa-apa, biasa saja.”
“Terus?”
“Itu bukti, keadaan seseorang ditentukan oleh respon yang ia berikan. Debu adalah personafikasi masalah yang kita hadapi dalam hidup. Bersin, bisa dibilang cara merespon masalah yang kurang elegan.”
“Aku mulai paham.”
“Semakin berlebih respon yang kita berikan, keadaan cenderung semakin tak efektif. Maka berlatihlah untuk merespon masalah dengan rasional.”
“Fantastik! Kamu memang pantas seorang Alfa.”
“Oh ya? Apa artinya, Honey?”
“Lelaki yang tampak menguasai masalah apa pun.”
“Padahal sebetulnya, ia menguasai dirinya sendiri. Gitu ya?”
“Gila! Kamu menemukan frase yang lebih keren. Bisa banget ya, kamu?”
“Kan memang begitu kan, Me?”
“Iya! Tapi kamu selalu mengatakannya dengan lebih keren.”
Begitulah percakapan mereka hingga subuh. Nyaris setiap malam. Saling mengirimkan puja-puji. Oka sebetulnya menyadari, ia telah menciptakan jurang masalahnya sendiri. Dan cewek maya itu telah mendorongnya kian dekat ke bibir jurang dengan angin sepoi-sepoi puja-puji yang dihembuskannya.
“Me, jadi nggak kita ketemuan?”
“He, gimana ya?”
“Ayolah, kita bisa atur semua.”
“Iya kah?”
“Iya”
“Nggak apa-apa? Pacarmu?”
“Kan sudah kubilang itu urusanku. Bahkan aku juga nggak pernah tanya-tanya cowokmu.”
“Hahahahahaha!!!”
“Kok tertawa? He!”
“Well, kapan kita bertemu Honey?”
Debar jantung Oka makin kencang, seakan baru saja habis jogging. Bahkan nafasnya pun terasa lebih berat. Pasti karena efek pacu adrenalin dalam tubuhnya. Ia mulai merasakan, Anime yang penurut, juga memiliki sikap yang kuat.
“Nah, gitu dong. Nanti aku atur semua ya. Segera aku hubungi kamu!”
“Buruan ya, Alf!”
Subuh kian mendekati pagi. Lelah dan kantuk mengakhiri percakapan kasmaran mereka, menenggelamkan dalam tidur yang begitu lelap.
***
Oka terkejut bukan kepalang. Jarum jam di dinding kamarnya sudah hampir jam 10.00 saat matanya terbuka. Padahal ia berjanji pergi jogging bareng Oki jam 07.00 di taman kota. Ia tak sempat mengganti baju, sekadar saja mencuci mukanya, memakai sepatu, lalu menggeber sepeda motornya ke rumah Oki.
“Habis dah aku!”
Ia membantin, cemas tak karuan.
“Baru dalam rencana saja, bertemu Anime, musibah sudah datang.”
Oka terus menggerutu dalam hatinya selama dalam perjalanan. Ada senyum masam di bibirnya.
Namun, ia surprise, saat sampai di rumah Oki. Tak ada tanda-tanda ledakan bom kemarahan. Yang tampak adalah kesibukan di dapur, terdengar suara-suara obrolan Oki dengan mamanya. Sementara papanya duduk di teras membaca koran Minggu.
“Masuk saja, Mang.”
Sapa papanya Oki ramah, seperti biasa.
“Ya, Om, padahal rencana jogging tadi. Saya telat bangun, hehehe.”
Calon mertuanya tersenyum, memandangi Oka sembari melorotkan kaca matanya ke cuping hidung.
“Eh, tadi Komang juga sudah siang baru bangun. Sudah, sana langsung sarapan saja ke dapur Mang!”
“Ya, Om.”
Oka lumayan bisa bernafas lega. Sebelum pasti akan dapat saja kopi pahit dari kekasihnya.
“Ngapain dah siang begini baru datang?”
Oki ngomel sembari nyiapin sarapan. Mamanya cuma tersenyum. Sudah pada maklum, karena sudah merupakan kejadian sehari-hari.
“Loh, kan kamu telat bangun juga?”
Oka berusaha berargumen. Namun, maksud sebetulnya adalah untuk memastikan Oki tidak menaruh curiga apa pun atas apa yang ia lakukan semalam dan sebelum-sebelumnnya. Saat berbuat salah, hal yang paling sering manusia pikirkan, adalah bakal ketahuan.
“Ya, kan karena kamu sengaja nggak nelpon aku jam 7?!”
“Hehehe, oke deh, next yuk, Beb, kita jogging !”
Ia merayu, dan tanpa disadari oleh Oki, ia sempat mencuri pandang ke mata kekasihnya yang sering emosi itu. Mata masih bisa dipercaya sebagai petunjuk hati dan pikiran manusia.
“Rasanya aman.”
Ia berbisik dalam hati.
Oki meneruskan provokasinya, Oka menikmati sarapan gratisnya.
***
Pekan itu, kegiatan di kampus cukup banyak. Makin banyak kegiatan, makin sering mereka bersama. Makin sering bersama, makin sering Oki punya kesempatan mengisi hobinya mengatur dan mengomeli cowoknya yang ganteng dan disukai banyak wanita itu. Oka hampir-hampir frustasi. Bukan frustasi karena diomelin atau diatur-atur. Namun, frustasi karena belum juga mendapat celah dan alasan, untuk bisa mangkir malam minggu ini bareng Oki.
Keinginannya untuk bertemu Anime sudah tak bisa dibendung lagi. Ia justru meyakini dan membuatnya sangat pesimis, apa pun alasannya pasti akan ditolak Oki mentah-mentah. Sampai keajaiban itu akhirnya datang. Saat mereka break di kantin kampus yang bersahaja namun bersih dan semua kulinernya layak untuk dipilih.
“Sabtu besok aku ada arisan keluarga sampai sore. Gak apa-apa ya kita nggak malam mingguan?”
Ucapan Oki memecah suasana dan terutama kegalauan Oka, yang menimpanya sejak awal pekan. Oka, berusaha memasang mimik sedih.
“Oh ya, arisan keluarga tiga bulanan itu ya, Beb?”
“Ya, kan rutin tiap tiga bulan. Kamu pasti senang ya, bebas?!”
Seperti biasa, yang model begini, Oka cukup meresponnya dengan senyum saja.
“Betul kan? Senyum-senyum pengakuan, huh! Kalau begitu, kamu ikut aja ya. Biar pernah hadir di keluarga besarku!”
Mendengar ajakan itu, Oka merasakan lehernya tiba-tiba tercekik. Perutnya mules dan tiba-tiba merasa mau kencing. Ia berusaha tenang dan menguasai dirinya. Menyeruput kopinya dan tertatih-tatih menciptakan senyum dari ancaman puing-puing kehancuran.
“Ayo, kenapa nggak, boleh aja.”
Saat ucapan itu keluar dari mulutnya, dalam hatinya bergemuruh segala makian dan umpatan, mendata seluruh mahluk penghuni kerajaan iblis dan neraka. Berbohong memang dapat membuat gila.
Ia menghindari bertatapan mata dengan kekasihnya yang killer itu.
“Serius?” jebak Oki.
Oka mengangguk santai namun cukup meyakinkan. Tiba-tiba tawa Oki pecah. Oka mengamati situasi, ikut tertawa dan bertanya.
“Kok, ketawa, Beb? Hehehe.”
“Gak boleh aku ketawa? Hehehe!”
Oka tak bereaksi. Oki meneruskan.
“Rasanya belum waktunya kamu hadir dalam keluarga besarku. Ada waktunya nanti yang lebih pas.”
“Ya, aku pikir juga begitu.”
Oka tangkas menjawab. Perasaannya seakan melambung lagi ke angkasa bersama pesawat tempurnya yang nyaris tenggelam ke dasar samudera.
“Tapi, awas kamu macam-macam!”
Ini ancaman yang sudah terasa seperti dessert buat Oka, namun kali ini, camilan penutup yang membuat tubuhnya kembali dipacu adrenalin.
***
Saat itu, hari Sabtu jam 4 sore di sebuah restoran, di Sanur. Pencabutan status darurat wabah global Covid-19 oleh badan kesehatan dunia (WHO) berpengaruh besar terhadap ramainya kunjungan wisatawan asing. Pelayan restoran tampak sibuk mengarahkan tamu atau mengantarkan makanan.
Oka memakai kemeja lengan panjang. melangkah gagah memasuki restoran, sepucuk bunga mawar dalam genggamannya. Hatinya degdegan dan dadanya berdebar-debar. Baru selangkah melewati pintu restoran, seorang pelayan wanita segera mendekatinya dengan sikap ramah.
“Selamat datang, mohon maaf, apakah bapak sudah booking tempat sebelumnya?”
“Sore, Mbak, Sudah, Mbak.”
“Baik, Pak. Atas nama siapa dan untuk berapa orang ya?”
“Berdua, Mbak, Alfa dan Anime.”
“Oh iya, Mbak Anime? Ya iya, beliau sudah menunggu di lantai atas.”
Perasaan Oki bercampur aduk. Ada gemuruh rasa senang, tusukan rasa cemas, debaran sensasi asmara dan segala macam rasa yang sulit dilukiskan.
“Boleh saya dampingi Bapak ke atas?”
Buru-buru Oka menolak.
“Oh nggak usah, Mbak. Terima kasih.”
“Baik kalau begitu. Nanti di atas ada pelayan kami yang mengantarkan menu. Oh ya, Mbak Anime memilih meja yang di balkoni. Selamat menikmati!”
Pelayan memberi kode arah kepada Oka, diiringi senyuman ramah.
***
Oka menuju balkoni di lantai atas. Perasaannya masih bercampur aduk. Dari anak tangga teratas, ia langsung dapat melihat punggung seorang gadis di balkoni. Memakai gaun berwarna hitam, sesuai janji mereka, itu pasti Anime. Ia pun memakai kemeja lengan panjang sesuai kesepakatan. Cuma sepucuk kembang yang ia bawa itu, disiapkan sebagai kejutan. Sudah semakin dekat. Anime sepertinya asik menikmati pemandangan Pantai Sanur yang lautnya sebiru langit.
“Me!”
Saat mengucapkan panggilan itu, Oka merasakan firasat yang begitu aneh. Gadis itu pun terkaget, dan saat ia menoleh ke arah suara yang memanggilnya, keduanya syok. Seakan-akan kompak nafas dan jantung mereka berhenti bersama.
Mata Oki terbelalak melihat Oka yang berdiri kaku, kembangnya terjatuh. Masih di atas kursinya, Oki menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan sambil berbisik nyaris tak terdengar.
Pada dasarnya mereka berjodoh. Entah dalam dunia nyata maupun di dunia maya. [T]