STREET ART, adalah seni visual yang dibuat di lokasi publik untuk visibilitas publik. Street art, sering dikaitkan dengan istilah “seni independen”, “pasca-grafiti”, “neo-grafiti”.
Mengamati dari lokasi street art dipresentasikan pada ruang-ruang publik, kita dapat mengamati street art dalam 3 bentuk, mural, grafiti dan taging.
Saat ini, kita melihat seni mural begitu digemari, dirayakan, terutama oleh anak-anak muda. Mural sebagai salah satu bagian dari street art, bermunculan menghiyasi jalanan kota, masuk ke dinding café atau restoran, juga dinding dari dinding kampus sampai sekolah taman kanak-kanak.
Karya-karya street art yang pada mulanya dipresentasikan di jalanan atau ruang publik, sebagai simbol dari perlawanan terhadap elitisme seni dan galeri, secara perlahan mulai mencair. baik dari segi teknik, tema, maupun tujuan.
Popuraitas street art yang semakin meningkat, berdampak pula pada perluasan ruang apresiasi. Para pegiat street art, saat ini, tidak hanya berkarya di jalanan atau ruang publik, tetapi telah merambah ke ruang-ruang semi publik dan ruang privat.
Nah, pameran yang bertajuk “Komodifikasi Ornamen”, di Kulidan Kitchen & Space, 21 Mei hingga 2 Juni 2023, berkolaborasi dengan pegiat street art, dengan merepresentasi ulang dari ukiran-ukiran ornament yang ada pada bangunan candi bentar, bale kulkul, dinding pura (tembok penyengker). Ukiran ornamen-ornamen yang ada, dipakai sebagai referensi imajinasi dalam penciptaan karya.
Secara garis besar ornamen dapat di bagi menjadi tiga.
Pertama : Pepatran yaitu bentuk ornamen yang terinspirasi atau stilasi dari bentuk flora (tumbuhan). Contoh bentuk ornamen, yang mengambil stilasi tumbuhan adalah bentuk ornamen Patra Cina, Patra Punggel, Patra Wayah, Patra Welanda, dan lain-lain.
Kedua, Ornamen dengan bentuk kekarangan, ini biasanya merupakan bentuk ornamen yang mengambil bentuk-bentuk muka suatu binatang. Sebagai contoh adalah: Karang Guak/Karang Paksi, merupakan ornamen yang mengambil bentuk kepala burung. Atau Karang Gajah, yang mengambil stilasi bentuk muka Gajah, karang Boma, dan lain-lain.
Sedangkan bentuk ornamen ketiga adalah keketusan. Keketusan adalah bentuk ornamen yang bersifat perulangan dan mengambil bentuk-bentuk atau motif geometrik, seperti Patra Mesir, Tali Air, Batun Timun (bentuk mas-masan) dan lain-lain.
“Komodifikasi Ornamen”, di Kulidan Kitchen & Space, 21 Mei hingga 2 Juni 2023 | Foto: Ucok (Photografer Asik)
Pameran ini, berupaya untuk melangkah lebih jauh dari ranah konservasi menuju pengembangan, dengan melakukan eksplorasi terhadap bentuk, motif, warna, ataupun material yang baru. Tujuan dari upaya ini adalah agarornamen, dapat dinikmati oleh generasi kekinian dan ornamen dapat tetap lestari dan up to date.
Desa Adat dan Ornamen
Keberadaan desa adat di Bali sudah ada bahkan jauh sebelum Republik ini berdiri. Yang kita amati saat ini, Desa Adat merupakan salah satu bentuk pemerintahan tertinggi dan otonom. Desa adat memiliki struktur organisasi dengan pimpinan Bendesa Adat sebagai pemimpin tertinggi. Bendesa Adat, semacam presiden dalam sitem pemerintahan sekarang dan Saba Desa seperti MPR-nya desa adat.
Ketika kita menelisik desa adat, tentu aka ada krama/warga yang lebih sering disebut pawongan, wilayah atau palemahan dan parahyangan (sistem kepercayaan dan bangunan (arsitektur) Candi atau Pura).
Di setiap desa adat paling sedikit ada 3 Pura, Pura Desa tempat pemujaan Dewa Brahma, manefestasi tuhan sebagai pencipta, Pura Puseh, tempat pemujaan dewa Wisnu manefestasi Tuhan sebagai pemelihara dan Pura Dalem sebagai stana dewa Siwa, manefestasi Tuhan sebagai dewa pelebur.
Ketika kita mengamati Pura-Pura yang ada, khusnya tentang arsitekturnya, kita akan melihat banyak arsitektur yang memiliki ornamen yang khas, yang dapat juga dibaca dari tua atau mudanya, sebuah candi di buat salah satunya bisa diamati dari jenis dan bentuk ornamentasi yang menghiyasi bangunan sebuah Pura tersebut.
Proses Penelitian
Pameran yang bertajuk Komodifikasi Ornamen, merupakan kelanjutan dari proses penelitian awal yang dilakukan terhadap ornament Bali. Proses awal, dimulai dengan melakukan upaya pelestarian atau konservasi, melalui upaya dokumentasi dan workshop menggambar/mengukir ornamen, sesuai dengan bentuk aslinya, ataupun metoda pembuatan dan distribusi serta fungsinya dipertahankan seperti tradisi yang sudah ada sebelumnya.
Kemudian program pameran ini, ingin melangkah lebih jauh dengan melakukan pengembangan terhadap bentuk, motif, warna, ataupun material dengan sesuatu yang baru. Tujuan dari upaya ini adalah agar bagaimana ornament ini dapat tetap lestari. Digemari oleh anak-anak muda dan juga dapat diproduksi dan diapresiasi secara kekinian (kontemporer).
“Komodifikasi Ornamen”, di Kulidan Kitchen & Space, 21 Mei hingga 2 Juni 2023 | Foto: Ucok (Photografer Asik)
Pameran Komodifikasi Oameran ini, berupaya untuk melakukan proses pelestarian, produksi, konsumsi yang digali dari Ornamen. Upaya ini dilakukan dengan metode atau menterjemahkan makna Komodifikasi. komodifikasi sebagai sebuah metoda dimaknai sebagai, perubahan nilai dan fungsi dari suatu barang atau jasa menjadi komoditi (yang memikiki nilai ekonomi).
Karya Pansaka, yang Berjudul ornament. Dia mengkonstruksi ulang lagi dari ornamen yang ada di pura Dalem, Pura Dalem, Sebagai istana atau tempat pemujaan Dewa Siwa, tentu banyak ornament yang menggambil sosok tenggkorak. Bentuk tengkoraknya di konstruksi ulang lagi dengan membuat bentuk yang lebih lucu dan bersahabat.
Patra Welanda yang terukir memakai stilasi bungan mawar cina, direkonstruksi ulang lagi dengan membuat bunga-bunga stilasi baru. Yang membuat perpaduan gambar menjadi asik, karena disatukan dengan warna-warna pastel, warna-warna yang seolah mengantar kita kepadu padanan warna-warna di era pop art.
Karya SWOOF ONE, yang berjudul “Ready for the storm #” merupakan stilasi dari ornament-ornamen yang mengambil mahluk mitologi Naga. Dalam tradisi Hindu naga digambarkan ke dalam tiga manivestasi, Naga sebagai Ananta Boga dan Basuki, sebagai lambang kemakmuran dan Naga Tatsaka, sebagaai lambang, udara. Ke tiga unsur naga tersebut adalah simbolisasi dari Tanah, Air dan Udara.
EKA MARDIYS, judul karya DYNAMIC, ukuran 100cm x 100cm, media acrylic on canvas tahun 2023. Gambar ini terinsfirasi dari ornamen macan, Eka Mardis menggali dari segi perkembngan kreatifititas, dimana imajinasi seorang seniman akan dapat mengintepretasi dari motif atau bentuk yang sudah ada.
Dalam bentuk ini, saya mengamati dia merekonstruksi ulang, dari segi bentuk macannya. Warna yang dipilih adalah warna-warna merah, Emas dan hitam. Warna-warna ini, kental dengan nuansa kegagahan dan keagungan warna tradisi Bali. Dengan penambahan kopi, sehingga menambah kesan warna menjadi sepia, antik dan klasik. Warna-warna ini, sebagai simbul kemapanan dan kemakmuran, juga menyiratkan peradaban tua.
The Burning Breathe of Memories, Acrylic on Kaping (Anyaman Rumput), 75×105 cm, 2023
Objek pada karya ini terkait dengan konteks pameran yaitu komodifikasi ornamen. Yang berbasis riset ornamen pura Dalem Guwang, Sukawati. Patung Garuda adalah ikon dari desa Guwang yang pada akhirnya di setiap hembus nafasnya menjalar memori-memori ornamen bagai saksi bisu di masyarakat, perubahan kondisi masyarakat agraris-industri pariwisata adalah beberapa periode jaman yang telah disaksikan pahatan bersejarah hasil karya warga Guwang. Hal tersebut menjadi dasar Ekasutha, membuat Garuda sebagai objek utama dalam karya ini.
Eksplorasi ini meliputi 3 hal, medium, teknik, dan issue. Yang mana secara medium karya ini memakai kaping (anyaman rumput kering) sebagai media dalam berkarya, secara teknik mengambil sigar warna kamasan sebagai teknik dalam berkarya, sedangkan issue yang dimuat adalah tentang kesejajaran hak seni kontemporer Indonesia dengan seni kontemporer dunia
The Glorious Wave, Acrylic on Kaping (Anyaman Rumput), 75 x 105 cm, 2023
Karya kedua, kepalanya gajah, dan gelas yang mana mengambarkan “wisdom” akan kejayaan tersebut. Gajah dalam mitologi adalah lambang dari kekuatan sekaligus kebijaksanaan itu sendiri yang mana ketika keduanya menyatu muncullah ide-ide kreatif yang senantiasa mengalir dan menjalar layaknya geluk liku ornamen yang mekar di setiap ujungnya
SLINAT. Ornamen Bali, Pepateraan dan Kekarangan banyak diadopsi dari alam seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang, itu berarti lingkungan saat tercipta ornamen itu masih sangat baik, sehingga menginspirasi. Ornamen sebagai media bersukur, media pengingat lingkungan, sebagai harapan supaya tumbuh-tumbuhanhan dan hewan-hewan tersebut tidak musnah. Ornamen sejatinya adalah media arsif dan koservasi.
Dalam karya ini saya menggambarkan “patra sebelum patra”, melihat patra bukan hanya sebagai ornamen tapi sebagai alam lingkungan. Ornamen yang tergambar atau terukir, merupakan representrasi lingkungan saat ornament, diciptakan oleh si pencipta. Ada korelasi yang kuat antara alam lingkungan dan ornamen, ornamen bukanlah hanya penghias bangunan semata.
Dwymabim, judul karya Ornamiental, media acrylic on canvas, ukuran 100 x 80 cm, tahun 2023. Karya ini mengambil sosok perempuan perkasa. Dalam mitologi Hindu, Kekuatan dari para dewa-dewa ada pada dewinya. Dalam kontek kekinian, sejalan dengan emansifasi perempuan, kesetraan gender dan isu-isu feminism. Dalam ornament Bali, banyak menggambarkan mitologi tentang dewa dan dewi. Seperti Dewi Saraswati, Dewi Laksmi, Dewi Sri dan lain-lain. [T]