KETIKA MAS ABU menghubungi saya petang itu, saya merasa akan mendapat pengalaman hidup yang luar biasa. Itu karena dia minta kesediaan saya jadi pemain utama untuk drama terbarunya.
Main teater disutradarai Mas Abu tentu saja jadi impian setiap orang. Namun saya, yang bukan aktor, sama sekali tak menduga hendak diberi kepercayaan sebesar itu. Mungkin dia sengaja membuat kejutan ini sebagai hadiah untuk persahabatan kami yang baik.
Saya pasti senang mendengar tawaran ini. Bisa dibayangkan ketika nanti drama ini dipentaskan, semua surat kabar akan mengulasnya panjang lebar. Nama saya muncul di halaman depan, ditulis dengan tinta yang harum. Teman-teman juga akan membicarakan akting saya yang tak kalah dengan aktor berpengalaman.
Dalam percakapan WA itu, Mas Abu meyakinkan saya bahwa ini merupakan drama eksperimental, dan ini akan berhasil. “Kita akan membuat sejarah, mementaskan drama terbaik tapi pemainnya justru bukan aktor,” katanya.
Saya dan Mas Abu memang sudah lama berteman. Kami sama-sama hobi ngobrol, meski karakter kami beda. Kalau sudah bertemu, kami bisa ngobrol sangat lama, membicarakan apa saja, sampai lupa waktu. Barangkali karena seniman, dia bisa membicarakan segala hal dengan dingin, serius dan mendalam, sedangkan saya tipe orang yang suka bercanda.
Mas Abu seniman teater, sedangkan saya bukan orang seni. Kegiatan saya hanya sebagai makelar. Saya membeli mobil orang lalu menawarkannya kembali kepada orang lain untuk mendapatkan uang. Selain Mas Abu, teman saya juga banyak dari seniman lain, seperti pelukis, penyair atau sastrawan, karena kami sering nongkrong di Warung Renon. Kebetulan, warung kopi langganan para seniman ini dekat dengan tempat tinggal saya.
Warga Denpasar pasti kenal Mas Abu, setidaknya pernah mendengar namanya. Dia bagaikan ningrat di dunia teater dan sudah menyutradarai banyak pertunjukan yang dihormati.
Bila dia masih sehat, energik dan prima hingga usianya sekarang di atas 75 tahun, saya kira itu anugerah dari teater yang digelutinya puluhan tahun.
Saya ingat, dulu dia pernah mengatakan, berteater dapat membuat kita sehat lahir batin. Pikiran akan selalu terjaga karena kita terbiasa mengamati segala fenomena dan perilaku orang secara mendalam.
“Saraf kita juga terus aktif serta lentur karena rutin berlatih akting,” katanya.
Namun ketika mendengar ucapannya itu saya langsung tergelak-gelak seakan hendak meledeknya. Saya bilang, teater itu hanyalah kegiatan yang sia-sia, buang-buang waktu, dan sepertinya hanya cocok untuk mereka yang kurang waras.
“Hidup ini sudah nyata, untuk apa lagi dibuat palsu dengan berpura-pura menangis, tertawa, sakit, berteriak-teriak, atau dijadikan tontonan yang bukan-bukan belaka, kayak tak ada kerjaan saja, hahaha…” kata saya sambil sengaja menderaikan tawa.
Kami sudah saling mengenal dan menghargai kebiasaan kami, tapi baru kali ini saya mengolok-olok kecintaannya pada teater. Dia tahu saya hanya bercanda, dan kelihatannya dia juga menanggapinya santai. “Teater itu nyata, Bung. Sumber inspirasinya juga kehidupan. Kau lihat saja nanti,” sahutnya dengan senyum khasnya.
Di waktu luang saya kerap mampir ke rumahnya yang juga merupakan home base teaternya. Di sini saya sering bertemu dengan berbagai jenis orang, yang datang entah dari mana. Mereka berkerumun, berdiskusi, workshop, berolah vokal, berlatih akting, berdeklamasi, nyanyi-nyanyi, tertawa-tertawa, dan semacamnya yang semuanya tampak dilakukan dengan ngotot, riang, antusias, tak jemu-jemu. Karena sering melihat mereka latihan, sedikit banyak saya ikut terimbas jadi mengerti bermain teater.
Meski kerap ramai, rumahnya tetap saja nyaman, bersih, dan segala sesuatunya tertata rapi seakan tidak pernah ada kesibukan di sana. Alasannya tentu saja karena ada Mbak Min. Dia orang yang telaten, rajin bersih-bersih, dan sangat mencintai rumahnya. Saya tahu persis, Mbak Min ini seorang yang ramah dan supel, meskipun terkadang sedikit bawel. Dia perempuan cantik. Setidaknya dulu, sewaktu masih muda, sebelum dikawini oleh Mas Abu.
“Kau buka emailmu. Aku sudah mengirimimu naskah dengan detail aturan mainnya. Aku mau kau main. Aku tunggu jawabanmu segera,” katanya.
“Baik. Beri saya waktu untuk memikirkannya. Selekasnya akan saya beri jawaban,” saya membalas WA-nya dengan emoticon wajah tersenyum yang menandakan saya menghargai tawarannya meski terkejut pada mulanya. Saya agak bimbang, antara menolak atau bersedia menjadi aktor dadakan.
Ada sejumlah catatan tambahan di halaman naskah yang saya terima, memuat hal-hal tertentu yang ditujukan kepada saya secara pribadi.
“Aku mau kau main sebagai Tokoh 1,” pesan Mas Abu di catatan itu. Dia juga memerintahkan, semua aktor akan mengenakan kostum dengan topeng yang harus kami siapkan sendiri untuk merahasiakan identitas kami.
Naskah ini karya sastrawan Putu Arca. Sebuah drama tentang orang-orang kota yang menderita, sedih, terluka, frustrasi, tidak bahagia atau hal-hal muram semacam itu, yang semua itu terjadi karena ulah seorang pencuri, tepatnya pencuri cinta, yang terus berkeliaran dan merenggut orang-orang yang mereka cintai dari kehidupan mereka. Dan saya akan menjadi orang yang berperan sebagai pencuri itu. Putu Arca tentu tidak sedang menulis drama percintaan. Plot dan dialog-dialognya menunjukkan ini lebih sebagai drama psikologi, potret berbagai penderitaan yang tersembunyi di balik bayang-bayang kemegahan kota.
Pertunjukan ini pasti akan sulit, menuntut keterampilan teatrikal yang tinggi. Napas kami harus panjang karena dialog-dialognya padat dan filosofis. Apalagi di babak akhir cerita, ketika orang-orang menangkap dan menginterogasi si pencuri, akan ada banyak dialog dan emosi yang naik-turun dengan cepat, sementara si pencuri harus berdiplomasi sedemikian rupa untuk meyakinkan bahwa tidak ada yang salah dengan tindakannya. Dan memang akhirnya kita tahu, penderitaan yang dialami orang-orang itu semata-mata merupakan akibat dari cara mereka bereaksi terhadap hati mereka sendiri.
“Kapan kita mulai latihan?” tanya saya.
Mas Abu menjawab, “Tidak ada latihan bersama. Kau dan yang lain berlatih sendiri-sendiri.”
Sebagai eksperimen, kata dia drama ini sengaja dibuat tanpa melalui proses konvensional sebagaimana teater pada umumnya. Bahkan para aktor tidak saling kenal, tidak ada interaksi. Karena semua memakai topeng, para aktor tidak akan pernah tahu siapa lawan mainnya.
“Tidak ada sutradara. Kau akan memainkan drama ini sesuai persepsi dan imajinasimu. Semua aktor adalah sutradara dan bertanggung jawab untuk dirinya sendiri. Kita lihat nanti, apa yang terjadi di atas panggung,” tambahnya.
Saya mengerti semua yang dia maksudkan. Saya tahu, bila Mas Abu telah memutuskan sesuatu maka tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Saya bahkan tidak memikirkannya sebab itu memang urusan dia. Urusan saya hanya memikirkan apakah akan menerima atau tidak main drama ini.
Saya membayangkan, sesuai rencana, sampailah waktunya memainkan drama ini untuk pertama kalinya. Kami pentas di Gedung Teater, Denpasar.
Beberapa menit menjelang pentas, kami semua dikumpulkan di belakang panggung. Benar, kami tidak dapat saling mengenali satu sama lain. Kami bagai orang asing. Semua aktor datang dengan topengnya. Saya sendiri mengenakan topeng mirip karakter Anonymous. Saya yakin tidak ada yang tahu siapa orang di balik topeng yang saya kenakan.
Dari sela-sela layar, saya mengintip penonton yang memenuhi tempat duduk. Ada banyak orang yang saya kenal di tengah kerumunan itu. Saya lihat teman-teman penyair, juga para pecinta teater dari berbagai sanggar. Saya sempat merasa geli dalam hati, sebab teman-teman saya itu pasti tidak menyadari kalau yang mereka tonton nanti adalah saya.
Mas Abu memberi isyarat untuk memulai pertunjukan. Para musisi segera memainkan overture yang diawali sentakan kendang serta disusul bunyi-bunyian lain yang bergemuruh. Beberapa saat kemudian, suara-suara itu berhasil membentuk harmoni dalam jalinan ritme dramatis. Sesekali, dalam jeda yang tepat, bunyi suling menjerit dengan melodi yang mengiris. Semuanya mengalir dalam getaran sugestif.
Para pemain musik itu naik ke panggung dengan pikiran masing-masing lalu main secara spontan dari balik topengnya, saling merespon dengan bunyi instrumen di tangan mereka. Begitulah kenyataannya. Mereka tampaknya berhasil memainkan “automatic music” seperti diinginkan Mas Abu.
Selanjutnya panggung jadi milik kami, para aktor, untuk menghadirkan cerita. Kami tampil saling mendukung satu sama lain. Melakukan beragam pergerakan, mengatur komposisi, memberi ruang untuk menghidupkan dialog-dialog yang krusial. Semuanya berjalan wajar dan seru. Cerita pun terjalin dengan baik dari satu babak ke babak berikutnya.
Hingga tiba waktunya kami memainkan babak akhir, saat orang-orang mulai bergerak, menangkap dan menginterogasi si pencuri. Artinya, sesuai naskah, inilah saatnya serombongan orang akan menyeret saya ke tengah panggung untuk diadili dengan caranya sendiri. Bagian ini pasti akan sangat seru, pikir saya.
Orang-orang bertopeng itu mulai memiting tangan saya sambil berteriak-teriak gaduh. Mereka bagaikan rombongan pemburu sedang menggiring saya hingga ke tepi panggung, dekat lampu.
“Kau biang kerok dari penderitaan kami semua. Sudah saatnya kau menerima karmamu!” Mereka membentak-bentak saya.
“Perbuatanmu tak bisa dimaafkan!” hardik yang lain sambil menuding saya penuh emosi.
Di tengah tekanan yang beringas, saya harus mengambil banyak napas untuk menjaga akting saya tetap jernih.
Saat sedang memainkan dialog nomor 69, seorang aktor tiba-tiba menerjang saya dari tengah kerumunan dengan tendangan melompat. Tendangannya betul-betul mendarat di dada saya. Ini mengejutkan, membuat saya terhuyung dan nyaris terjengkang sebelum ditahan oleh seseorang. Sejenak saya merasa panik, tak memahami yang terjadi. Orang itu kembali melayangkan tendangan, “Rasakan!” pekiknya sekencang halilintar.
“Stop! Stop! Ini salah! Hei, apa yang kau lakukan?” Saya terengah-engah, mencoba menahan orang itu dengan tangan. Tapi ia tak peduli. Ia terus menyerang.
“Kau salah! Bukan begini ceritanya! Ini tidak ada dalam naskah!” Saya berteriak, mencoba menghentikannya.
Situasi semakin memanas. Seakan dikomando, orang-orang itu mulai secara bersama-sama memukuli saya tanpa rasa belas kasihan. Saya terlempar kesana-kemari. Sekujur tubuh saya kena hajar bertubi-tubi. Darah menetes dari kening saya yang robek. Para penonton tampak terpesona melihat peristiwa di panggung. Mereka pasti berpikir kami sangat mahir berakting.
Saya tak diberi kesempatan untuk menghindar. Mereka mengepung saya layaknya seekor babi yang terjebak dalam perangkap. Saya tak tahu siapa mereka karena kami sama-sama memakai topeng.
Saya telah mencoba memanggil Mas Abu di belakang panggung, tapi suara saya ditenggelamkan oleh mereka. Leher saya dicekik.
Dengan beringas mereka menghempas-hempaskan tubuh saya, sampai kemudian sebuah tendangan telak mendarat di rahang saya yang membuat saya terlempar ke bawah layar. Saya terkapar di sana, tergeletak tak berdaya, bersamaan dengan terdengarnya tepuk tangan panjang dari arah penonton, sebelum akhirnya semuanya jadi gelap.
Kesokan harinya, saya terbangun di ranjang ICU rumah sakit dengan ventilator serta selang yang mengalir di badan. Saya mencoba bergerak, tapi tak bisa, seakan banyak bagian di tubuh saya retak atau mungkin lepas. Ada rasa nyeri di mana-mana.
Dia tahu saya sudah siuman. “Hei, kau sudah bangun rupanya. Bagaimana keadaanmu?” Dia membungkuk di dekat kepala saya, “Tadi malam istriku yang membawamu kemari,” ujarnya.
Saya mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi tapi saya tak menemukan jawaban yang cukup masuk akal.
Mengetahui saya kebingungan, Mas Abu mengatakan bahwa peristiwa yang saya alami semalam merupakan hal yang biasa dalam teater. Dia bilang itu namanya improvisasi. Saya memang tak mengerti tentang improvisasi. “Meski sedikit melenceng dari naskah,” kata dia, “improvisasi yang kalian mainkan itu membuat drama kita berakhir dengan cara yang lebih dramatis. Penonton jadi sangat terkesan”.
Dia memaklumkan, karena penghayatan yang memuncak bisa jadi mendorong para aktor melakukan improvisasi secara spontan, membuat semacam kejutan, sehingga adegan di panggung benar-benar terlihat seperti kejadian nyata.
“Secara keseluruhan, permainanmu sukses. Selamat, Bung,” ujarnya.
“Apa? Improvisasi kau bilang? Kau sutradara semua ini, kan?” Saya mau menyahut tapi tak bisa bersuara. Mulut saya tak berfungsi sepenuhnya. Saya sama sekali tidak dapat merespon ucapannya. Saya tak tahu apakah Mas Abu dapat melihat muka saya yang bengkak itu menunjukkan rasa marah saya yang memuncak.
“Setidaknya sekarang kau tahu, teater itu tak sepenuhnya palsu. Kadang ia nyata, bahkan sangat nyata, tak cuma berpura-pura sedih, sakit, tertawa, teriak-teriak, atau sebagai kegiatan orang-orang yang kurang waras seperti katamu,” dia berbisik di dekat telinga saya seakan mau membalikkan ejekan saya dulu.
“Bedebah, kau!” Saya membentaknya tapi suara saya menggumpal di kerongkongan. Mungkin hanya bibir saya terlihat bergetar dengan hidung mendengus-dengus di respirator.
Teman-teman, setelah saya membayangkan semua kemungkinan ini, dan demi menjaga kemurnian pertemanan kami, saya harus mencegahnya melakukan perbuatan konyol melalui teater, maka malam itu juga saya sampaikan kepada Mas Abu, saya menolak ajakannya untuk main teater. “Tak baik seorang makelar merangkap jadi seniman, juga sebaliknya,” kata saya. [T]
November, 2022.
[][][]