26 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Perjalanan
Distrik Manang, Potongan Kecil Himalaya [Foto: Yoga Pramartha]

Distrik Manang, Potongan Kecil Himalaya [Foto: Yoga Pramartha]

Distrik Manang, Potongan Kecil Himalaya

Yoga Pramartha by Yoga Pramartha
January 8, 2020
in Perjalanan
18
SHARES

Natal tahun 2019, pukul 11.45. Pesawat saya menyentuh tanah Kathmandu yang kala itu diselimuti kabut. Musim dingin di Nepal mewajibkanmu untuk membungkus seluruh bagian tubuh, tidak terkecuali kepala hingga mulut. Udara begitu menusuk yang membuat mulut dan hidung kering.

Tujuan saya bukanlah Kathmandu. Namun, saya memiliki satu hari yang cukup untuk bersua Kuil Swayambhunath dan Patan Durbar Square. Saya “menyamar” sebagai seorang Nepali dan kebanyakan orang mengira saya Nepali hingga tangan saya meraih kamera dan mengeluarkannya dari tas kecil. “Where are you from?” tanya seorang penjaga Kuil. Ketika saya mendeklarasikan kewarganegaraan saya, digiringlah saya menuju loket untuk membayar 200 Rupee (Sekitar Rp 25.000) untuk masuk ke Kuil, meskipun saya sebenarnya sudah berada di atas sebelum jati diri saya ketahuan di sana.

Saya tiba di Patan Durbar Square ketika gelap sudah menyelubungi langit, pukul 05.30 sore hari. Ratusan warga lokal memenuhi salah satu warisan UNESCO ini. Kebanyakan mereka duduk-duduk santai dan mengambil foto. Sebagian besar terlihat bersama teman-teman, keluarga, ataupun saudara. Waktu saya tak cukup lama, karena saya harus mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang keesokan harinya.

Pukul 06.45 pagi keesokan harinya, saya cukup terlambat untuk mengambil Micro Bus hingga mendapat tempat yang agak berdesakan dengan penumpang lainnya. 6 jam kemudian, saya sampai di Besishahar, tempat terakhir di mana jalan memiliki permukaan mulus. 6 jam selanjutnya saya harus tempuh bersama jeep, melewati tebing lembah Manang yang berbatu dan ber-es. Entah kenapa saya hanya memiliki sedikit rasa takut atau khawatir ketika melalui jalan penuh goncangan tersebut dan saya mempercayakan keselamatan saya sepenuhnya pada pak supir yang terlihat begitu santai dan tenang dengan pengalaman yang cukup melewati jalan seperti itu.

Akhirnya kami sampai di Chame, salah satu desa di Distrik Manang. Saya tiba di Teahouse pertama saya di Chame. Teh Susu yang disuguhkan benar-benar seperti surga setelah perjalanan panjang, dingin dan kering. Meski demikian, saya sangat-sangat dimanjakan dengan pemandangan memukau pegunungan di Distrik Lamjung sebelum sampai Distrik Manang.



Perjalanan dari Chame menuju Manang menggunakan Jeep [Foto Yoga Pramartha]

Suhu pada pagi hari tanggal 27 Desember 2019 mencapai -12°C. Sebenarnya awalnya saya mendapat kabar bahwa tidak ada Jeep menuju Desa Manang, karena es yang begitu licin dan salju yang cukup tinggi yang membuat Jeep tidak dapat lewat. Namun, saya sangat beruntung dalam perjalanan ini karena mendapatkan tumpangan Jeep menuju Manang. Setelah 3-4 jam perjalanan, saya dan guide sampai di Desa Manang yang terletak di ketinggian 3.540 meter di atas permukaan laut. Pemandangan puncak Gangapurna (7.455 mdpl) dan Annapurna III (7.555 mdpl) di balik jendela kamar menantang saya untuk menggapainya. Namun apa daya, saya bukan seorang keturunan Sherpa yang mampu menaklukkan gunung-gunung di bentangan Himalaya. Kesempatan untuk mengelilingi desa dan melihat Danau dan Glacier Gangapurna saja sudah lebih dari cukup bagi saya.

Hari Sabtu, 28 Desember 2019 dengan suhu -16°C, saya mulai mengalami gejala ringan Altitude Sickness. Semalam sebelumnya saya sama sekali tidak dapat tidur, kepala dan leher sakit. Guide saya mengatakan bahwa obat pertama untuk Altitude Sickness adalah turun menuju ketinggian yang lebih rendah. Saat itu, sayangnya tidak ada Jeep yang berangkat dari Manang untuk turun ke bawah sehingga kami harus trek selama 6-7 jam menuju Upper Pisang. Hal ini adalah keberuntungan bagi saya karena selama sekian jam perjalanan turun saya disuguhkan bentangan megah dan majestic lembah Manang yang sama sekali berbeda dengan Indonesia. Saya tak henti-hentinya terkagum-kagum dan berpikir “Apakah aku di dunia yang berbeda?” Namun sayang sekali, ketika mencapai Upper Pisang, dan hanya tinggal 50 meter saja naik tangga saya menyerah dan memberikan barang bawaan saya kepada guide saya hingga mencapai Teahouse di Upper Pisang.


Pemandangan Desa Humde, trekking menuju Upper Pisang dari Manang [Foto Yoga Pramartha]

Di jadwal perjalanan, seharusnya saya naik 200 meter dari Manang menuju Khangsar. Justru, saya turun sampai Upper Pisang. Namun, sekali lagi ini saya anggap sebagai keberuntungan, karena dari Upper Pisang saya serasa begitu dekat dengan Annapurna II (7.937 mdpl) yang begitu megah dan berdiri seakan menatap saya dan mengatakan bahwa saya begitu kecil. Satu hari di Upper Pisang, saya berkesempatan mengunjungi salah satu monastery di sana yang saat itu kosong karena para bhiksu belum ada di sana. Saat itu saya berpikir betapa hebatnya perjuangan para orang Sherpa dan Gurung di pegunungan Himalaya menjaga kesucian dan kesakralan alam meskipun banyak sekali turis yang melakukan trekking di area tersebut.



Pemandangan Annapurna II, 7.937 mdpl dari Upper Pisang [Foto Yoga Pramartha]

Dari Upper Pisang kami turun, sekali lagi tanpa kendaraan. Perhitungan kami kala itu, seandainya sama sekali tidak ada Jeep yang melintas, berarti kami harus bermalam di Chame sekali lagi. Seandainya kami menemukan Jeep, maka kami dapat turun lebih jauh dan bermalam di Tal dengan pemandangan yang tidak kalah megah, namun tanpa salju dan es. Sekali lagi, saya sangat beruntung karena setelah 3,5 jam trekking turun, sebuah Jeep melintas dan kamipun naik di belakang bersama barang-barang bawaan penumpang dan berdesakkan dengan 5 penumpang lainnya.

Setelah 3 jam perjalanan yang memabukkan, semua terbayar dengan pemandangan hebat dari bawah lembah Desa Tal yang berdampingan langsung dengan aliran Sungai Marsyangdi. Suhu sudah semakin hangat, tingkat oksigen semakin tinggi dan tekanan udara semakin rendah. Tal berada di ketinggian 1,700 mdpl, mirip dengan ketinggian Gunung Batur. Tal merupakan desa terakhir yang kami kunjungi di Distrik Manang sebelum akhirnya berangkat pulang menuju Kathmandu.

Begitu banyak pesan yang Himalaya sampaikan kepada saya. Yang pertama, saya harus menjaga dan menghargai diri dan keselamatan diri. Saya belajar untuk mendekatkan diri dengan diri sendiri dan semesta yang begitu megah dan luar biasa. Yang kedua, saya semakin membuka pikiran bahwa ada banyak hal yang tidak kita ketahui, pahami ataupun mengerti di dunia ini, sehingga kebijaksanaan harus senantiasa ditumbuhkan dalam hidup. Kehidupan orang Nepal yang jauh dari kata kemajuan membuat saya sadar bahwa mereka perlu bantuan kita, perlu lebih banyak turis baik yang bisa memberikan kontribusi positif bagi kemajuan Nepal dan Dunia.

Jika kalian cukup beruntung dapat membaca tulisan ini, mari hidup saat ini. Jangan sesalkan hari kemarin atau khawatirkan hari esok. Hiduplah hari ini, berpetuanglah dan tuliskan cerita luar biasa karena hidup hanya sekali. Dekatkan diri dengan diri sendiri, kuatkan mental dan fisik dan jadilah orang yang lebih kuat daripada sebelumnya. Tetap jaga dan lestarikan alam dan bantu mereka yang membutuhkan. Sekali lagi, hiduplah hari ini, pelajari banyak hal, berikan beribu cinta dan tertawalah selepas-lepasnya. Salam Damai. Namaste. [T]

Tags: indiaNepalperjalanan
Yoga Pramartha

Yoga Pramartha

Bernama lengkap Kadek Yoga Pramartha. Lahir 1 Juni 1994 dan kini tinggal di Banjar Batanwani, Desa Kukuh, Marga, Tabanan.

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Sketsa Nyoman Wirata
Puisi

Puisi-puisi Alit S Rini | Aku dan Pertiwi, Percakapan di Depan Api

by Alit S Rini
January 23, 2021
tatkala.co/ Ilustrasi diolah dari Google dan Youtube
Esai

Coba Cek Lagi, Benarkah Kau Sedang Berkarier Sehingga Tak Kunjung Menikah?

Setiap orang punya keinginan. Itu pasti. Sebab, tanpa keinginan kita tidak akan bergerak. Kehidupan kita juga tidak akan bertumbuh dan ...

April 15, 2019
Wajah penulis, orang Boyolali Swasta
Esai

Punya Tampang Boyolali, Boleh Saja “Ndeso” Tapi Sering “Bejo”

PUNYA tampang Boyolali, memang agak menyusahkan. Tampang ini tidak bisa menyembunyikan rasa heran, ketika melihat sesuatu yang baru. Hal itu ...

November 4, 2018
Kawasan Desa Sakti Nusa Penida. Sumber foto: sakti.desa.id
Opini

Pariwisata Nusa Penida Melejit, Jangan Remehkan Sengketa Batas Desa

Jangan pernah meremehkan tapal batas desa! Keliru sejengkal saja, bisa menimbulkan pertingkaian serius. Cerita ini mungkin sangat rentan dialami oleh ...

April 10, 2020
Esai

Salah Kawitan – Catatan Harian Sugi Lanus

Kawitan artinya 'muasal'. Seringkali disederhanakan sebagai "garis silsilah" atau 'trah' . Ketika kata 'kawitan' dibatasi sebatas trah keluarga, inilah awal ...

October 8, 2019
Foto Sugi Lanus
Esai

Nava-Sāgarāvarteṣu, Sembilan Teluk Mengitari Bali – Catatan Harian Sugi Lanus

Simpul awal peradaban Bali dan parameter kerusakan Bali bisa dilihat di sembilan teluk yang mengitari Bali. Sembilan teluk yang istimewa ...

November 14, 2019

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Pemandangan alam di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali. [Foto oleh Made Swisen]
Khas

“Uba ngamah ko?” | Mari Belajar Bahasa Pedawa

by tatkala
January 22, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Sayang Kukiss/Diah Cintya
Esai

7 Jurus Memperbaiki Diri untuk Melangkah pada Rencana Panjang | tatkalamuda

by Sayang Kukiss
January 25, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (150) Dongeng (10) Esai (1360) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (310) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (97) Ulasan (329)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In