18 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Khas
Sanggar Ceraken, Batubulan di Festival Tepi Sawah. (Foto: Istimewa)

Sanggar Ceraken, Batubulan di Festival Tepi Sawah. (Foto: Istimewa)

“Macan Ngerem” Sebelum “Tribute to Chrisye” di Festival Tepi Sawah 2018

Made Adnyana Ole by Made Adnyana Ole
September 11, 2018
in Khas
30
SHARES

SAYA datang ke Festival Tepi Sawah di Omah Apik, Pejeng, Gianyar, sudah agak telat. Di hari pertama, Sabtu 8 September 2018, ketika tiba pada keramaian yang sejuk di tepi sawah, sejumlah anak-anak muda sedang melakukan gladi bersih di Panggung Uma.

Saya tahu anak-anak itu berasal dari Sanggar Ceraken, Batuyang, Batubulan, Gianyar, karena saya pernah menontonnya di Taman Budaya Denpasar. Saya menyukai anak-anak itu, terutama pada keterampilannya memainkan gender. Anak-anak itu binaan Made Subandi, seorang seniman yang karya-karyanya seperti air yang mengalir selalu seperti air dari sumur yang terus digali.

Tabuh “macan ngerem” yang pernah saya dengar secara langsung maupun dari youtube, adalah tabuh yang saya sukai. Ada empat anak memainkan gender, salah satunya adalah perempuan. Penabuh lain pegang kendang, kecek, dan gong. Mereka memainkan tabuh gender bebatelan.

Dan mereka memainkan gender seperti memainkan pedang di atas tubuh lawan-lawan yang diajak perang: mengibas panggul, menariknya, lalu menekan dan menusuk. Perempuan dan laki-laki dalam kelompok itu hanya dibedakan oleh pakaian, soal gaya dan kekuatan tak ada beda.

Saat mendengar tabuh itu, kita seperti mendengar geram seekor macan yang berdiri di hadapan lawan. Ia siap menerkam dengan gerak yang liat, dan tubuh terguncang. Kita ditulari semangat untuk bergerak, menerkam setiap kesempatan.

Saya beruntung bisa menyaksikan aksi mereka saat gladi sekaligus juga saat mereka benar-benar naik panggung pada malam hari pertama Festival Tepi Sawah itu.

Kegembiraan di Festival Tepi Sawah (Foto: Istimewa)

Hari pertama Festival Tepi Sawah memang diwarnai berbagai kegiatan yang mengundang semangat.. Dibuka dengan beberapa workshop yang bersifat edukatif dan digemari oleh anak-anak lokal pejeng, acara inipun dimulai pukul 10.00 sampai senja hari hingga akhirnya pada pukul 19.00 pertunjukan malam dan opening ceremony dibuka oleh MC.

Menarik memang, Festival yang berlatarkan sawah ini seolah dapat menimbulkan aroma asri ingatan kita akan masa lalu, yang mungkin sedikit menjadi cerminan masa sekarang: kicauan burung yang bersahutan dalam rimbun dedaunan, dan celoteh anak-anak kecil.

Betapa tidak, Festival yang diadakan dua hari yakni pada tanggal 08 dan 09 September 2018 ini dimeriahkan pula oleh lanksap anak-anak kecil yang riang menyambut pelatihan demi pelatihan di dalam workshop festival. Sebut saja workshop Sapek: Create to play dan bermain genggong. Kedua workshop ini sangat digemari oleh anak-anak kecil lokal pejeng yang sengaja datang untuk memeriahkan festival ini.

Untuk kalangan yang lebih dewasa, tidak kalah seru: workshop olah suara bersama Trie Utami menjadi pilihan favorit kaum remaja dan dewasa. Ada pula hal yang membuat anak kecil ini sumigrah melihat festival ini, yaitu dengan diadakannya acara Piknik di Tepi Sawah. Piknik di Tepi Sawah ini menjadi pilihan favorit bagi semua pengunjung.

Kegiatan santai yang digelar di tengah taman sekitaran panggung utama dan di bawah pohon waru besar ini dibagi menjadi tiga yaitu Solo Gitar oleh Renda, Sapek Dayak oleh Agus, dan   Littletalks Book Corner di mana anak-anak ini dilatih secara santai untuk menulis puisi, kemudian satu per satu dari anak-anak itu akan membacakan puisi yang ditulis mereka saat itu juga di depan teman-temannya yang lain.

“Workshop berjalan baik, saya sangat berharap bisa bermanfaat. Memang tidak mungkin segala ilmu vocal bisa tertuang hanya dalam waktu 45 menit, tetapi setidaknya ini adalah hal dasar yang bisa dilatih untuk para peserta workshop,” ucap Trie Utami, salah satu pembicara workshop olah vocal Festival Tepi Sawah.

Genggong Kutus di Festival Tepi Sawah (Foto: Istimewa)

Memasuki malam hari, pementasan demi pementasan yang menarik ditampilkan bergiliran di antara dua panggung: Panggung Uma (outdoor) dan Panggung Kubu (Indoor). Tidak seperti hari-hari sebelumnya di mana curah hujan berjatuhan dari langit Pejeng, hari pertama festival ini tidak ada hujan yang turun sedikitpun.

Beberapa line up tampil menarik di atas panggung termasuk Gamelan Ceraken itu. Di Panggung Kubu ada juga Genggong Kutus. Lalu ada Nuswantoro Trio, Lagu dan Lenong Betawi, Trie Utami dengan lantunan lagu-lagu pertamanya, dan garapan yang paling terakhir di mana berbagai artist berkolaborasi di dalamnya untuk mengenang Almarhum Chrisye dalam Tribute to Chrisye.

Inilah puncak kemeriahan Festival Tepi Sawah di hari pertama. Penampilan kolaborasi Trie Utami, Dian Pratiwi, Matthew Sayersz, Nita Aartsen dan Fascinating Rhythm secara jamming membuat penonton juga bersenandung dari tempat duduknya. Masih dengan latar sawah, boleh dikata, ajang ini seperti lagu-lagu panen yang dinyanyikan para petani ketika menyaksikan pada berkuningan. Petani itu, boleh jadi, adalah kita semua yang menyaksikan Festival Tepi Sawah 2018. (T/*/Pranita Dewi)

Tags: Festival Tepi Sawahgamelanmusikseni pertunjukan
Made Adnyana Ole

Made Adnyana Ole

Suka menonton, suka menulis, suka ngobrol. Tinggal di Singaraja

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
9 perempuan book launch
Essay

Still We Rise | Balinese Women Movements: 2 Empowering Projects, 21 Inspiring Women

2021 - A New Year for More Female Voices “Still I rise”. Lecturer, writer, and feminist activist Sonia Kadek Piscayanti...

by Irina Savu-Cristea
December 24, 2020

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Digital Drawing ✍️:
Rayni N. Massardi
Puisi

Noorca M. Massardi | 7 Puisi Sapta dan 5 Puisi Panca

by Noorca M. Massardi
January 16, 2021
Teater Kalangan pentas di hari pertama Parade Teater Canasta, Denpasar
Ulasan

Tiga Lapis Kesedihan Teater Kalangan – Hari Pertama Parade Teater Canasta 2018

“Sudah mau mulai teaternya?” Aku bertanya pada seorang pemain. Ia menjawab “sudah sekarang yuk”. Lalu pemain itu berlari ke halaman ...

November 3, 2018
Riris Sanjaya [penulis]
Khas

Belum Saatnya Membawa Kebiasaan Lalai Pulang ke Tanah Air – [Kabar dari Jepang]

Baca Kabar dari Jepang lain: Karena Bersih dan Indah Tak Dicapai dengan BerserahKarena Pintar Mencuci Tangan Bukanlah Kebanggaan _____ Masih ...

May 23, 2020
Seorang anak menonton lahar dingin di sebuah sungai di Karagasem. /Foto: Kardian Narayana
Opini

Gunung Agung Ingin “Diperhatikan” Kids Zaman Now, Maka Ia Meletus

  PULAU Bali yang damai dan tenang, sejak beberapa bulan lalu terusik ketenangannya. Penyebabnya tiada lain tiada bukan laku Gunung ...

February 2, 2018
Foto-foto: Istimewa
Kilas

Belajar Jujur Melalui Permainan dan Lagu “Meong-meong”

//Meong meong alih ja bikule/ Bikul gede gede / Buin mokoh mokoh /Kereng pesan ngerusuhin/Juk meng… Juk kul..// BEGITU lagu ...

February 2, 2018
Ilustrasi tatkala.co | Nana Partha
Esai

Memaknai Kata “Terserah” Dari Kacamata Kesehatan Jiwa

Belakangan ini, kata yang cukup favorit terdengar dan dibaca di media massa adalah “terserah”. Banyak yang kemudian bereaksi terutama tenaga ...

May 22, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jukut paku di rumah Pan Rista di Desa Manikyang, Selemadeg, Tabanan
Khas

Jukut Paku, Dari Tepi Sungai ke Pasar Kota | Kisah Tengkulak Budiman dari Manikyang

by Made Nurbawa
January 16, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Made Adnyana Ole [Ilustrasi Nana Partha]
Esai

Dilarang Meniru Petani

by Made Adnyana Ole
January 18, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (65) Cerpen (149) Dongeng (10) Esai (1349) Essay (6) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (2) Khas (308) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (96) Ulasan (327)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In