2 March 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Cerpen
Ilustrasi: IB Pandit Parastu

Ilustrasi: IB Pandit Parastu

Gede Juta

Made Adnyana Ole by Made Adnyana Ole
February 2, 2018
in Cerpen
47
SHARES

Cerpen: Made Adnyana Ole

 WAJAH Gede Juta tiba-tiba menyala. Usianya dekat 70, namun seperti seseorang hendak berperang dan siap menghadapi apa saja, bahkan kematian, ia berdiri tegak. Ia memandang Jero Perebekel yang pada malam itu tiba-tiba bertamu ke rumahnya.

“Tidak kulepaskan! Setidaknya sampai aku mati! Jadi, aku harus dibunuh agar tanah itu bisa lepas dari tanganku!”

Jero Perbekel – sang kepala desa, seketika mendongak. Sejak sekitar 50 tahun baru kali ini ia mendengar Gede Juta mengucapkan kata-kata jelas. Kata-kata yang bahkan mengandung kemarahan dan tantangan. Padahal, sudah sejak lama Gede Juta dikenal mengidap gangguan saraf dan kelainan jiwa. Hilang ingatan, hilang pikiran.

Sejenak Jero Perbekel diam. Ia seperti mengatur strategi untuk menyusun kembali kata bujuk-rayu agar terdengar lebih tajam. Bujuk-rayu yang sesungguhnya sejak awal sudah ditolak Gede Juta, yakni menjual seluruh tanah sawah dan kebun termasuk kandang ternak di tengahnya.

Tentu saja, Gede Juta tak akan bisa melepaskan begitu saja tanah kebun dan sawah miliknya termasuk kandang ternak di tengahnya  Bukan karena tanah itu peninggalan orang tua paling berharga, namun lebih karena kebun dan sawah sudah menjadi wilayah sakral baginya untuk menyembunyikan ingatan. Di sawah saat bekerja, ia bisa abai pada ruang, lupa pada waktu, tak peduli pada keadaan dan pikun pada diri sendiri.

Masa kecil Gede Juta makmur. Ia lahir dari keluarga petani kaya, setahun setelah Indonesia dikabarkan merdeka. Ayahnya petani tulen yang kerap dijuluki tuan si pemilik sawah seluas tiga danau. Ibunya penjual hasil tani yang dagangannya tak mudah ditawar namun tetap dicari para tengkulak. Pada setiap putaran panen, keluarga itu bisa mengantongi uang sebanyak dua puluh kali lipat dari rata-rata uang yang dikantongi petani lain. Belum lagi ditambah hasil penjualan ternak sapi. Serta sesekali masuk juga penghasilan dari penjualan sayur dan buah-buahan.   

Biasalah orang di desa, antara kagum dan sirik, kekayaan keluarga itu selalu jadi gosip. Orang-orang yang suka berkerumun di rompyok kopi dengan sukarela berebut menghitung peningkatan jumlah kekayaan keluarga itu pada setiap habis panen. Dan berhamburanlah decak takjub disertai gumam panjang ketika beberapa orang dengan hitungan ngawur sampai pada kesimpulan angka satu juta rupiah. Kekayaan keluarga petani itu mungkin tak sampai satu juta. Tapi saat itu, untuk mengatakan jumlah amat banyak, orang-orang memang terbiasa menyebut kata juta. Bagi mereka, jutaan adalah angka tertinggi. Mereka tak tahu miliar apalagi triliun.

Nama yang disandang Gede Juta tercipta sebagai lanjutan dari gosip semacam itu. Nama lahirnya hanya Gede. Akibat heboh gosip kekayaan satu juta, orang desa seakan sepakat memanggilnya Juta. Nama Gede Juta resmi dipakai ketika ia masuk sekolah. Ketika itu, ayahnya mendaftarkannya di SR. Satu guru iseng bertanya kenapa nama anak itu hanya Gede.  Ayahnya lantas spontan menambahi kata Juta di belakang Gede. Maka, jadilah Gede Juta. Tentu ayahnya tak menyesal. Meski nama itu muncul dari gosip, sesungguhnya ia punya harapan besar, kelak anaknya benar-benar jadi jutawan yang bisa menjaga kekayaan keluarga sekaligus menggelembungkannya. Dengan harapan besar juga, setamat SR, Gede Juta dikirim ke sekolah menengah di Denpasar.

“Kau harus sekolah tinggi, Gede! Karena petani dan peternak harus pintar. Hanya petani dan peternak pintar yang bisa menyelamatkan sawah, kebun, ternak dan seluruh kekayaan keluarga di kemudian hari,” kata ayahnya.

Gede Juta mengangguk. Dan jalan pun terbuka. Selulus ia SMA, universitas baru di Denpasar kebetulan membuka jurusan peternakan. Ia masuk jurusan itu. Cita-citanya, kelak, di sela kerja mengolah sawah, ia membangun usaha peternakan sapi yang besar.

“Tetap tinggal di asrama. Semua keperluanmu akan Ayah kirim.  Dan jangan pulang sebelum membawa ijazah!” kata ayahnya ketika mengantar Gede Juta ke asrama mahasiswa di dekat kampus.

Gede Juta sepakat, tapi nasib tidak. Suatu senja, ketika langit dipenuhi pantulan warna darah, ia pulang dengan wajah pucat. Tanpa ijazah. Ia tak bicara meski terus diburu pertanyaan dari ayah, ibu, kerabat dan tetangga. Ia menolak bercerita. Berhari-hari hanya diam. Jika pertanyaan kian bertubi, ia kemudian hanya menggeleng. Ia jadi terbiasa menggeleng meski tak ada lagi orang bertanya. Sejak itu, Gede Juta dianggap mengidap gangguan saraf, tak waras. Hilang ingatan, hilang pikiran. Ayah dan ibunya sedih, sakit, dan keduanya kemudian meninggal.

Sepeninggal orang tua, Gede Juta mengolah sawah dengan amat giat. Ia berlumur lumpur dan mengurus kebun, juga memelihara ternak, dari pagi hingga malam, bahkan sering kerja hingga 24 jam sehari. Ia mencangkul, membajak, menanam, dan menunaikan panen sendirian. Ia tak menikah dan benar-benar sendiri. Padahal seperti perumpamaan orang-orang, luas sawahnya mencapai tiga danau. Sementara itu, ia tetap enggan bicara dan terus menggeleng. Ia bungkam karena takut bercerita. Ia jarang istirahat karena takut melamun. Ia jarang tidur karena takut bermimpi.

Jika melamun dan bermimpi, potongan-potongan gambar yang muncul tak lain dari peristiwa yang justru ingin ia lupakan: satu pasukan bersenjata menyerbu asrama mahasiswa dan dia bersembunyi seperti tikus got di balik drum minyak tanah. Ia menyaksikan dari lubang drum yang robek bagaimana sejumlah mahasiswa yang hampir semua adalah temannya diseret dan dibantai tanpa melawan. Asrama itu diserbu karena dianggap sebagai sarang organisasi mahasiswa beraliran komunis. Ia sendiri selamat dan pulang ke desa dengan wajah serupa mayat.

Kerja di sawah tanpa henti adalah cara ampuh membenamkan lamunan busuk dan mimpi-mimpi keparat ke kubang lumpur. Ketika cangkul diayunkan ke udara ia seakan mengibaskan seluruh ingatan ke langit. Begitu bajak bergerak ia seperti memporakporandakan gambaran getir tentang satu adegan sadis yang membuatnya selalu mual. Saat benih padi ditanam, ia seakan membenamkan seluruh kisah hidupnya ke sebalik lumpur.  

Dan kerja tak henti itu tentu saja membuat hasil panennya juga melimpah. Hampir setiap hari Gede Juta mengantongi uang jutaan rupiah dari hasil penjualan padi, hasil kebun, sayur, dan ternak. Ia tak pernah berbelanja, kecuali sesekali membeli pakaian. Ia tak banyak kena iuran listrik desa karena rumahnya lebih sering gelap. Ia tak membeli radio dan TV karena selalu ngeri mendengar berita. Bahkan ia tak sudi mendengar obrolan rakyat tentang politik atau keputusan-keputusan pemerintah yang kadang menggelikan, misalnya naik-turun harga BBM, perubahan mata uang, atau tentang presiden baru. Seluruh informasi ditolaknya. Ia merasa tak bernegara. Ia seperti tak membutuhkan apa-apa, bahkan uang hasil sawah, kebun dan ternak, yang diperolehnya hampir saban hari, dimasukkan begitu saja ke dalam lemari kayu.     

Sampai suatu hari, tiba juga deru pariwisata di desa itu. Ada pengusaha besar hendak membangun hotel, restoran dan lapangan golf.  Pengusaha itu perlu lahan luas, dan warga desa dengan mudah menjual sawah mereka karena tergiur harga mahal. Hanya Gede Juta yang menolak. Ketika diajak tawar-menawar, ia terus menggeleng. Ia akan terus menggeleng tanpa henti, siapa pun yang mencoba mendekatinya.  

Akhirnya Jero Perbekel yang ternyata merangkap calo tanah menemuinya pada malam itu. Gede Juta jengah. Ia tak lagi menggeleng. Ia menjadi waras.

“Jika Jero Perbekel tak paham saat aku menggeleng, maka kini dengarkan suaraku. Aku tak akan menjual tanah itu!” suara Gede Juta makin keras dan jelas meski umurnya dekat 70 tahun.

“Apa Gede tidak kasihan dengan warga yang lain?” Jero Perbekel mencoba tetap bersuara pelan. Jelas sekali ia memiliki strategi untuk menjerat Gede Juta.

“Kasihan bagaimana?” Gede Juta balik bertanya.

“Pengusaha itu tak akan mencairkan dananya kepada warga, sebelum tanah Gede didapatkannya. Warga bingung. Kasihan. Sawah sudah diratakan, tapi mereka belum terima duit!”

“Orang bodoh tak perlu dikasihani. Kenapa mau tanda tangan akte jual-beli jika uang belum ada!?” 

Jero Perbekel makin heran saat Gede Juta tampak makin waras.

 “Begini saja,” kata Gede Juta kemudian. “Batalkan penjualan tanah itu. Aku yang akan membeli semua tanah warga. Aku bayar sekarang juga!”

Gede Juta kemudian mengajak Jero Perbekel masuk ke dalam kamar besar di dalam rumahnya yang besar. Di dalam kamar ia memperlihatkan 30 lemari kayu ukuran sedang. Ia membuka lemari satu per satu. Begitu lemari terbuka, uang berdesakan menyembul dan berserakan ke lantai. Kamar itu jadi penuh uang. “Semua ini kukumpulkan selama setengah abad, ditambah warisan orang tua!” bisiknya.

Jero Perbekel berjongkok, meneliti. Ternyata hanya sekitar lima lemari berupa uang kertas baru. Selebihnya adalah uang logam dan uang kertas dengan angka tahun 1960-an hingga 1990-an yang kini sudah tak bisa dibelanjakan. Uang itu lecek, kucel dan banyak robek dimakan tikus atau rayap. Jero Perbekel memandang Gede Juta dengan gemas sekaligus iba. Gede Juta seperti menyadari sesuatu. Tiba-tiba ia kembali menggeleng, kali ini dengan gerakan semakin cepat.   
  

Singaraja, Januari 2015

Tags: Cerpen
Made Adnyana Ole

Made Adnyana Ole

Suka menonton, suka menulis, suka ngobrol. Tinggal di Singaraja

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi

Puisi-puisi IGA Darma Putra | Kematian Siapa Hari Ini?

by IGA Darma Putra
February 28, 2021
Opini

Pidato Cinta untuk Guru di Hari Guru

Bapak/Ibu Guru yang kami cintai, pidato ini saya buka dengan kutipan dari penyair Kahlil Gibran… “Cinta tidak punya hasrat selain ...

February 2, 2018
Opini

Demam Peraturan dan Kooptasi Ruang Publik Kita

Ciri-ciri lahirnya rezim administrasi adalah kehendaknya untuk mengatur. Berbagai instrumen diciptakan untuk mengendalikan sekaligus memobilisasi massa rakyat. Imajinasinya, masyarakat yang ...

July 20, 2019
Pembedah Kadek Wahyudita, moderator, seniman dan penulis saat diskusi buku Seni Mu Dibw ke Mana? di Warung Men Brayut Denpasar
Ulasan

Sepuluh Seniman Muda Menulis dalam Buku “Seni Mau Dibawa ke Mana?” – Didiskusikan di Warung Men Brayut

Judul: SENI MAU DIBAWA KE MANA?Penulis I Made Rianta, I Putu Bagus Bang Sada Graha Saputra, Kadek Anggara Rismandika, I ...

December 6, 2020
Sumber foto: internet
Esai

Catatan Harian Sugi Lanus: “Makutawangsa” di Sunda dan “Udeng Pemangku” di Bali

DI Sunda istilahnya 'makutawangsa', disebutkan: "Sing saha bae anu make iket ieu dirina kudu ngalakonkeun PANCADHARMA" (Yang mengenakan ikat kepala ...

February 2, 2018
Pasar sengol suatu malam di sebuah kota di Bali
Opini

Pasar Senggol, Jiwa yang Hidup Bila Malam

  JIKA di Yogya angkringan sebagai tempat nongkrong, yang membuat malam di kota tua ini betah terjaga, maka di Bali, ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jro Alap Wayan Sidiana memanjat pohon kelapa di Desa Les, Buleleng
Khas

Jro Alap, Kemuliaan Tukang Panjat Kelapa di Desa Les

by Nyoman Nadiana
March 2, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Ilustrasi tatkala.co | Vincent Chandra
Esai

Di Nusa Penida, Ada Gadis Menikah dengan Halilintar

by I Ketut Serawan
March 1, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (156) Dongeng (11) Esai (1418) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (343) Kiat (19) Kilas (196) Opini (478) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (103) Ulasan (336)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In