26 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Opini
Foto: Ole

Foto: Ole

“Ngidu di Bungut Paon”: Dialog Masa Lalu dan Nikmat “Sambel Matah”

Made Nurbawa by Made Nurbawa
February 2, 2018
in Opini
35
SHARES

DULU, bagi warga desa-desa di Bali kebiasaan “ngidu di bungut paon”,  jadi rutinitas tak resmi setiap pagi, sebelum sarapan, sebelum ke sawah-ladang.  Kini kegiatan itu semakin jarang dilakukan, bahkan mungkin sudah punah.

Perubahan itu terjadi cukup cepat sejak munculnya kompor dengan bahan bakar gas (tabung LPG). Akibatnya, alat dan cara memasak masyarakat di desa tentu saja banyak berubah. Awalnya menggunakan tungku kayu bakar lalu beralih menggunakan kompor gas.

Tungku bukan lagi alat memasak utama. Dengan begitu, tempat ngidu otomatis tidak ada lagi.

Ngidu adalah aktivitas duduk-duduk untuk menghangatkan tubuh dekat bungut paon atau tungku perapian di dapur. Ngidu biasanya dilakukan pagi hari saat udara terasa dingin dan penuh embun. Di daerah pegunungan pada bulan-bulan tertentu ngidu sering juga dilakukan sore atau malam hari. Biasanya dilakukan sambil memasak air, menanak nasi, atau sembari ngobrol santai minum ngopi.

Ngomong-ngomong soal ngidu, sebenarnya tidak hanya sebatas urusan menghangatkan tubuh di dekat tungku perapian tetapi juga mengandung banyak pengetahuan sosial budaya, spirit bahkan beragam peristiwa. Saat ngidu sesekali kita juga nulukan saang (memasukkan kayu bakar ke tungku) agar nyala api tetap konstan dan tidak mengeluarkan banyak asap.

Jika kita mendengar cerita bara api (baleman) atau tungku tradisional, maka itu identik dengan aktifitas warga memasak makanan di dapur. Jadi, cerita tunggku sangat dekat dengan urusan pangan.

Ciri khas memasak dengan tungku biasanya dari atap dapur warga keluar kepulan asap halus bercampur bau masakan yang khas. Asap halus yang keluar (mekedus) dari dapur warga merupakan kode sosial dan budaya. Terbukti di kalangan masyarakat Bali ada istilah “pang kuwala mekedus bungut paone” yang berarti “sekadar bisa masak” atau “sekadar bisa makan”.

Ungkapan “pang kuwala mekedus bungut paone” dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Bali sudah lama digunakan dan membudaya karena urusan pangan untuk diri sendiri maupun keluarga adalah hal mendasar dan menjadi kebutuhan sehari-hari. Karena urusan pangan sangat mendasar, maka urusan pangan memiliki dimensi sangat luas baik secara ideologi, ekonomi, politik, sosial budaya, maupun ketahanan keamanan di dalam komunitas bahkan negara.

Kembali ke soal ngidu, walau dilakukan dalam suasana santai saat ngidu kita juga perlu konsentrasi. Tangan kita harus aktif menggeser, menambah atau memasukkan kayu bakar ke tungku (nulukan saang) atau meniup bara dengan semprong agar api menyala. Bahkan sering tangan kita menghitam karena menyentuh jelaga dandang, panci, payuk atau saat mengambil sepit (alat penjepit).

Nyala api dalam tungku harus dikendalikan setiap saat agar panas/besarnya api sesuai kebutuhan. Sehingga saat ngidu apalagi sambil memasak dengan tungku pasti lebih sulit memegang HP apalagi sambil menulis status di media sosial. Bedalah jika memasak dengan kompor gas.

Demikian juga saat nulukan saang, kita seolah-olah diingatkan dengan kata “tuluk” yaitu istilah yang digunakan komunitas subak. Satu “tuluk” sama dengan satu “kecoran” yaitu satuan pembagian air dari saluran air utama (temuku) sebelum menuju pematang sawah.

Besar kecilnya kecoran tergantung luasan sawah (ayahan) yang dihitung berdasarkan ketekan jari tangan. Sehingga di balik kata “tuluk” mengandung makna keadilan, pemerataan, keberlanjutan dan kemakmuran. Dengan sendirinya sawah, air, padi, beras, dan tungku di dapur adalah komponen hidup yang berhubungan lurus. Jadi, memasak dengan tungku tradisional di desa-desa memiliki dimensi yang sangat luas.

Tungku tidak saja untuk ngidu atau memasak, biasanya di atas tungku ada langatan, yaitu semacam tempat atau rak yang terbuat dari anyaman bambu. Langatan biasa digunakan untuk menaruh barang atau mengawetkan daging, biji-bijian/benih atau kayu bahan untuk membuat alat pertanian seperti tangkai sabit atau cangkul. Ruang di atas tungku tersebut lumrah disebut punapi.

Istilah “punapi” mungkin berasal dari dua kata “puwun” dan “api” yang kira-kira berarti “panas/dipanaskan dengan api”. Karena diucapkan dengan cepat maka menjadi “punapi”. Misalnya “urutan megantung di punapi” yang berarti daging/sosis ada di atas tungku.

Dalam bahasa Bali “punapi” juga berarti kata tanya. Misalnya “Punapi gatra?”, yang berarti “apa kabar?”. “Punapi” bisa juga berarti “gimana/bagaimana”. Misalnya “yening arsa tiang jagi nyarengin, punapi?. Artinya “kalau berkenan saya akan menemani, bagaimana?”

Jadi, saat “ngidu di bungut paon” seolah-olah kita diajak atau diingatkan untuk selalu bertanya tentang sesuatu yaitu; dimana, dari mana dan mau ke mana?

Dalam kehidupan sosial budaya pertanyaan itu bisa mengarah  pada bentuk kepedulian atau perenungan. Karena ada pertanyaan pasti akan muncul jawaban. Sehingga lumrah saat duduk “ngidu di bungut paon” pasti akan terjadi “dialog terbatas” alias tanya jawab dengan anggota keluarga.

Jangan salah banyak urusan rumah tangga, pakraman atau pekerjaan dibahas tuntas di bungut paon. Sehingga “paon” memiliki fungsi sosial yang sangat mendasar dalam menjaga kerukunan dan rasa kesatuan dan persatuan bangsa dan negara mulai dari lingkungan keluarga.

Menurut seorang warga, sebut saja namanya Putu Leong dari Penebel Tabanan, berkurangnya penggunaan tungku kayu bakar di desa-desa sepertinya berdampak langsung terjadinya banjir bandang saat musim hujan, karena ranting kayu  atau bambu kering yang ada di kebun atau perumahan penduduk yang dulunya dipunguti untuk kayu bakar kini tergeletak begitu saja.

Saat hujan lebat atau banjir, berkubik-kubik ranting kayu dan bambu kering tersebut hanyut ke sungai atau selokan lalu menyumbat/membendung aliran air dalam volume besar. Ketika sumbatan air pecah terjadilah banjir bandang yang menyebabkan tanah di pinggir sungai atau selokan jebol atau longsor tergerus air bah. Menurut Leong, di beberapa titik terbukti ada ruas jalan yang berada di pinggir parit atau sungai jebol saat hujan lebat.

Sedangkan di desa lain seorang warga ada menyebut, berkurangnya penggunaan tungku kayu bakar di desa-desa menyebabkan nyamuk berkembang pesat di perumahan penduduk, karena tidak ada lagi kepulan asap di lingkungan rumah. Entahlah apakah hal itu ada hubungannya dengan mewabahnya gejala demam berdarah yang belakangan sering terjadi di desa-desa.

Pantaslah dulu masyarakat di desa-desa punya kebiasaan  membakar sampah atau sesuatu di dekat rumah atau membuat “tabunan” (bara api) agar keluar asap. Mungkin tujuannya untuk mengusir nyamuk, serangga atau binatang berbahaya lainnya agar tidak berada di sekitar rumah.

Begitulah alam selalu berada dalam dua sisi yang saling menyeimbangkan, setiap perubahan pasti akan menciptakan dampak yang menurut masing-masing orang bisa dirasakan positif dan negatif, padahal sesungguhnya semua adalah sesuatu yang alami (natural). Tinggal bagaimana kita bisa mengelola perubahan dengan kesadaran.

Dalam kesadaran budaya tidak masalah melakukan perubahaan dalam pengelolaan alam sepanjang perubahan itu tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau bertentangan dengan spirit, unsur-unsur, atau sifat alami dari alam itu sendiri (panca maha bhuta). Mungkin itu yang dimaksud mengelola alam yang bernafaskan “Tri Hita Karana”.

Menurut Leong lagi, tungku tradisional paling bagus digunakan untuk membuat lengis tandusan (nandusin) yaitu membuat minyak kelapa dengan cara tradisional. Di desa-desa tungku tradisional masih dipertahankan oleh warga karena sangat berguna saat nandusin. Sehingga tungku tradisional adalah komponen penting industri rumahan untuk membuat lengis tandusan.

Usaha lengis tandusan tetap eksis salah satunya karena lengis tandusan sangat enak untuk campuran sambel matah, yaitu sambel yang dibuat dari campuran bawang dan cabe mentah yang dicampur dengan minyak kelapa tradisional, bukan minyak kelapa pabrikan. Makan nasi dengan sambel matah akan jauh terasa nikmat. (T).

Tags: baligaya hiduppanganTradisi
Made Nurbawa

Made Nurbawa

Tinggal di Tabanan dan punya kecintaan yang besar terhadap tetek-bengek budaya pertanian. Tulisan-tulisannya bisa dilihat di madenurbawa.com

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Sketsa Nyoman Wirata
Puisi

Puisi-puisi Alit S Rini | Aku dan Pertiwi, Percakapan di Depan Api

by Alit S Rini
January 23, 2021
Foto: Sugi
Esai

“Majejahitan” dan “Matanding”, Pewarisan Kesadaran Estetika Manusia Bali

SETIAP orang Bali, walaupun ia terlahir sebagai laki-laki, pasti pernah matanding atau majejahitan. Matanding adalah kegiatan untuk menyanding-nyandingkan atau menata ...

February 2, 2018
Foto-foto: koleksi penulis
Perjalanan

Dari Singaraja ke Kaohsiung: Menembus Batas Menembus Nalar

Kaohsiung adalah kota terbesar kedua di Taiwan setelah Taipe. Di kota itulah saya berada, awal Juni 2016. Seperti sebuah mimpi, ...

February 2, 2018
Foto: Mursal Buyung
Esai

Sekar Sumawur: Dialog Kosong tentang Jalan Seribu Tanda Tanya

  BUKAN rahasia jika langkah selalu meninggalkan jejak-jejak. Bagi pemiliknya, jejak hanyalah segala sesuatu yang telah dilahap waktu. Berbeda bagi ...

February 2, 2018
Ist
Esai

Tak Usah Gawat-gawat, KKN itu Biasa Saja…

~Aku ditempatkan di pelosok desa, tapi aku lebih suka menempatkan diriku di gawai dan sosial media~  -- Mahasiswa KKN KKN ...

May 31, 2019
Prof.Ir.Wiendu Nuryanti M.Arch,Ph.D.,
Acara

Para Pemikir Pariwisata Tingkat Dunia Berkongres di Universitas Gadjah Mada

CRITICAL Tourism Studies (CTS) adalah asosiasi para pemikir pariwisata dunia yang bermarkas di London – United Kingdom dengan keanggotan yang ...

February 22, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Pemandangan alam di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali. [Foto oleh Made Swisen]
Khas

“Uba ngamah ko?” | Mari Belajar Bahasa Pedawa

by tatkala
January 22, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Sayang Kukiss/Diah Cintya
Esai

7 Jurus Memperbaiki Diri untuk Melangkah pada Rencana Panjang | tatkalamuda

by Sayang Kukiss
January 25, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (150) Dongeng (10) Esai (1360) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (310) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (97) Ulasan (329)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In