28 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Cerpen
Ilustrasi: IB Pandit Parastu

Ilustrasi: IB Pandit Parastu

Langit Bumi

Satia Guna by Satia Guna
February 2, 2018
in Cerpen
34
SHARES

Cerpen: Satia Guna

Sendirian, aku masih sendirian, menanam puluhan rindu dalam hati. Memandang percikan cahaya dari bingkai foto itu. Mengingatkan aku denganmu, pada belahan hati yang kini entah di mana gerangan engkau berada. Akankah nikmat hirup mie ayam itu kembali membawa rinduku padamu. Selamat pagi kekasih.

***

Pagi ini kuawali kisahku dengan menenteng beratnya tumpukan tugas yang diberikan dosen kepadaku. Ya, aku menjalani hidupku lagi di sini. Di tanah yang disebut tanah tandus ini, dipenuhi dengan orang-orang yang berpikir bahwa diri mereka seorang intelek yang bersahaja. Singaraja, kota pendidikan yang kujejaki, kurang lebih 2 tahun aku sudah menyelami pahitnya penderitaan di sini. Tanpa kekasih. Tanpa senyuman orang tua.

***

Awan! Indahnya awan pagi ini. Aku siap menaiki burung itu, burung yang siap membawaku dan beberapa orang pergi entah ke mana. Pergi untuk meninggalkan rumah mereka, meninggalkan rindu yang tak berujung, tapi hanya sebentar saja, mereka akan pulang, tenanglah. Semua penumpang yang kutemui selalu kutekankan dengan kata-kata manis seperti itu. Tak kan ada habisnya karena rinduku sama persis seperti rindu mereka.

***

Rinduku semakin menumpuk kasihku. Jalanan menuju kampus terasa berbuih. Mengantarkan gelembung demi gelembung yang akan mengiringi kerinduanku. Kita berada di persimpangan kasih. Aku sempat bertemu dengan kembaranmu di sudut kampus gelap ini. Senyum yang manis sepertimu. Tangan yang sehalus tanganmu, dan hati yang damai sedamai percikan air terjun. Oh aku rindu

***

ENTAH berapa surat yang telah kusampaikan padanya. Itulah kerinduan, hanya surat yang bisa mengantarkan perasaanku. Aku berjalan menuju puing demi puing pengetahuan hanya demi bertemu dengannya. Dia adalah seorang gadis yang mengudara di atas awan tanpa tahu kapan harus mendarat dan menemukan sebuah cinta. Setiap aku berjalan ke kampus, kepalaku selalu mengahadap ke langit. Melihat burung itu melintasi kepalaku, dan berharap ia ikut bersama burung itu.

Empat tahun aku melalui beribu pesakitan di tanah pendidikan itu. Kini aku siap menjelajahi beratnya tanah dan ringannya langit. Aku adalah lulusan Sarjana Pendidikan yang entah bagaimana nasibnya, sebutan “Guru” akan mengiringi setiap langkah ini. Lama sekali aku menghabiskan isi kepala dan tenagaku untuk mendapatkan gelar itu, habis sudah harta, habis sudah ceramah, sudahilah sudah memang celoteh orang sekampung.

Sarjana Pendidikan hanyalah sebuah alasan yang digunakan para pemuda sebagai kunci kebanggan orang tua. Aku pasrah dengan nasibku yang tidak karuan ini, tapi kembali kuteringat dengan seorang gadis yang yang berdiri di dalam perut burung yang selalu melewati kepalaku. Andai ia tahu keadaanku sekarang. Mungkin rindu itu perlahan akan memudar dirayu musim.

Seminggu lagi gadis rinduku pulang ke kampung dan ia berjanji untuk menemuiku di rumah. Ia mengirimiku surat lagi. Isinya tentang kerinduannya yang semakin hari semakin besar. Sementara aku memilih untuk menyerap seluruh rindu dan mengeluarkannya hingga habis.

Seminggu telah berlalu, ia pun datang menemuiku dengan beberapa kantong plastik yang berisi barang-barang yang aku tahu itu tak gratis. Ibuku sangat perhatian padanya. Aku tak dihiraukan. Ia melihatnya seperti melihat seorang bidadari yang datang dari khayangan.

Aku hanya di sudut, ya dsudut. Setelah bosan mengobrol dengan semua keluargaku. Ia pun datang menemuiku mempertilahatkan alis matanya yang sudah meruncing, bibirnya yang sudah dihiasi gincu, dan rambutnya yang dipotong pendek blow khas penampilan seorang pramugari, yang kecantikannya menenangkan seluruh penumpang yang ada di dalam pesawat.

Ia memberikanku barang yang ia peroleh selama perjalanannya menuju Prancis. Di sana katanya ia melihat Menara Eiffel yang tingginya menjulang sampai ke langit. Ia juga menceritakan betapa senang ia di sana karena setiap hari ia bisa berganti parfum dan berganti busana tren masa kini. Tetapi disela-sela ceritanya aku menanyakan satu hal.

“Kapan kau akan menginjak bumi kasihku?”

Ia hanya terdiam, tapi setelah itu ia menjawab diimbangi dengan tertawa “Saat Tuhan, memberikanmu pekerjaan, memberikanmu sebuah kewibawaan, setelah itu aku akan menginjak bumi Gusti, dan hidup bersama denganmu.”

“Sudahlah, jangan bicarakan itu lagi.”

Aku mengalihkan pembicaraan, takut membuat rinduku semakin hilang.

Tiga hari berselang, ia kembali mengepakkan sayapnya lagi dan bergegas melanjutkan tugasnya sebagai seorang pramugari. Mengepakkan sayap dan mengarungi luasnya langit yang tak kan pernah habis. Sementara aku, masih dalam pesakitan bumi, menyelami lautan dan mengembara di tengah gurun kehidupan. Cintaku padanya bagai bumi dan langit, bersatu namun tak diperkenankan menyatu, karena kalau langit dan bumi bersatu maka yang terjadi adalah kehancuran.

Kehancuran, kehancuran yang senyatanya adalah kami sepasang kekasih yang berbeda kasta. Ya, Bali masih menyimpan kegelisahanya, walaupun dewasa ini kasta tak kan jadi masalah tapi hal tersebut tak kan disetujui oleh para tetua. Mereka yakin kalau perkawinan sesama kasta akan menghasilkan keturunan yang mulia dan menjadi kebangaan keluarga.

Dulu orang berkasta adalah orang yang dipenuhi dengan kemewahan, dipenuhi dengan keagungan, dulu, wangsa Kesatria, wangsa yang berkasta menjadi seorang polisi, petinggi negara, pejabat. Tapi sekarang, di tahun 2015 ini, semua serasa terbalik. Tuhan telah membalik roda kereta kudanya. Kaum Sudra yang tak berkasta kini membalaskan dendamnya.

Sekarang merekalah yang kebanyakan meduduki kursi pejabat, sebagai seseorang yang disegani dan dipandang di masyarakat. Dan dia, dia, gadis yang kucintai, yang menelan rinduku ini adalah kaum sudra dan menjadi tulang punggung di keluarganya menjadi seorang pramugari. Sementara aku wangsa ksatria, yang hingga kini luntang-lantung mencari pekerjaan yang entah kapan akan mendapatkannya.

Rasa sakit ini menusuk piluku, tapi keajaibanpun muncul. Akhirnya setelah 3 tahun aku menapaki krikil berduri ini. Aku akhirnya medapatkan pekerjaan menjadi tenaga pengajar di Sekolah Menengah Atas dekat dengan rumahku. Aku bersyukur kepada Tuhan walau aku sedikit kecewa. Seminggu kemudian, Ayah Iluh menemuiku dan mengantarkan kabar yang menggembirakan kepadaku, katanya.

“Gusti Ngurah! Besok Iluh akan pulang, dan dia ingin membicarakan sesuatu dengan Gusti Ngurah, Penting katanya.”

“Baik, Pak Yan!”

Keesokan harinya dengan rasa gembira aku menyambut kedatangan gadis rinduku di bandara. Sesampainya di bandara, tak perlu waktu lama untuk menunggunya. Senyum manisnya sudah menggiringku untuk memeluknya dengan erat. Tak kusadari Pak Yan berada di belakangku bersama istrinya. Dan tiba-tiba berkata.

“Ayo, apa yang kalian tunggu lagi, kami sudah tidak sabar untuk menggendong cucu”

“Iya Gusti, sekarang Gusti sudah memiliki pekerjaan, tiang akan mendampingi Gusti sampai maut memisahkan kita.”

Sekarang giliranku yang terdiam mendengarkan pernyataanya. Lalu pertanyaan yang selalu aku tanyakan kembali aku tanyakan padanya.

“Ketika kau sudah mendampingiku, akankah kau menginjak bumi dan berhenti mengudara?”

Ia hanya tersenyum dan mengangguk. Aku tahu ia berbohong pada dirinya sendiri, karena jarang sekali ia kulihat tersenyum selebar itu.

Sesampainya di rumah, aku menyampaikan suatu hal menggembirakan kepada keluargaku tapi bagi keluargaku hal tersebut bukanlah hal yang menggembirakan. Kabar gembiraku tak lebih dari penghinaan terhadap keluarga. Aku tak habis pikir, dahulu Iluh sangat disegani oleh keluargaku tapi kenapa sekarang mereka sangat membencinya. Aku tak habis pikir, aku tak habis pikir.

“Gusti Ngurah Bhakti Yuda, apakah kamu sudah mempertimbangkan semua hal yang kamu sampaikan tadi?”. Ibuku membentak.

“Sudah matang sekali, Biang.”

“Dia itu seorang sudra, seorang gadis jabe, tak pantas bersanding dengan wangsa kesatria seperti kita, lagipula ia juga seorang pramugari, dan dia bukan istri yang pantas untukmu, dia akan meninggalkanmu di bumi sedangkan ia akan kembali ke kahyangan.”

Ibuku mengomel seakan-akan bercerita tentang cerita kisah Raja Pala dengan Ken Sulasih. Kisah cinta seorang bidadari yang berasal dari kahyangan dengan seorang pemuda yang berasal dari bumi. Tapi, yang aku takutkan adalah, cerita tersebut akan mirip dengan kisahku bersama Iluh. Tapi akan kujalani walau dosa akan menimpa keluarga kecilku bersama Iluh.

***

Upacara pernikahan begitu sepi, yang terdengar bukanlah riuh para undangan tapi yang terdengar hanyalah merdunya suara angklung yang mengiringi upacara pernikahan kami.

Sebulan sudah aku lewati bersama Iluh. Akhirnya aku akan menjadi seorang ayah, akhirnya akan ada seorang putra atau putri dalam kehidupan kami. Sembilan bulan aku menunggu dan berharap. Akhirnya lahirlah seorang putra. Wajahnya mirip sekali dengan ibunya, hanya alis matanya saja menyerupai alis mataku. Kulitnya putih secerah ibunya. Oh, betapa bahagianya hatiku kala itu. Hidupku penuh warna setiap aku bermain bersama anaku.

Kini usia anaku genap 5 tahun dan ia harus bersekolah. Tabungan istriku semakin menipis, dan gajiku sebagai guru honorer tak kan mampu membiayai sekolahnya hingga perguruan tinggi. Kegembiraan keluarga kecil kami serasa musnah diterpa ombak pasir, tak menyegarkan, hanya menyakitkan. Kini Iluh yang kukenal tak lagi seperti Iluh yang dulu, yang setia melayani suami di kala sedih maupun senang. Sampai akhirnya ia membungkus sebuah kain lalu memasukannya ke koper dan berkata.

“Aku sudah bosan, kita telah berdosa mengingkari adat dan aku telah berdusta kepada diriku sendiri.”

“Apa maksudmu?”

“Sekarang, ternyata uang adalah segalanya bagi kita, bukan berarti aku tak cinta kepadamu tapi, kita harus berusaha mencari uang sendiri-sendiri.”

“Jangan katakan kau akan meninggalkan bumi lagi, Luh.”

“Hanya dengan begitu Jik, kalau kita punya uang, kita bisa makan, bisa menyenangkan hati kita, bisa membiayai sekolah anak kita, dan bisa bahagia.”

Kalimat terakhir dari Iluh sangat menyayat hatiku. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menyuruhnya berhenti. Ia mengudara lagi, meninggalkan Aku, dan anak kami. Berat hati ini merelakannya pergi hanya untuk selembar kertas kecil berwarna merah. Sekarang Ken Sulasih telah meninggalkan suami dan anaknya di Bumi, dan memilih untuk berada dalam perut burung raksasa itu, pergi ke langit.

 

Tags: Cerpen
Satia Guna

Satia Guna

Lelaki pendiam yang selalu bikin kangen, terutama dikangeni teman-temannya di Komunitas Mahima. Suka main teater, suka menulis puisi, esai dan cerpen. Kini juga melukis.

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Sketsa Nyoman Wirata
Puisi

Puisi-puisi Alit S Rini | Aku dan Pertiwi, Percakapan di Depan Api

by Alit S Rini
January 23, 2021
Berpose bersama tim Bumi Bajra sebelum pulang ke Bali
Perjalanan

Laporan Pentas “The Seen and Unseen” dari Australia [4] – Pentas Terakhir Sebelum Pulang

BACA JUGA: Laporan Pentas “The Seen and Unseen” dari Australia – Hari Pertama, Pesta Kecil di TamanLaporan Pentas “The ...

March 5, 2020
Tini Wahyuni, Hunger Moon
Cerpen

Apa Mungkin Istriku Dewi Sri?

Cerpen: Fatah Anshori HARI ini ia mengirimiku pesan lagi agar aku segera ke Surabaya dan meninggalkan istriku yang sedang hamil ...

February 2, 2018
Kilas

Pentas SMKN 4 Bangli: Kreasi Selonding, Dari Bali Kuno ke Masa Depan

  Pentas Selonding Kreasi SMKN 4 Bangli di Taman Budaya Denpasar MENDENGAR gamelan selonding, khayalan bisa ...

February 2, 2018
Esai

Buah Tangan dari Utara, Getar dari Celukan Bawang – Catatan Sebelum Pentas

  “….. sekarang saja bunuh cucu saya dan saya sekalian, daripada kalian bunuh keluarga saya perlahan-lahan seperti ini” kata Nenek ...

February 2, 2018
9 perempuan book launch
Essay

Still We Rise | Balinese Women Movements: 2 Empowering Projects, 21 Inspiring Women

2021 - A New Year for More Female Voices “Still I rise”. Lecturer, writer, and feminist activist Sonia Kadek Piscayanti ...

December 24, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Moch Satrio Welang dalam sebuah sesi pemotretan
Kilas

31 Seniman Lintas Generasi Baca Puisi dalam Video Garapan Teater Sastra Welang

by tatkala
January 27, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Puji Retno Hardiningtyas saat menyampaikan ringkasan disertasi dalam ujian terbuka (promosi doktor) di Universitas Udayana, Selasa, 26 Januari 2021.
Opini

Antara Keindahan dan Kehancuran | Wacana Lingkungan Alam dalam Puisi Indonesia Modern Karya Penyair di Bali Periode 1970-an Hingga 2010-an

by Puji Retno Hardiningtyas
January 28, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (150) Dongeng (10) Esai (1363) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (312) Kiat (19) Kilas (193) Opini (472) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (97) Ulasan (330)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In