23 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai
Foto diambil dari akun facebook SabangMerauke ID

Foto diambil dari akun facebook SabangMerauke ID

Mereguk Toleransi di Wilayah Tanpa Batas – Catatan Seorang Jurnalis

Heyder Affan by Heyder Affan
February 2, 2018
in Esai
68
SHARES

SEBAGAI jurnalis, saya sering bertemu dan berkenalan dengan banyak orang – dengan latar ideologi, agama, etnis, atau kebiasaan yang bermacam-macam.

Saat bertemu penyamun, tukang bully, presiden, makelar kasus, pencopet, provokator, aktivis LSM, menteri, politikus, polisi, hingga romo atau ulama, saya lebih banyak mengajukan berbagai pertanyaan – dan mendengarkan, tentu saja.

Dari pertanyaan itu lahirlah jawaban. Dengan kesadaran, informasi itu kemudian saya bagikan, dengan titik tolak akal sehat yang telah disiapkan sebelumnya.

Selesai? Tidak! Saya sebagai pribadi pun belajar langsung dari wawancara dan pertemuan itu. Semua itu bisa berarti makin meneguhkan sikap, kritik diri, dan bahkan semacam desakan kuat agar saya berubah.

Desakan agar saya berubah, begitulah. Agak klise, memang. Tapi itulah yang terjadi, ketika saya pada akhirnya mesti bersikap terbuka terhadap dunia. Pikiran mesti dibuka selebar-lebarnya.

Dan, akhirnya, puluhan tahun bergumul dengan fakta yang tidak pernah bisa dipersepsikan secara utuh, membuat pijakan lama – yang pernah ngendon di otakku – menjadi mirip baju yang kekecilan.

Kenyataan yang terus berubah, dan nyaris hadir terus-menerus, akhirnya menyodorkan sebuah cara pandang baru.

Dan, cara pandang lama, yang tidak lagi meyakinkan, saya gudangkan – untuk sementara.

Dalam kebaharuan yang terus-menerus, membuat saya tidak lagi memiliki cara pandang tunggal dalam melihat kenyataan. Atau dalam kalimat sederhana: Kesepakatan-kesepakatan sesaat perlu dibuat – tetapi niscaya pula untuk ditinjau ulang.

Ditempa dalam cara pandang seperti itu, dan logika jurnalistik purba yang meminta awaknya untuk setia berada di perbatasan (tapi percayalah, batas itu sering saya loncati ketika harus bersikap menyikapi ketertindasan terhadap orang-orang yang tidak mampu bersuara), tidak berarti semuanya kemudian mulus-mulus saja.

Hampir pasti ada ketegangan, utamanya ketika disadari ada hasrat, tubuh, dan sejarah pribadi, yang terus berkelindan dengan – apa yang disebut – akal sehat. Namun pada saat bersamaan, akal sehat – yang terus dilatih dan ditempa – bekerja keras untuk meyakinkan hal-hal absurd itu tadi.

Dalam bingkai seperti inilah, hari Selasa, 9 Agustus 2016, sebagai jurnalis, saya menjadi enteng hati, lunak, dan kadang-kadang mata tiba-tiba basah (tetapi kemudian otak bekerja untuk berkata ‘hapus air matamu’), ketika meliput kerja keras anak-anak muda yang gelisah melihat masa depan praktek hubungan antar umat beragama.

Melalui Yayasan ‘Sabang Merauke’, mereka – dengan caranya sendiri – mengumpulkan belasan remaja tanggung di berbagai pelosok Indonesia untuk mengalami dan merasakan langsung praktek toleransi.

“… Karena toleransi tidak bisa hanya diajarkan, toleransi harus dialami dan dirasakan,” begitulah frasa yang sering saya dengar dari acara tersebut.

Dan pada Selasa itu, saya mengikuti sepenggal perjalanan mereka mendatangi sebuah kuil Sikh, Gereja Katolik dan Masjid, sekaligus belajar dari para pemimpinnya masing-masing.

Walaupun tetap dibayangi skeptisme (“bukan wartawan, kalau kau tidak skeptis,” kalimat ini terus bersemayam di otakku, sejak belajar jadi jurnalis), dan terus bertanya-tanya tentang efektivitas acara ini, seperti halnya yang sudah-sudah, saya pun pada akhirnya mencoba mereguk apa-apa yang terjadi di hadapan saya.

Dan, siang itu, ditingkahi bunyi lonceng Gereja Katedral dan sayup-sayup suara orang mengaji dari loudspeaker Masjid Istiqlal, saya berkenalan, mengobrol dan mewawancarai Romo Stanislaus Lirmanjaya Sastra.

Dalam wawancara, Romo masih percaya “harapan baik” dengan adanya program pertukaran pelajar tersebut. Hal ini dia tekankan berulang-ulang ketika saya bertanya apa yang bisa diharapkan dari acara dua minggu ini ketika mereka pulang ke kampungnya dan disuguhi lagi praktek dan nilai-nilai yang tidak toleran.

“Belum lagi, suguhan dari media sosial yang banyak menyuguhkan postingan anti-toleran,” kataku agak menyela. Romo Jaya tetap meyakini hasil interaksi anak-anak tersebut dengan program ‘praktek toleransi’ itu akan membekas kuat.

Begitulah. Di luar itu, sebagai makhluk nostalgis, kami pun mengobrol ringan tentang latar kota masa kecil kami yang sama, yaitu kota Malang.

“Asal saya dari Donomulyo, Kabupaten Malang,” kata Romo Jaya. Rupanya, kami sama-sama tumbuh dan besar di Kota Malang, Jawa Timur.

“Podo Arema-e,” ujarku setengah kelakar. Kami tertawa, lalu muncullah cerita-cerita agak omong kosong tentang bakso, cwie mie Dempo (“Saya dulu di SMA Dempo,” ungkapnya), kemacetan dan segala tetek bengek kota itu.

Pagi hingga menjelang sore, saya dan Romo Jaya mengikuti program tersebut. Saya meliput, sementara Romo menjadi relawan. Kami bersama terjun langsung dalam peribadatan kaum Sikh di kuilnya, lalu semacam diskusi di Gereja Katedral dan terakhir tanya-jawab di ruangan dalam Masjid Istiqlal, Jakarta.

Usai acara, badan memang terasa letih, tetapi saya lantas memaklumi dan kemudian berpikir: bukankah jiwamu makin kaya setelah terlibat dalam acara tersebut. (T)

Tags: agamajurnalismetoleransi
Heyder Affan

Heyder Affan

Penyuka jalan-jalan, penikmat sastra, dan gila bola. Tulisannya bisa dilihat secara lengkap di heyderaffan.blogspot.com

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Sketsa Nyoman Wirata
Puisi

Puisi-puisi Alit S Rini | Aku dan Pertiwi, Percakapan di Depan Api

by Alit S Rini
January 23, 2021
Sumber foto: bbc.com/Terence Spencer/The LIFE Images Collection/Getty Images.
//Gelombang di sungai-sungai di Bali, penuh dengan lumpur dan abu dan puing setelah letusan Gunung Agung 1963.
Esai

Gelagat Gunung Agung Sebelum Meletus & Keadaan Besakih Setelah Letusan 1963

  Kesaksian Prof. Anwari Dilmy Prof. Anwari Dilmy adalah ahli botani ternama, lulusan Sekolah Pertanian Buitenzorg (sekarang Bogor), sebulan setelah ...

February 2, 2018
Ilustrasi tatkala.co/Nana Partha
Esai

Konsumen Zaman Now: Sharing, Shaping, Consuming

Era tahun 2000-an ini banyak punya sebutan yang beredar di tengah masyarakat maupun oleh netizen. Ada yang menyebut era revolusi ...

March 24, 2020
Pementasan teater Perempuan Tanpa Nama
Opini

Jangan Khawatir Soal Perempuan, Tuan Karl Marx!

  “Kemajuan sosial dapat diukur oleh posisi sosial perempuan” – Karl Marx “Tenang saja, tidak ada lagi penindasan akan paras ...

February 2, 2018
Opini

Isu Sektarian Bisa Menular ke Pilgub Bali, “Wangsa” dan “Soroh” Bisa jadi Jualan Kampanye

EUFORIA pemilukada serentak tahun 2017 resmi berakhir. Sisa endapan perseteruan, bahkan percikan kebencian tidak dapat ditunggu agar selesai, tapi harus ...

February 2, 2018
Foto Ilustrasi: Mursal Buyung
Esai

Masa Depan Itu Nisbi – Sebuah Renungan

"Matematika, Percaya Diri = Sukses!" Begitu kata sebuah iklan lembaga bimbingan belajar di sebuah perempatan jalan protokol yang kerap saya ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Pemandangan alam di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali. [Foto oleh Made Swisen]
Khas

“Uba ngamah ko?” | Mari Belajar Bahasa Pedawa

by tatkala
January 22, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Ni Nyoman Sri Supadmi
Esai

Teknologi Berkembang, Budaya Bali Tetap Lestari

by Suara Perubahan
January 23, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (150) Dongeng (10) Esai (1355) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (310) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (97) Ulasan (328)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In