18 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Opini
Foto: Ole

Foto: Ole

Bak Diterjang Virus, Buleleng Akhirnya Demam Festival

Eka Prasetya by Eka Prasetya
February 2, 2018
in Opini
367
SHARES

BELAKANGAN ada sebuah fenomena baru muncul di Buleleng. Yaitu, munculnya berbagai festival di berbagai tempat. Seperti wabah, seperti virus menular, festival terus muncul sambung-menyambung. Menjangkiti nyaris seluruh sendi yang ada di Buleleng.

Festival kini bukan hanya pekerjaan pemerintah kabupaten. Ada yang diselenggarakan komunitas, desa, bahkan pemerintahan di tingkat kecamatan juga punya gawe festival. Pokoknya semua berlomba-lomba membuat festival. Malahan sembilan kecamatan di Buleleng katanya akan menyelenggarakan festival masing-masing.

Gawe festival ini sebenarnya seperti pisau bermata dua. Jika festival dikonsep dengan baik, tentu berdampak positif bagi masyarakat. Pertama, seni budaya menjadi lebih menggeliat. Kedua pariwisata akan semakin bergairah. Ketiga, jika seni budaya menggeliat dan pariwisata semakin bergairah, perekonomian daerah semakin berputar karena dapat pemasukan dari pajak. Utamanya sih pajak hotel dan restoran.

Tapi jika tidak dikonsep dengan baik, atau sekadar diselenggarakan saja, ini bisa jadi masalah di kemudian hari. Festival, pekan seni, atau apalah namanya, menjadi sebuah kegiatan yang menjemukan. Itu-itu saja. Ujung-ujungnya dicap sebagai pemborosan anggaran. Boro-boro dapat pemasukan, menonton saja jadi eneg, mual dan malas.

Sambung-Menyambung tapi Sama

Sebenarnya bibit-bibit wabah festival itu sudah muncul dari tahun 2013. Buleleng Festival yang diselenggarakan pertama kalinya, berlangsung spektakuler. Buleleng Festival waktu itu melengkapi sejumlah kegiatan serupa di Buleleng, seperti pasar rakyat saat HUT Kota, Utsawa Merdangga Gong Kebyar, Pesta Kesenian Bali, juga Sail Indonesia dan Festival Lovina.

Buleleng Festival awalnya didedikasikan untuk menunjukkan potensi seni tradisi di Bali Utara yang memang beda dengan Bali Selatan. Seni tradisi Bali Utara tidak mendapat tempat yang cukup di Bali Selatan, sehingga tak dikenal. Akhirnya dibuat Buleleng Festival untuk menyediakan panggung yang layak dan megah bagi penggiat seni tradisi.

Jadi saat itu Buleleng Festival memang bukan disiapkan untuk menyajikan hingar-bingar musik modern. Tapi hakikatnya memaksa penonton menyaksikan garapan-garapan seniman asli Buleleng. Hasilnya bukan hanya spektakuler, malah menjadi pemicu lahirnya festival-festival baru.

Setelah tahun 2013, mulai bermunculan festival-festival baru. Seperti Festival Danau Buyan tahun 2014 yang didedikasikan untuk pengembangan pertanian. Festival ini kemudian bermetamorfosis menjadi Twin Lake Festival pada tahun 2015, dan masih berlangsung pada tahun ini.

Kemudian muncul festival-festival di tingkat desa seperti Festival Anturan dan Festival Tejakula. Tahun 2015 muncul lagi Buleleng Bali Dive Festival yang didedikasikan sebagai wadah pengembangan maritim dan konservasi kelautan.

Belakangan pada tahun 2016 ini, ajang festival menjadi begitu semarak. Saya bahkan kesulitan menghitung ada berapa banyak event yang tercatat dalam buklet kalender event tahun 2016. Ada Festival Baleganjur, Festival Pesantian, Mekorot Festival, Wanaralaba Festival, Buleleng Endek Carnival, dan banyak lagi event-event lainnya.

Yang paling menarik bukan saja foto juga jadwal demi jadwal. Tapi tagline dengan tema “Buleleng Enjoy the Difference”. Setelah diartikan di google translate, kurang lebih artinya “Nikmati Perbedaan di Buleleng”.

Di luar festival-festival itu, ternyata masih ada festival lain yang muncul di setiap kecamatan. Diawali dari Kecamatan Sukasada yang menyelenggarakan Gebyar Seni Budaya Sukasada (Gasebu). Kemudian Kecamatan Seririt menggelar Festival Seririt Perdana (Fesrida). Belum selesai Fesrida, Kecamatan Gerokgak menggelar Festival Budaya Kecamatan Gerokgak (Fesbuker). Sebentar lagi Kecamatan Kubutambahan akan menggelar Passbukrya. Kata itu adalah singkatan dari Pagelaran Aksi Seni Budaya Kubutambahan Berkarya.

Kabarnya Kecamatan Busungbiu juga menggelar festival serupa. Sebentar lagi Kecamatan Sawan juga digosipkan membuat festival pada bulan Oktober. Kecamatan Buleleng dan Kecamatan Tejakula? Entahlah. Sederet festival-festival itu saja sudah cukup padat. Apalagi waktunya berdekatan dengan Twin Lake Festival, Buleleng Festival, Pasar Rakyat di bulan Agustus, dan Festival Lovina.

Dengan padatnya agenda festival, pentas seni, pekan budaya, dan berbagai namanya itu, kini muncul fenomena lain. Masyarakat mulai jenuh dengan agenda yang begitu banyak. Bukan hanya karena waktunya yang saling berdekatan. Tapi kegiatannya yang nyaris mirip satu sama lain. Nyaris tidak ada bedanya. Instansi yang mengurus festival pun sepertinya kesulitan mengatur keinginan menyelenggarakan festival yang begitu membuncah.

Harus Dikonsep Matang

Festival atau pentas seni, harus dikonsep dengan matang. Harus memiliki perbedaan dengan festival satu dengan yang lain. Festival di Gerokgak, tentu harus berbeda dengan festival di Kubutambahan. Buleleng Festival tentu harus berbeda dengan Denpasar Festival atau Sanur Village Festival. Twin Lake Festival harus berbeda dengan Festival Pertanian Badung. Buleleng Bali Dive Festival juga tidak boleh sama dengan Legian Beach Festival.

Jika festival-festival itu sama, siapa yang mau nonton festival ke Buleleng? Sudah jauh, jalannya berkelak-kelok, buat mabuk, eh pagelarannya sama dengan yang ada di Denpasar. Turis entah itu domestik atau mancanegara, pasti memilih datang ke festival-festival yang ada di Bali Selatan.

Sebelum festival-festival di Buleleng yang seabreg itu dilanjutkan, ada baiknya pemerintah melakukan mapping terhadap festival dan agenda seni budaya yang ada di Buleleng. Pemetaan itu bukan hanya soal jadwal, tapi juga soal konsep. Jangan sampai festival A dan festival B sama. Jangan-jangan festival Z nanti juga sama konsepnya. Jika sama, lebih baik dijadikan satu saja.

Evaluasi Target Capaian

Selain itu festival yang sudah diselenggarakan juga harus dievaluasi target dan capaiannya. Twin Lake Festival misalnya, apa festival itu sudah benar-benar berhasil mempromosikan produk pertanian di Buleleng? Jika benar sudah, apa iya investor korporasi mau membeli produk Buleleng. Sebagai gambaran saja, Festival Pertanian di Petang, bukan hanya mendatangkan transaksi ekonomi, tapi juga kontrak jangka panjang bagi petani untuk memasarkan produknya.

Lantas Buleleng Bali Dive Festival, apa sudah berhasil sebagai ajang promosi potensi maritim di Buleleng dan ajang konservasi maritim? Kalau konservasi maritim, rasanya tidak perlu diragukan lagi. Tapi promosi potensi maritim? Mari tanyakan dengan pengusaha perikanan yang ada di Gerokgak, entah skala tambak atau skala pabrik.

Buleleng Festival, apa iya sudah memunculkan perbedaan seni budaya yang ada di Bali Utara? Apa iya seni tradisi di Bali Utara sudah benar-benar diberi tempat di panggung glamour dan megah? Atau masih tersisih di sudut? Kalau hanya menghadirkan hingar bingar musik dan seni kontemporer, sudah pasti kalah dengan Sanur Village Festival, sekian banyak jazz festival di Bali Selatan, dan pastinya kalah dengan Soundrenaline.

Lantas festival-festival di kecamatan, apa iya sudah berhasil menggairahkan seni budaya yang ada di masing-masing kecamatan? Atau hanya sekadar diselenggarakan “biar bapak senang”?

Hal yang dilakukan di Sukasada sepertinya patut diadopsi. Masing-masing desa habis-habisan pada ajang baleganjur. Pertanyaan kemudian muncul, setelah juara di sana, lalu apa? Apa bisa tampil di Buleleng Festival? Apa bisa tampil saat parade baleganjur di PKB? Tidak ada yang bisa menjawab.

Saya membayangkan seni budaya di masing-masing kecamatan, benar-benar didedikasikan untuk menggairahkan kecamatan. Seniman di masing-masing desa fokus membuat sebuah garapan, untuk menyajikan yang terbaik.

Ketika masing-masing kecamatan membuat pentas parade balenganjur, saya membayangkan pemerintah kabupaten menyelenggarakan parade baleganjur tingkat kabupaten. Juaranya berhak menjadi duta kesenian Buleleng pada ajang PKB. Dengan catatan, garapan yang sudah dipentaskan di kecamatan dengan garapan di kabupaten, tidak boleh sama.

Begitu pula dengan parade gong kebyar, yang akhirnya berujung di utsawa merdangga gong kebyar. Dengan begitu gairah berkesenian di desa semakin semarak. Garapan juga menjadi semakin kaya.  Seniman akan semangat, semangat seperti tim sepakbola menghadapi sebuah liga, agar bisa promosi ke tingkat yang lebih tinggi.

Tapi jika festival-festival dibiarkan begitu saja, tanpa ada evaluasi lebih lanjut soal target capaiannya, jangan salahkan festival yang ada di Buleleng dianggap membosankan dan buang-buang anggaran. Ingat, capaian keeberhasilan sebuah festival bukan hanya dari kuantitas kunjungan atau kuantitas perputaran uang belaka. Tapi juga kualitas dan capaian dari visi misi festival itu sendiri. (T)

Tags: buleleng festivalfestivalSeni
Eka Prasetya

Eka Prasetya

Menjadi wartawan sejak SMA. Suka menulis berita kisah di dunia olahraga dan kebudayaan. Tinggal di Singaraja, indekost di Denpasar

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
9 perempuan book launch
Essay

Still We Rise | Balinese Women Movements: 2 Empowering Projects, 21 Inspiring Women

2021 - A New Year for More Female Voices “Still I rise”. Lecturer, writer, and feminist activist Sonia Kadek Piscayanti...

by Irina Savu-Cristea
December 24, 2020

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Digital Drawing ✍️:
Rayni N. Massardi
Puisi

Noorca M. Massardi | 7 Puisi Sapta dan 5 Puisi Panca

by Noorca M. Massardi
January 16, 2021
Foto ilustrasi: Nata Kusuma
Esai

Para Pemuda Bersumpah Menjadi PNS!

Pagi ini aku buka beranda media sosialku, benar saja ucapan Selamat Hari Sumpah Pemuda sudah berkumpul di linimasa. Tak hanya ...

October 30, 2019
Ilustrasi: Cotek
Esai

Sirik dan Benci, Mungkin Tanda-tanda ODGJ

Sifat sirik dan benci mutlak dimiliki oleh setiap manusia termasuk saya. Saya pernah sirik dengan seseorang karena dia bisa melakukan ...

November 19, 2019
Acara

Cube #2 – 25 Karya Seni Visual yang Sangat Beragam

Judul Event: Cube #2Tema: DispersionWaktu: minggu/3 november 2019 - 10 November 2019 Tempat: Kulidan Kitchen Space, Desa Guwang GianyarPeserta: Dosen ...

November 3, 2019
Penulis (paling kiri) saat diskusi buku Menjerat Gus Dur di Kafe Kopling Singaraja
Ulasan

Never Ending Spirit of Gus Dur dan Upaya Mencecap Masa Lalu yang Ber(Ter)serak

Tulisan ini adalah respon akademis saya terhadap buku “Menjerat Gusdur” yang ditulis oleh Virdika Risky Utama. Ia merupakan alumnus Jurusan ...

September 14, 2020
Angkringan Brandes di Kuta. [Foto di-croping dari IG @angkringanbrandes_
Esai

Pengalihan Mata Pencarian di Masa Pandemi || Dari Karyawan Perhotelan ke Stand Angkringan

Penulis: Nesda Varicela _______ Sejak terdektesinya virus corona di Indonesia pada bulan Maret 2020 menjadi awal dimulainya perubahan. Pada tanggal ...

January 8, 2021

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jukut paku di rumah Pan Rista di Desa Manikyang, Selemadeg, Tabanan
Khas

Jukut Paku, Dari Tepi Sungai ke Pasar Kota | Kisah Tengkulak Budiman dari Manikyang

by Made Nurbawa
January 16, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Gus Bass [Foto dokumentasi penulis]
Esai

Gus Bass, Bumbu Sate dan Tempe | Catatan Orang Tua tentang Menu untuk Anak

by Gus Surya Bharata
January 17, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (65) Cerpen (149) Dongeng (10) Esai (1349) Essay (6) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (2) Khas (308) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (96) Ulasan (327)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In