23 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Opini
Foto: Mursal Buyung

Foto: Mursal Buyung

Justru Karena Lembaga Intelek, Kampus Mesti Terlibat di Dunia Politik

Made Surya Hermawan by Made Surya Hermawan
February 2, 2018
in Opini
236
SHARES

BERANGGAPAN bahwa kampus adalah sebuah lembaga independen yang tidak boleh memihak kekuatan politik memang adalah sebuah kebenaran. Namun, bukan berarti tidak ambil bagian dalam proses politik adalah sebuah permakluman. Ambil bagian tidak harus berkampanye. Tidak pula harus berpartai politik.

Politik mestinya dapat dibedakan antara politik intelektual dan politik praktis. Politik intelektual versi saya adalah memposisikan diri sebagai seorang intelektual dalam dunia politik. Menalar dan mencerna politik, dalam batas tidak menjadi anggota partai politik. Lalu, politik praktis diartikan terjun langsung menjadi anggota dan mengikuti seluruh kegiatan partai politik.

Walaupun tidak ada sekat pasti di antara keduanya. Idealnya, pilihan yang tepat untuk sebuah kampus adalah melaksanakan politik intelektual, kendati tidak dapat dipungkiri ada oknum pejabat kampus yang berpolitik praktis. Dilema memang, karena itu mungkin sebuah keterpaksaan agar program dan pembangunan kampus berjalan mulus atau mungkin itu sudah dihalalkan. Namun saat ini, saya ingin bercerita tentang politik intelektual.

Masa di mana dunia perpolitikan telah didasarkan pada kepentingan golongan atau yang lebih parah pada kepentingan pribadi sedang dialami Indonesia saat ini. Trias Politica karya John Locke dan Montesquie hanya sekadar formalitas.

Nyatanya, Lembaga Negara yang seharusnya saling kontrol menjadi bermain mata untuk mendapatkan proyek. Satu sama lain sering menyalahkan, namun tidak jarang juga menjalin kerjasama untuk mengisi rekening. Di atas meja hukum dijunjung, di bawah meja hukum dipancung. Para pemegang otoritas kebijakan saat ini memerlukan kontrol rakyat semesta.

Dalam keadaan seperti ini, masih layakkah kampus hanya diam? Masih layakkah sebuah tempat yang dihuni oleh manusia berkemampuan intelektual di atas rata-rata hanya urun angan? Saat ini, sense of belonging kampus terhadap permasalahan bangsa sedang dipertanyakan.

Kampus selayaknya ambil bagian, kemudian turun tangan. Istilah kampus merupakan rumah orang cerdas adalah julukan masa lalu. Kini, kampus mestinya berubah menjadi habitat orang peduli, orang tidak buta, dan tidak tuli. Bukan batu, yang mati dan antipati.

Momen pemilukada adalah jalan politik intelektual yang dengan mudah dapat dilalui oleh sebuah kampus. Menantang para calon kepala daerah untuk berdialog dengan mahasiswa dan dosen. Menguji visi misi, menalar program, dan mengenal pribadi. Karena yang akan dipilih adalah seorang kepala daerah. Seseorang yang akan mengelola keuangan dan menjalankan roda pemerintahan. Ini tidak sesederhana memilih Koordinator Tingkat seperti pada masa kuliah.

Ini bukan politik praktis masuk kampus, ini politik intelektual untuk mengukur kapasitas dan kualitas para calon kepala daerah. Saya rasa, para calon kepala daerah wajib ditantang, program-programnya wajib diuji, dan janji-janjinya wajib dicatat. Kalau mereka merasa mampu, seharusnya mereka tidak segan untuk menerima tantangan itu. Bukan berkampanye di kampus, sama sekali bukan. Non-atribut parpol, tentu untuk tetap menjaga casing kampus sebagai sebuah lembaga independen.

Kemudian, ketika banyak orang yang masih akan beranggapan bahwa netralitas kampus dapat terganggu, hal itu adalah sebuah kewajaran. Namun sederhananya, ketidaknetralan akan seketika muncul hanya jika yang ditantang tidak keseluruhan pasangan calon. Dalam hal ini, kampus wajib menantang semua.

Selanjutnya, jika masih saja ada anggapan bahwa hanya dengan mengundang pasangan calon kepala daerah untuk berdialong, lalu netralitas kampus akan terganggu, maka jawabannya adalah lebih baik muncul anggapan kampus tidak netral, daripada yang terpilih adalah kepala daerah yang tidak bermoral.

Dialog itu akan merekam segala bentuk diskusi dan perdebatan para calon. Juga untuk mengantisipasi potensi kebohongan. Ingat, yang menyaksikan bukanlah orang biasa. Yang bukan hanya sekadar mendengar. Bukan juga masuk kuping kanan lalu mental melalui kuping kanan lagi. Proses tersebut akan disaksikan oleh para guru besar, lulusan S-3, S-2, S-1, hingga calon S-1. Yang tentunya secara keilmuan mereka ada di atas rata-rata.

Lalu, yang lebih penting setidaknya mereka akan lebih sulit untuk dibohongi. Tentu, jika niat awal para calon kepala daerah adalah datang untuk berbohong. Hal tersebut mungkin akan jauh lebih bermanfaat daripada sekadar memasang baliho (yang jujur saja terkesan kumuh), melaksanakan pengumpulan masa, memacetkan lalu-lintas, dan mengundang kebisingan. Yang notabene toh mayoritas masa yang datang adalah masa bayaran.

Paradigma baru ini, tentu hanya akan terwujud dengan terlebih dahulu membentuk pribadi mahasiswa yang peduli politik. Mahasiswa masa kini adalah mahasiswa yang peka dan peduli terhadap sekelilingnya. IPK summa cumlaude akan kalah dengan sebuah kontribusi nyata.

Saya ingat sebuah quote dari Anies Baswedan yang kira-kira bunyinya begini “IPK yang tinggi hanya akan mengantarkan anda kepada wawancara pekerjaan, namun kepemimpinan yang akan menuntun anda menuju masa depan”. Dalam hal ini, tidak ada yang tidak penting. Keduanya memiliki porsi yang sama untuk membangun manusia yang unggul dan mencapai masa depan yang gemilang. Sehingga, mahasiswa saat ini layaknya tidak hanya terpaku dengan nilai A dan IPK cumlaude.

Mahasiswa bukan siswa. Bukan yang hanya datang, duduk, lalu kemudian pulang setelah jam kuliah usai. Kepekaan dan kepedulian tentang keadaan daerah dan Negara harusnya dipupuk, disirami, hingga tumbuh subur. Mahasiswa adalah politisi intelektual. Bukan anak SD yang menggunakan jas almamater. Bukan yang hanya mampu manut, tanpa menalar lebih dulu. Bukan juga paduan suara SETUJU, seperti kata Iwan Fals. Seharusnya.

Saya mendefinikan dengan istilah saya sendiri bahwa politik adalah ilmu kehidupan. Setiap orang seharusnya melek politik. Buta yang paling mengerikan adalah buta politik. Bagaimana tidak, suka tidak suka segala aspek kehidupan saat ini adalah hasil kebijakan politik. Dari mulai harga beras, daging, hingga harga garam.

Dari mulai bangun tidur hingga tidur lagi. Di jalan ada traffic light, produk politik. Menyebrang jalan ada zabra cross, produk politik. Makan di sebuah rumah makan ternyata harga yang dibayar melebihi nominal yang ada di daftar menu, produk politik.

Untung saja oksigen sampai saat ini belum dipengaruhi secara jelas oleh kebijakan politik. Jika iya, mungkin saat itu manusia baru akan sadar bahwa sebenarnya banyak di antara mereka yang selama ini mencoba menutup mata dan telinga dari sebuah hal besar yang menjamin kelangsungan hidup mereka.

Saya adalah seorang lulusan kampus kependidikan. Saya sering mendengar anggapan yang kira-kira berbunyi “untuk apa mahasiswa calon guru belajar politik”. Saya sangat senang mendengar istilah ini. Tentu, keinginan untuk mendebatnya juga tidak kalah besar.

Dalam benak saya, sebuah profesi yang seharusnya paling paham politik adalah guru. Sehingga, mereka dapat menularkan cara berpolitik yang baik bagi siswa-siswanya. Memang tidak ada jaminan pasti, namun kemungkinan bahwa para koruptor saat ini adalah mereka yang tidak mendapatkan pendidikan politik yang cukup ketika mereka duduk di bangku sekolah.

Lalu, ketika ada pertanyaan bagaimana caranya agar mahasiswa peka terhadap politik? Mulailah dengan mengenal politik. Sangat tidak adil ketika kita langsung membencinya sebelum kita membuka diri dan hati untuk mengenalnya. Lanjutkan dengan membaca dan mendengar. Diikuti dengan membicarakan.

Ketika kegiatan itu sudah mulai dibiasakan, kepekaan akan muncul dengan sendirinya tanpa dipaksakan. Selanjutnya, salurkan kebiasaan itu sesuai dengan passion masing-masing. Tentunya dalam koridor aktivitas positif. Ini bukan menggurui, hanya berbagi.

Terakhir, politik pantas dan layak masuk kampus. Tidak peduli apapun jenis kampusnya dan di manapun letak kampusnya. Politik masuk kampus harus dipandang dengan dengan lebih luas sebagai sebuah cara untuk membentuk manusia yang peduli dengan bangsa dan negara, cara untuk menguji para calon kepala negara atau kepala daerah yang akan memimpin, dan cara untuk menabur bibit pemimpin Indonesia di masa depan.

“Politik Indonesia sakit bukan karena sedikitnya orang baik, namun karena banyak orang baik lainnya yang hanya mendiamkan. Kalau ingin Indonesia membaik, jangan biarkan orang baik berjuang sendirian di dunia politik” -kalimat ini terinspirasi oleh Anies Baswedan. (T)

Tags: kampusPendidikanPilkadaPolitik
Made Surya Hermawan

Made Surya Hermawan

Lahir di Denpasar, 7 Oktober 1993, tinggal di Kuta, Bali. Lulusan Jurusan Pendidikan Biologi Undiksha, Singaraja, 2015. Gemar mendengar cerita politik dan senang berorganisasi. Setleah menamatkan studi pascasarjana di Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Negeri Malang, ia mengabdikan ilmunya dengan jadi guru.

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Sketsa Nyoman Wirata
Puisi

Puisi-puisi Alit S Rini | Aku dan Pertiwi, Percakapan di Depan Api

by Alit S Rini
January 23, 2021
Seni Silat Bugis Loloan
Khas

Rindu Kebangkitan Budaya Seni Silat Bugis Loloan

Seni Silat Loloan di Kabupaten Jembrana, Bali, merupakan warisan budaya dari pada datuk-datuk pendahulu yang terus diwariskan kepada generasi kemudian. ...

September 7, 2019
Esai

Para Dewa Yang Cacat

Dewa Indra disebut bahu locana, artinya bermata banyak. Banyak itu berapa, tidak dijelaskan lebih lanjut. Meski banyak matanya, Indra yang ...

June 25, 2019
Esai

Latihan Teater yang Bisa Dilakukan di Hari Valentine

Ini bulan sudah Februari. Bulan perayaan cinta. Yang dalam dunia muda-mudi dirayakan setiap tanggal 14 sebagai hari Valentine. Di hari ...

February 13, 2020
Esai

Hadiah Rancage untuk Penulis Bali – Antara Amat Senang dan Agak Malu

DIDAULAT menjadi penerima hadiah Sastera Rancage tahun 2017, saya merasakan dua hal sekaligus yang bertolak belakang. Saya merasa senang, di ...

February 2, 2018
Hard News

Nyepi Ini Tak Ada Ogoh-ogoh

Orang di Bali mungkin berpikir, perayaan ngerupuk serangkaian Hari Nyepi tahun 2020 adalah perayaan ngerupuk paling sepi. Pasalnya, saat itu ...

January 20, 2021

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Pemandangan alam di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali. [Foto oleh Made Swisen]
Khas

“Uba ngamah ko?” | Mari Belajar Bahasa Pedawa

by tatkala
January 22, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Ni Nyoman Sri Supadmi
Esai

Teknologi Berkembang, Budaya Bali Tetap Lestari

by Suara Perubahan
January 23, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (150) Dongeng (10) Esai (1355) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (310) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (97) Ulasan (328)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In