JIKA kita hendak menelusuri jejak wayang kulit style Bebadungan, maka langkah pertama yang perlu ditempuh bukanlah dengan menanyakan kapan pertama kali style ini dipentaskan? atau siapa pencetus utamanya? Sebab yang jauh lebih menggugah bukanlah penanda waktu ataupun tokoh tunggal, melainkan bagaimana perjalanan budaya di wilayah Kabupaten Badung secara kolektif mampu membentuk, mematangkan, dan akhirnya mengukuhkan style ini hingga berdiri sejajar bahkan turut memberi pengaruh nyata pada panggung pewayangan Bali secara keseluruhan.
Kabupaten Badung sendiri dikenal sebagai daerah yang kaya akan talenta seni, terutama dalam bidang Seni Pedalangan. Para Dalang di Badung memiliki keahlian yang beragam mulai dari tetikesan yang angigel, sesendon yang khas, hingga penguasaan rasa dan teknik ngantawacana yang mumpuni. Namun dalam tulisan ini, kita tidak sedang membahas kehebatan satu per satu dalangnya, melainkan hendak menelaah Style Bebadungan sebagai sebuah entitas kultural yang merepresentasikan identitas kedaerahan.
Pertama penting untuk membedakan antara style dan gaya. Style Bebadungan merujuk pada prinsip-prinsip estetika yang tumbuh dari akar budaya di Badung, ia adalah ekspresi kolektif, hasil dari dialektika ruang dan masyarakat. Sedangkan gaya dalam arti sempit lebih condong pada kepribadian masing-masing seniman dalang. Oleh karena itu, style Bebadungan adalah bingkai besar yang menjadi wadah ekspresi, sedangkan gaya adalah cara unik individu setiap dalang menghidupkannya di atas kelir.
Dengan pemahaman ini, kita akan mampu membaca wayang kulit style Bebadungan bukan sekadar sebagai wahana variasi bentuk, melainkan sebagai pancaran jiwa suatu wilayah yang telah melahirkan gaya pewayangan yang istimewa dan berkarakter kuat.
Nama “Bebadungan” sendiri menyimpan muatan geografis sekaligus identitas kultural. Ia lahir dari kata dasar “Badung” nama kabupaten yang memiliki denyut seni yang kuat serta berdampingan erat dengan kehidupan spiritual masyarakatnya. Dibingkai dengan awalan be- serta akhiran –an yang membentuk satu nomenklatur khas yaitu Bebadungan. Istilah ini tidak hanya menandai letak geografis semata, tetapi menjadi lambang jati diri yang kini dijunjung oleh dua entitas administratif Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, yang dahulu merupakan satu kesatuan wilayah.
Lebih dari sekadar sebuah penamaan, Wayang Kulit Style Bebadungan adalah prinsip estetik yang istimewa. Keistimewaannya tidak hanya terletak pada kekuatannya sebagai identitas lokal yang mengakar, tetapi juga pada kemampuannya membentuk karakter pewayangan yang khas, berdaya adaptasi tinggi terhadap penikmat, namun tetap berwatak dan bercorak.
Style ini lahir dari rahim masyarakat Badung yang terbuka terhadap dinamika zaman, tetapi tidak pernah melepaskan genggamannya pada nilai-nilai luhur budaya Bali. Di sinilah daya hidup Wayang Kulit Style Bebadungan, ia bukan sekadar prinsip pertunjukan, melainkan representasi dari semangat budaya yang lentur namun berprinsip.
Lakon Populer dalam Wayang Kulit Style Bebadungan
Wayang kulit style Bebadungan tidak hadir sebagai satu bentuk tunggal yang kaku, melainkan menjadi payung estetika bagi berbagai lakon dalam dunia pewayangan. Ia luwes, namun tetap berpijak pada karakternya yang khas. Dalam geliat panggung dan praktik kesehariannya, Wayang kulit style Bebadungan paling kentara dikenali melalui lakon Parwa atau dalam tradisi lokal kerap disebut sebagai pemarwan yang berakar kuat dari orbit epik Mahabharata.
Selain Parwa, Wayang kulit style Bebadungan ini juga mapan dalam membawakan kisah Ramayana, atau yang dalam istilah pewayangan Bali dikenal sebagai Pangramayanan. Kedua lakon ini menjadi ladang ekspresi yang subur bagi style Bebadungan untuk menampilkan kekuatan narasi, kedalaman nilai moral, dan spiritualitas, sekaligus mempertontonkan keahlian dramatik yang khas dalam balutan estetika pewayangan style Bebadungan.
Wayang Kulit style Bebadungan tidak hanya hidup dalam bentuk, namun juga bernapas dalam isi menjadi jembatan antara kisah luhur dan sensitivitas kultural masyarakat penikmat yang terus berproses dan berkembang dari masa ke masa.
Pemarwan dalam Style Bebadungan
Dalam praktik pementasan secara tradisi, Wayang Kulit Style Bebadungan dengan lakon Parwa senantiasa menghadirkan empat tungguh gender wayang sebagai instrumen iringan utama, lengkap dengan perangkat pernak-pernik panggung sebagaimana lazimnya dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali. Namun demikian, yang membedakanWayang Parwa Style Bebadungan dengan daerah lain bukan semata-mata terletak pada jumlah instrumen, kelengkapan panggung, atau pun struktur dramaturgisnya.
Secara umum, struktur alur pementasan tetap mengikuti pakem tradisi yang pada dasarnya sama, yang dimulai dengan tabuh petegak, dilanjutkan dengan tari kayonan, kemudian nyejer wayang, disusul dengan rangkaian dramatik seperti alas arum, paruman, pangkat, isen-isen, bapang delem, konflik atau siat, dan diakhiri dengan konklusi atau pesan moral.
Namun, kekhasan Wayang Kulit Style Bebadungan bukanlah sekadar variasi teknis, melainkan pancaran estetik yang menjadikannya begitu istimewa. Keistimewaan itu terletak pada beberapa elemen yang hadir dengan cita rasa yang khas dan menggugah, terutama dalam pola pengalang dan bebaturan yang menjadi ciri identitas tak terbantahkan.
Sebut saja bentuk pengalang ratu atau pengalang tualen/parekan melahirkan nuansa tersendiri yang sarat pesona. Terdapat pula gaya tutur “senuk samita” yang dilontarkan oleh tokoh prabhu dengan wibawa yang anggun serta sesendonan saat pangkat yang menciptakan atmosfer khas Bebadungan. Semua ini membentuk sebuah harmoni style yang bukan hanya membedakan, tetapi mengukuhkan posisi Style Bebadungan sebagai salah satu mahakarya pewayangan Bali yang patut dirayakan.
Melalui berbagai upaya yang konsisten Pemerintah Kabupaten Badung melalui Dinas Kebudayaan dan LISTIBIYA Kabupaten Badung, gema kekhasan Wayang Kulit Style Bebadungan terus diangkat sebagai warisan budaya yang tidak hanya layak dibanggakan, tetapi juga wajib dijaga dan dilestarikan. Program-program pelestarian, dokumentasi, hingga panggung-panggung pertunjukan menjadi bukti konkret bahwa style ini bukan sekadar warisan, melainkan denyut hidup budaya yang terus berlanjut.
Unsur-unsur khas seperti pengalang ratu, pengalang tualen, bebaturan, sedon, hinggagending angkat-angkatan menjadi elemen penting yang diwariskan dan dikembangkan. Gerakan ini telah menjadi pondasi kokoh bagi generasi seniman muda di Badung untuk melanjutkan, menggali lebih dalam, serta mengembangkan style Bebadungan dengan semangat zaman tanpa kehilangan akar tradisi.
Sang Legenda
Tokoh sentral yang tak bisa dilewatkan dalam membicarakan perkembangan dan pembakuan Wayang Kulit Style Bebadungan adalah (alm) Ida Bagus Ngurah Buduk, dalang kawakan dari Griya Buduk, Kabupaten Badung. Beliau bukan sekadar pelaku tradisi, melainkan poros estetika yang menjelma sebagai kiblat Wayang Kulit Style Bebadungan masa kini. Peran beliau dalam membumikan gaya ini tidak terlepas dari jejak pengabdiannya yang tercatat melalui dokumentasi audio, sebuah pencapaian yang tergolong langka pada masanya serta akses terhadap teknologi perekaman belum semudah hari ini.
Rekaman suara beliau kini menjadi referensi otoritatif yang acapkali dijadikan rujukan dalam pembelajaran seni pedalangan, baik secara informal maupun formal. Lembaga-lembaga pendidikan seni seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan jurusan pedalangan di Bali, hingga Program Studi Pedalangan di Institut Seni Indonesia Bali menjadikan gaya pembawaan beliau sebagai materi rujukan penting. Melalui dokumentasi tersebut, generasi muda dapat mengakses bentuk Wayang Kulit Style Bebadungan yang otentik, langsung dari sumber yang memiliki otoritas kultural.
Gaya pembawaan Dalang Ida Bagus Ngurah Buduk memang sangat khas. Selain menyajikan materi yang kontekstual dengan situasi sosial pada masanya, kekuatan utama beliau terletak pada warna suara yang memiliki vibra istimewa yang dalam, lembut, dan magis. Nuansa vokal inilah yang memperkaya dramatika pertunjukan dan memberikan sentuhan estetika tersendiri, menjadikannya inspirasi bagi para dalang masa kini dalam memperindah penampilan mereka.
Apa yang ditinggalkan oleh beliau bukan hanya jejak suara, melainkan spirit. Sebuah semangat yang terus menghidupi keberlangsungan Wayang Kulit Parwa Style Bebadungan, agar tidak sekadar dikenang sebagai warisan, tetapi terus bergerak sebagai gaya hidup budaya yang relevan, hidup, dan penuh jiwa.
Wayang Kulit Style Bebadungan bukan sekadar produk budaya daerah, tetapi sebuah entitas estetik yang hidup dan dinamis. Ia lahir dari percampuran antara tradisi yang kokoh dan inovasi yang halus, tumbuh dari denyut kehidupan masyarakat Badung yang sarat talenta seni, serta dibentuk oleh para maestro seperti Ida Bagus Ngurah Buduk yang memberikan fondasi sekaligus arah perkembangan gaya ini.
Penutup
Dalam lintasan sejarahnya, Wayang Kulit Style Bebadungan telah menunjukkan bahwa sebuah gaya bisa menjadi napas kolektif daerah, ia bukan hanya tentang teknik atau pakem, melainkan juga tentang rasa, karakter, dan kemampuan untuk menyampaikan zaman melalui simbol dan suara. Di sinilah letak keistimewaannya, ia tidak hanya bertahan, tapi juga menginspirasi, membentuk narasi baru di tubuh pewayangan Bali masa kini. [T]
Penulis: I Gusti Made Darma Putra
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis I GUSTI MADE DARMA PUTRA
- BACA JUGA: