When I was young, I did not know poetry will take me this far.
Poetry has been a part of my life, since 8 or 9. Since I was too naive to understand what poetry is.
Saya mengenal puisi sejak SD, sejak saya mengenal kata-kata. Dalam benak saya, kata-kata adalah sebuah dunia dengan berbagai misteri di dalamnya. Saya terpesona pada kata-kata. Namun saya tidak tahu, bahwa kata-kata akan membawa saya sejauh masa, sepanjang usia. Saya belum tahu makna apa-apa.
Namun semakin saya tenggelam semakin saya memendam keinginan mengetahui apa makna di balik puisi-puisi yang saya baca. Saya terbawa dunia Chairil Anwar, Soebagio Sastrowardoyo, Taufik Ismail, Rendra, hingga Putu Wijaya. Lalu sepanjang ingatan saya semasa SMP hingga SMA, saya menemui dunia jurnalistik dan teater, dua-duanya memakai kata-kata. Ketika masuk perguruan tinggi, puisi masih melekat pada saya, seolah tak mau pergi. Semakin saya menggeluti puisi, teater, dan dunia ulang alik di antaranya. Tapi sesungguhnya mengapa harus puisi. Mengapa harus puisi.
Ketika usia dua puluh tiga, saya merasa hidup saya benar-benar telah dimulai. Puisi hadir dalam konteks nyata. Kehadiran puisi telah menjadi nafas dalam diri saya, karena keyakinan pada kata-kata. Pada tahun 2008, ketika pernikahan masih belia, baru berusia satu saja, saya terpesona pada satu kata, Mahima. Mahima adalah sebuah makna, besar, dan menjadi jiwa semesta.
Mahima menjadi sebuah kata yang menjelma menjadi sebuah gerakan, sebuah keyakinan melakukan perubahan melalui kata-kata. Manusia demi manusia hadir di Mahima, menjadikan kata sebagai penerang dalam hidupnya. Tujuh belas tahun berlalu kini, Mahima masih menjadi sebuah cahaya bagi kami, bagi saya, bagi mereka, atau kita yang menjadikannya ada. Benarlah bahwa kata-kata menjadi tumpuan, menjadi harapan, sekaligus impian. Mahima bertumbuh, menumbuhkan, menyalakan cahaya-cahaya lain yang menjadi penerang bagi semesta-semesta baru. Komunitas Mahima lahir sebagai penumbuh manusia pencari makna kata. Sejak 2008 hingga kini dan nanti.

Kadek Sonia Piscayanti saat menyampaikan orasi budaya pada acara Mahima March March March yang digelar Komunitas Mahima di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Jalan Pantai Indah Singaraja-Bali, Jumat, 14 Maret 2025 | Foto: Dok. Komunitas Mahima
Saya pun mengalir. Tiada terasa tahun ini saya berusia 41, Mahima 17 tahun. Entah siapa yang melahirkan siapa. Saya hanya menemukan sebuah identitas pada kata Mahima, yang selanjutnya menjadi rumah bagi para pencari kata-kata, pencari tanda-tanya, penerka-nerka, pemburu makna. Saya menjadikan Mahima sebagai sebuah panduan saat saya kehilangan arah, memberi makna baru pada tujuan yang sama, tujuan yang berakhir pada kata-kata.
Saya menyandarkan diri pada puisi, pada kata-kata sebagai dasar kebenaran. Seperti yang disampaikan oleh Heidegger, dalam karyanya “The Origin of The Work of Art” :
poetry is the preeminent or most original form of the kind of establishment of truth. ‘The nature of art is poetry. The nature of poetry, then, is the founding of truth.’
Puisi adalah dasar sebuah kebenaran. Sementara kebenaran masih belum pernah ada finalnya. Kita mengupas makna senantiasa, bertanya-tanya, apakah arti kebenaran, dan kita mencoba sebisa-bisanya menginterpretasikan kebenaran dengan jiwa yang kita pahami.
Pada akhirnya, dalam kehidupan yang chaotic ini, saya tak hanya bersandar pada kata-kata namun pada pertanyaan mengapa. Hal inilah yang kemudian memperkenalkan saya kepada mindfulness, sebuah pendekatan pembelajaran mendalam dengan melampaui kesadaran sensorial. Pada tahun 2018, sekira 7 tahun lalu, saya menemukan diri saya adalah pembaharuan yang berulang dan bermakna baru. Saya mendalami bahwa saya tidaklah berubah namun juga tidaklah sama. Kata-kata saya bertambah, dan berlapis-lapis baru maknanya, dengan pendekatan pandangan personal saya yang makin matang di beberapa bagian dan makin chaos di beberapa bagian. Saya ingin memperbaharui versi diri dan menyandarkan diri pada pertanyaan-pertanyaan. Mengapa.
Mindfulness adalah sebuah cara pandang tentang kedalaman makna, menemukan kebaruan dalam setiap hal, mencari peluang perspektif yang segar, menautkan konteks yang relevan, sekaligus menciptakan sebuah kategori baru. Seperti puisi, mindfulness mengajarkan saya menyelami diri saya lebih mendalam, pada siapa diri saya, siapa saya sepuluh tahun lalu, siapa saya sekarang dan siapa saya sepuluh tahun mendatang. Saya pun menyusuri jejak identitas saya sebagai manusia, yang membedakan saya dengan manusia lainnya. Rasa perih dan duka, rasa bahagia, rasa cemas, rasa tanpa nama, apapun jenisnya.
Saya belajar memeluk diri saya dalam rangka menemukan siapa diri sebenarnya. Mahima menyertai saya dalam ppembelajaran ini sebab Mahima selalu menjadi rumah saya berbenah. Manusia-manusia baru selalu hadir di Mahima, bahkan kini hingga 17 tahun usianya, manusia-manusia baru makin bertambah. Yang lama masih tinggal, sebagian, masih mencari, sudah bertemu tujuan, baru belajar mendefinisikan tujuan dan beberapa sudah membangun tujuan yang kompleks. Saya belajar bahwa sayapun harus merumuskan kebaruan saya. Akhirnya pada tahun 2020, saya memutuskan makin mendalami mindfulness, poetry, narrative inquiry, self-study, dan self-inventory. Secara akademik, saya belajar tentang pertautan semua unsur ini, dan apa kelak kontribusi saya pada dunia yang saya cintai ini.
Di penghujung 2024, saya menemukan bahwa yang saya rindukan dalam setiap pertanyaan adalah identitas saya. Yang saya ingat, yang saya pelajari, yang saya selalu cari, dan saya temukan, lagi-lagi pada puisi, pada keriangan-keriangan menemukan kata-kata. Elevated meaning, enhanced awareness, self-invented. Saya merekam diri, mengapa saya tiba hingga di sini.
Pada temuan akademik saya, saya menemukan bahwa mindfulness adalah tentang penerimaan diri. Once you accept yourself, you are home.
Saya mengingat bahwa saya tidak dilahirkan tiba-tiba di ruang hampa. Saya dibentuk dengan struktur yang keras. Dan saya bersyukur seorang ibu yang kuat telah melahirkan saya. Mendidik saya dengan tangan baja.

Suasana saat menyampaikan orasi budaya pada acara Mahima March March March yang digelar Komunitas Mahima di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Jalan Pantai Indah Singaraja-Bali, Jumat, 14 Maret 2025 | Foto: Dok. Komunitas Mahima
Hampir tiga puluh dua tahun lalu, ketika saya berusia 9, saya adalah anak kecil yang ditugaskan ke pasar, hampir tiap pagi oleh Ibu saya. Ke pasar, bukan untuk hiburan tapi untuk membeli kebutuhan. Saya harus belajar menerka makna pertukaran uang, pertukaran barang, pertukaran nilai. Dalam usia belia, saya tahu, semua hal bernilai, semua hal bermakna. Saya dididik dengan keras oleh ibu saya, dan saya paham mengapa. Saya pernah membeli daging setengah ons, ya benar setengah ons, karena uang terbatas. Saya pernah membeli beras setengah kilogram, minyak tanah seperempat liter, dan membeli sayur dengan menawar.
Mengapa Ibu sekeras itu mendidik saya? Karena dia mencintai saya dan ingin saya belajar dari pasar, dunia yang keras bagi manusia belia seperti saya. Ibu saya akan marah kalau saya tidak membedakan kencur dan jahe, atau lengkuas dan kunyit, dan tak segan akan menyuruh saya menukarkan barang yang salah. Dan membawa yang benar ke rumah. Saya juga belajar menawar dengan benar, karena serupiah atau dua rupiah sangat berarti. Sedari belia juga saya tahu, tidak ada hak istimewa apapun dalam hidup saya. Semua harus diperjuangkan dengan gigih. Termasuk menakar semua dengan tepat.
Kesalahan tak dapat ditolerir, karena akan merugikan. Kerugian tak bisa dibayar karena akan berujung kerugian lain. Sebab itu, hidup saya ketat sejak kecil, saya tidak memperbolehkan diri saya berbuat salah, karena satu kesalahan akan sangat mahal belum lagi jika diikuti kesalahan lain. Saya tidak berani berbuat kesalahan apapun karena saya akan membayangkan sebuah kerugian besar yang saya tak dapat tanggung. Disiplin kuat itu yang selalu saya bawa di Mahima. Ketika saya menjadi ibu, ibu dari anak-anak saya di Mahima, saya tunjukkan bahwa tujuan berkesenian bukanlah agar terlihat gagah atau keren, tapi memperbaiki diri sebagai manusia.
Berkali-kali saya katakan kepada siapapun yang datang ke Mahima, bahwa Mahima bukan sekadar pertemuan manusia-manusia, dia adalah pertautan manusia-manusia. Pertautan sebab-akibat peristiwa, pertautan pikiran yang terus menerus ada.
Saya tidak membayangkan bahwa kemudian saat ini tujuh belas tahun setelah Mahima ada, saya masih juga menemukan diri-diri yang baru, dalam diri yang lama, masih bertumbuh dan saling memberi jeda untuk memberi makna.
Kepada anak saya Putu Putik Padi dan Kadek Kayu Hujan saya selalu berkata, nama mereka adalah sekumpulan makna-makna, yang senantiasa akan mereka upayakan ada dan terus ada. Bahwa penerimaan diri adalah yang pertama, lalu mengisi diri adalah yang kedua, dan memperbaiki diri adalah yang ketiga dan seterusnya.
Mahima menjadi rumah jiwa saya, di dalamnya, selama 17 generasi dan ratusan generasi setelah ini, akan tetap menjadi sebuah rumah tumbuh bagi jiwa-jiwa yang ingin tumbuh. Putik, kini berusia sebaya dengan Mahima, telah menjadi penyair. Kayu, meskipun baru 10 tahun, juga telah melahirkan puisi. Siapa yang mengajarkan, tak ada. Ia telah tertanam dalam dalam. Hanya perlu dilahirkan.
Rumah ini senantiasa harus ada. Bagi semua, yang terpilih, atau terkutuk. Karena betapapun, kutuk ini akan kita nikmati sebagai sebuah pilihan yang sadar.
Maka, saya merayakan kita, merayakan Mahima dengan sebuah puisi yang saya tulis dengan kesadaran memelihara kata, memelihara kita.
A Cursed Poet
Kadek Sonia Piscayanti
The curse goes like this
“words will forever haunt you, wherever you are, words will be your graveyard, for this entire reincarnation”
These words follow me wherever I go, Wherever. Whenever.
They go through my blood, my breath, my pores. My belief.
I will go through many births, many deaths, many lives in between
But the words are there, forever there
You will owe your generations the curse that will pass down through your words
In the awareness of this curse, she sat by herself again and again, breathe again and again, being a mother again and again, through many reincarnations, again and again
Now you are a mother of a family of words
Husband, a poet
Yourself, a poet
Your son, a poet
Your daughter, a poet
Your friends, your friends are all poets
Drawn by universe, you all sitting under trees, figuring out why on earth we meet again, through many reincarnations
Again and again
I met you. You are my friend, from other lives.
We have met over and over again
Do I owe you words?
Yes, bring me back stories that you borrow from me thousand years behind
You said, you are a mother of two, one is burning her own tongue to death, one is hanging herself naked. I left, I could not remember my own story from the past.
You owe me that story, please
The burdens I hold, for deaths after deaths of my loved ones. I could not bear to tell.
And I left. I met another friend. You are familiar. Do you owe me words.
Yes, I am the one whose husband is a narcissistic and always needs sex every second
The man who sniffed at every inch of my skin, and sucked my entire pores that left me dry and drained.
Can I give you my entire story?
I listened and cried, and left.
I went home, met my husband,
He is as always, sitting at the same spot, forever
I asked him, what if we are not married at all, or what if I am not your wife at all
It is not possible, he said, we will meet somehow
We will surely meet
Because we are cursed?
Because we are cursed.
And many words haunt me. There is this burning hair woman who chased me everywhere as if I owe her my hair to be burnt
There is this burning tongue man whose words burn me every time I see him
There is this water sinking mother, who drowned me over and over again
There is this too much to handle woman who thinks her life is the most miserable of all
There is too much competition of being the saddest saddest human being
As if we are not cursed at all!
Damn human, we are here because of the words!
What else do we think we are here for
Hell and heaven are slices of breath
We should have been in heaven
But hell are we here together now
Cursed poet you are, you take words personally
Too much
For too many mirrors make no better person
For this curse still has long way to endless lives and endless reincarnations
Sang Hyang Candra
Taranggana
Rikala dipa, mamadangi
Rikalaning wengi
Moon, give me light through this reincarnations
All the cursed soul will find better and better, lighter burden to bear
A cursed poet, sat by herself, in total silence, breaking her own words, again and again
She heard the curse passed down from generation to generation, that she will not be free forever
- Catatan: Orasi Budaya ini dibacakan pada acara Mahima March March March yang digelar Komunitas Mahima di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Jalan Pantai Indah Singaraja-Bali, Jumat, 14 Maret 2025