RAMEN dimsum. Lampu-lampu dimatikan di restoran serba-serbi Jepang itu seperti sebuah panggung pertunjukan. Dan mereka—para pekerja bergegas pulang. Berjalan tertunduk lesu, rasa cape barangkali telah menggulung mereka seperti ombak malam. Dingin. Senyum memang telah dimainkan seharian. Juga di dapur seperti perang samurai. Hari ini cukup ramai pengunjung.
Menyusul seorang penjaga parkir akan menutup tirai malam, Cebol namanya. Tak ada yang tahu siapa nama asli Cebol yang sebenarnya. Sejak kecil, orang-orang memanggilnya demikian. Tapi ia merasa senang saja dan tak ambil pusing gimana-gimana. Diperparah, ia juga tak mengenal siapa nama aslinya.
Kedua orang tuanya sudah meninggal sebelum ia genap berumur empat tahun. Dia anak ketujuh paling muda, dan yang tersisa di rumahnya setelah semua pergi. Ditinggal mati dan melancong. Ia tinggal seorang diri. Tak ada yang tahu juga bagaimana ia bisa hidup.
Dan kedataran hidupnya—mendepak ia tak bisa dimasukkan sebagai pegawai dengan baju yang rapi atau di dapur sebagai tukang masak. Bukan karena ia tak pandai meracik bumbu, senyumnya memang cukup berantakan untuk dilihat tamu atau bos besar.
Ini perkara senyum. Jika perkaranya memang lelaki itu tidak bisa memasak bisa diberi pelatihan sepanjang hari, tapi kalau soal senyum yang tak indah, tentu sulit diperbaiki walaupun sudah diberi pelatihan yoga sekalipun. Aneh-aneh saja syarat kerjaan akhir-akhir ini. Apalagi rahang Cebol sedikit menyon ke kanan dan giginya ompong satu di bagian depan. Kata orang-orang tak ada manis-manisnya. Dia tak masuk ke dalam kategori lelaki keren—yang pandai memasak.
Jika mengingat masa lalunya yang kecut. Beberapa tahun lalu, di suatu hari ia pernah digebuk lantaran ketahuan mencopet ibu-ibu. Sebab tak pandai berlari dan bersembunyi, ia digampar brutal oleh salah satu anggota Satpol PP di langkah ke seratus di belakang pasar.
Tuduhan telah melakukan pelecehan karena diduga menepuk pantat ibu-ibu saat hendak menarik dompet, terlontar ketika itu. Dan dua pasal menimpanya sekaligus di hadapan hakim bijaksana; pencurian dan pelecehan. Cebol di jeruji besi cukup lama.
Hidupnya memang sial di bidang percopetan barangkali sehingga ia berserah diri. Sejak itulah menerima tawaran menjadi juru parkir di bawah terik matahari di depan resto yang tak pernah ia cicipi masakannya.
Malam. Lelaki itu sekuat tenaga menarik sendiri rantai panjang seperti ia menarik motor sebagai juru parkir di sana. Setelah beres, ia melipir istirahat ke tempat kopian temannya, Maman, yang tak jauh dari restoran itu.
“Seperti biasa!”
“Mmm…” Maman menganalisis. “Ngutang?”
“Iya!”
Mereka sudah lama berteman. Satu sama lain telah saling mengenal gelagat dan isi otaknya tanpa harus saling tanya. Sudah saling mengerti dan memberi. Tanpa pamrih. Mereka sudah seperti keluarga. Sangat erat.
“Aku harus setoran!”
“Pangkas saja! Tak usah suci-suci jadi manusia. Potong sedikit, tak akan membuat bosmu jadi miskin!”
Cebol terdiam. Ia menghela nafas, “Cepat kopiku mana?”
“Tapi besok bayar, yah?”
“Ho’oh!”
Seorang perempuan bercelana sangat pendek berbaju hitam kemudian datang dan meminta dipesankan es kopi dengan tambahan toping coklat. Rambutnya halus tergurai warna hitam pekat dengan ujung rambut sedikit pirang. Tubuhnya wangi dengan dua gumpalan di dada condong ke depan. Kulitnya terawat. Bening. Menjadi pusat perhatian. Cebol mengedipkan mata berselera, dan berbisik—tak tahan melototi belahan dada dikerumuni asap vape rasa strawberry.
“Berapa harga orang itu?” tanya Cebol.
“Pangkas dulu, baru aku kasih tahu!” sahut maman.
“Ini untuk bayaran kemarin, dan ini untuk bayaran hari ini. Dan ini bayaran untuk besok!” cebol menyodorkan uang. “Berapa untuk perempuan itu?”
“Waw,” kejut Maman. “Tanya saja sendiri!”
Wajahnya seketika tawar. Birahi membuatnya semakin tolol. Aneh.
“300 ribu! Aku pernah mengawininya dua hari lalu. Enak.”
“Bagaimana caranya memesan?”
“Seperti kamu memesan kopi kepadaku!”
Cebol menarik napas sangat dalam. Menyalakan rokoknya dan sedikit minum kopi, dan menarik nafas dalam-dalam. Asap rokok dihembuskan dari moncong mulutnya yang hitam, sesekali membentuk lingkaran bolong tengah—asap ke udara. Ia berdoa pada Tuhan melalui batin paling berharap, katanya, Yaowloh sekali ini saja aku mencintai perempuan itu setelah sekian tahun ia memendam rasa pada perempuan yang, entah siapa. Tak ada yang tahu kapan terakhir ia suka pada perempuan, apalagi bercinta.
“Mbak, seperti biasa!”
“Maksudnya, Mas?”
“Jablai?”
Plak!!! Perempuan itu menampar tanpa aba-aba. Nyali seketika menciut di dalam dirinya. Cebol tersungkur ke bawah meja. Bruk! Kepalanya terhuyung dan bintang berseliweran di jidatnya setelah terpental. Menyusul es kopi tumpah di wajahnya. Naas! Nasib sial melanda lelaki itu. Malang.
“Jangan kurang ajar, ya, Mas!” Segera perempuan itu pergi dengan marah dan membanting gelas. “Edan!!” serapah perempuan itu terakhir. Gelas pecah.
Maman tertawa kecil, tapi ia segera melerai mereka. “Maafkan teman saya, Mbak. Dia sedang mabok.” Dan Maman segera berbisik, pura-pura mabok. Ayo.
Cebol segera menjulurkan lidahnya dan kemudian pura-pura pingsan di bawah meja. Birahinya turun. Dan mereka tertawa setelah perempuan itu menghilang pergi dan tak pernah balik lagi. Selang sepuluh menit, seorang polisi—diduga pacarnya datang menyodorkan pistol tanpa arah. Marah-marah. “Dimana lelaki itu?”
“Siapa?”
“Yang kurang ajar!”
“Oh sudah pergi…”
“Ke mana?”
“Baru saja ke arah timur menggunakan motor Ninja warna merah!”
Polisi itu sangat garang dan tambah kalap. Ia melengos dan menggeber motornya pergi mencari. Cebol masih dengan wajah tolol. “Dia mencariku?”
“Haha..iya. Santai saja. Semua orang bisa ditipu, kecuali Tuhan!” Maman menguatkan. “Besok aku pesankan kamu cinta melalui Go Sex!”
“Apa itu?” tanya Cebol.
“Sebuah aplikasi ajaib berwarna hijau tua. Seperti makanan bisa dipesan melalui Gofood, di aplikasi itu lebih canggih lagi bisa memesan perempuan. Asoy. “
Cebol memegang wajahnya nyeri. Es kopi di wajahnya sudah kering dilapnya dengan handuk warna kuning dekil. Ia berpikir, barangkali aplikasi itu bisa membuatnya puas soal birahi tanpa rayuan atau meminta untuk segera dimanja. Tapi, pengalaman pahit ini tak mungkin dilupanya hanya semalam. Keesokan hari, wajahnya memar dan ia sedikit meriang. Sakit rahangnya kambuh. Aduh, hyung. Kapok.
Maman pergi mengunjungi rumah dimana Cebol tinggal sebab satu minggu ia tak tampak. Di sebuah gang dengan bau tai ayam yang menguar di segala ceruk rumah tersusun batu-bata dengan tambalan triplek di tembok—dan tumpukan kardus, ia menyelinap masuk seperti ke sebuah lorong hitam kemiskinan yang membandel.
Burung dara masih kacau di atap-atap rumah dan sesekali turun mencari katel jagung di sore hari. Ada banyak botol-botol bekas di sana yang bertumpuk-tumpuk di karung-karung, dan ada banyak perempuan muda duduk-duduk di beranda rumah yang kumuh dengan tatapan genit setiap kali orang asing datang. Mereka putus sekolah.
“Mengapa kau tak ewean saja dengan orang itu?” Cebol bicara.
“Mana mereka mau, dan akupun malu memintanya. Kami, kan, tentangga!” sahut Maman.
“Haha…ya sudah, sembuhlah dulu. Nanti aku pesankan dan aku yang bayar,”
“Terserahmu saja. Tapi, tenaga perempuan waktu itu cukup kuat, ya. Aku curiga dia waria!”
“Haha…tidak. Dia hanya perempuan yang rajin pergi ke gym. Wajar kuat. Tapi aku yakin, lelakinya tak pandai di ranjang dan lemah. Emosian,” kata Maman. “Dan aku pikir, kaulah yang lebih jago dari pada polisi itu soal ranjang. Kau pasti lebih lincah. Bedilmu kan besar.”
Cebol senyum-senyum malu. Tapi tingkat rasa ingin anu-nya meningkat.
***
Setelah ia menelan banyak jamu dan obat penurun panas, dan dengan istirahat yang cukup. Kali ini ia tak lagi kurang ajar dan hati-hati menuduh perempuan bertete besar adalah seorang jablai. Dan tak aneh-aneh. Ia kembali duduk di kursi tempat yang dikhususkan Maman untuk Cebol setiap kali datang malam hari.
Mereka bercakap-cakap dengan nada rendah, bahwa mencari perempuan seperti mencari buah mangga atau buah jeruk, atau duren siap dibelah. Gampang. Sebab di antara mereka tak ingin bekerja mati-matian untuk hidup, untuk bisa mendapatkan uang dengan mudah dan banyak, keberanian melorotkan celana dalam adalah jalan ninja.
Bermodalkan merawat kulit agar putih dan sedikit meningkatkan skill merayu saja, lelaki mana yang tak tersihir untuk bermanja di dadanya sambil mengeluarkan uang berlembar-lembar?
Mungkin saja perempuan sekarang tidak berminat membanting tulang, karena mudahnya mencari kerja di negeri ini tapi gajinya sekecil titit orang abege. Tak masuk di akal. Atau memang lelaki tak banyak yang mapan untuk selera mereka sebagai suami sempurna. Untuk seorang ayah yang sempurna.
“Sebab itulah mereka membanting diri di kasur. Mengakali hidup,” kata Maman. “Barangkali, toh orang bercinta gak lama-lama amat. Paling banter lima menit. Dan yang masuk akal memang membesarkan tetek, peminatnya selalu banyak. Sudah pasti laris manis. Bencong saja laku!” lanjut Maman.
“Iya, iya! Tapi jadi kan kau pesankan aku jablai?”
“Jadi. Mau sekarang?”
“Kalau tidak keberatan.”
“Tapi. Seperti biasa..”
“Apa itu?”
“Pangkas!”
Malam mencair kental melumuri pikiran Cebol. Iblis cabul masuk ke liang anusnya di sela kentut. Deru napas mulai terdengar di mulutnya tak sabar melumat bibir. “Pilih,” kata Maman. “Mau yang mana?”
“Yang ini saja. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Pas!”
“Tapi harganya 500 rebu. Mau?”
“Tidak sanggup. Ya sudah yang ini saja kalo begitu!” Cebol menunjuk ke poto perempuan yang agak tua. Harga 200 boleh nego, bonus keluar di dalam berkali-kali. Ngeri.
“Wajahnya mirip seperti ibumu!”
“Ibuku sudah meninggal. Aku tak ingat wajahnya!”
“Becanda. Ya sudah, yang tadi saja, biar aku yang tambahi kurangnya berapa.”
Dil! Perempuan sudah dipesan, lokasi sudah dikirim. Tinggal ditunggu. Begitu canggih zaman ini. Semua hal dipermudah. Apalagi yang haram-haram. Sehingga betapa buntunya orang yang melakukan pemerkosaan, atau menjadi seorang pembegal tetek di gang sempit hingar bingar kota. Mengapa mereka tidak nge-GoSex saja? Lebih mudah. Lebih aman. Tidak perlu repot pergi ke tempat gelap.
Cebol terperanjat dari duduknya, dan mengganti gaya duduknya. Dada Cebol berdegup kencang seperti menunggu seorang kekasih lama tak bertemu. Rindu. Batinnya gugup luar biasa. Perempuan itu kemudian datang dengan motor metik.
Wajahnya ditutupi masker, tapi dada dan perutnya dibuka—erotis, dan pusar terlihat menggairahkan dengan bintik hitam bergambar love setengah menyala. Tubuhnya wangi sama seperti perempuan beberapa malam kemarin. Bedanya, yang ini ada lima tato ular di tangannya, dan kupu-kupu kecil di atas teteknya ada satu sedang terbang kesepian. Sepertinya mudah ditangkap.
“Ajaip!” lirih Cebol dengan akhiran huruf “P” bukan “B”. “Dia semakin dekat, Man. Ajip!!”
Perempuan itu menatap dan membuka maskernya dengan anggun. Ditambah nada bicaranya sehalus sutra. “Mau di mana, Mas?” tanya perempuan itu sopan. “Eh. Ini ber-satu. Atau bersatu. Hehe.”
Hening. Belum sempat dijawab, Cebol ngompol dan memeluk Maman. “Aku malu, Man!”
Perempuan itu menutup hidung dan tertawa. [T]
Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole