USAI Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Prof. Dr. A.A. Gde Bagus Udayana, S.Sn., M.Si membuka acara Layar Tugas Akhir (LATAR) #1 di Gedung Citta Kelangen lantai 3, Jumat, 17 Januari 2025, film Tung Tung Uma langsung diputar.
Film karya mahasiswa Program Studi (Prodi) Produksi Film dan Televisi, I Wayan Amrita itu mengawali acara LATAR #1 yang diikuti sebanyak 29 karya mahasiswa itu. Penonton yang didominasi anak-anak muda, mahasiswa dan siswa itu menyambut hangat penuh gembira.
Film Tung Tung Uma ini mengisahkan seorang anak laki-laki bernama Kayan yang tinggal bersama ibu dan kakeknya di pedesaan. Ia menghadapi dilema antara impian dan kerasnya realitas ekonomi keluarga.
Sawah keluarga yang menjadi tempat bermain sekaligus sumber penghidupan mereka terancam dijual karena kondisi ekonomi yang memburuk. Terlebih setelah biaya upacara kematian ayahnya menambah beban keuangan.
Bagi Kayan, penjualan sawah tersebut bukan hanya kehilangan aset berharga, tetapi juga hilangnya ikatan emosional dengan alam dan kehidupan yang selama ini ia cintai.
Refleksi dari Sebuah Perubahan di Tanah Bali
Amrita Dharma, sapaan akrabnya sengaja menyajikan film ini sebagai sebuah refleksi dari sebuah perubahan yang terjadi di tanah Bali. Di mana tradisi, alam, dan kehidupan desa bertemu dengan tekanan modernitas yang menggerus perlahan.
Lahan sawah, yang selama ini menjadi nadi kehidupan para petani dan ekosistem di sekitarnya, kini terancam oleh perkembangan infrastruktur dan pariwisata. Kondisi seperti itu, bahkan sampai di daerah-daerah pedesaan.
“Melalui narasi ini, saya ingin menangkap ironi dari kondisi masyarakat Bali yang terus menghadapi dilema antara mempertahankan warisan budaya dan tuntutan ekonomi yang semakin besar,” kata Amrita Dharma di sela-sela acara LATAR #1 itu.
Adegan dalam film Tung Tung Uma | Foto: Dok. Satu Frekuensi Films
Menurut remaja kelahiran Denpasar, 23 Agustus 2003 itu, Bali bukan hanya tentang keindahan pariwisata, tetapi juga tentang kehidupan desa yang terancam. Banyak petani Bali yang beralih dari pertanian ke sektor lain, karena bertani tak lagi menjamin kesejahteraan.
Mereka menghadapi tekanan dari kebutuhan ekonomi, ritual-ritual agama yang memakan biaya besar seperti Ngaben, dan dorongan agar anak-anak mereka mencari pekerjaan yang lebih stabil, seperti menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Di sinilah saya melihat titik kritis sawah-sawah yang selama ini menopang kehidupan masyarakat mulai dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” jelas pemain film The Seen and Unseen itu.
Bukan hanya itu, lanjut penari Kenapa Legong ini, dampaknya akan lebih besar dari sekedar hilangnya lahan sawah, tetapi kelangsungan hidup rantai makanan di sawah terancam. Salah satunya burung ruak (kurkuak) yang juga menjadi simbol dari salah satu permainan agraris anak-anak di Desa Adat Ole, yaitu Permainan Megandu.
“Burung ruak adalah penjaga ekosistem sawah, pemakan hama, namun kini populasinya merosot akibat hilangnya habitat dan penggunaan pestisida, juga penangkapan dan perburuan,” terang Ketua Komunitas Budang Badung Badung ini.
Karena itu, dalam film ini, ia ingin mengangkat pertemuan alam, budaya dan tekanan modernitas itu. Permainan tradisional Megandu yang dimainkan anak-anak di desa, meniru cara burung ruak melindungi telurnya.
“Itu adalah metafora dari bagaimana masyarakat Bali mencoba melindungi apa yang berharga bagi mereka (budaya, alam, dan identitas mereka) dari hilangnya perlahan-lahan,” papar gamblang.
Amrita Dharma menegaskan, film ini adalah panggilan untuk merenungkan bagaimana pilihan-pilihan yang dibuat hari ini, baik untuk pembangunan ekonomi maupun kelangsungan budaya, dapat berdampak pada masa depan generasi berikutnya dan ekosistem yang rapuh.
Dihantui Cuaca
Untuk pemilihan tempat syuting, Amrita Dharma mengaku sengaja memilih sawah tempat asal permainan tradisional Megandu itu, seperti di Subak Sidangrapuh, Subak Mole, Subak Sengawang dan salah satu rumah penduduk yang masih berada di lingkungan Desa Adat Ole.
Proses syuting ini dilakukan selama empat hari untuk dapat menyelesaikan semua adegan yang telah dirancang sebelumnya. Namun, sebelum itu melakukan pendekatan kepada pemilik sawah, kelian Subak, termasuk Bendesa Adat Ole.
Hal tersebut dilakukan, terkait dengan masa panen yang waktunya tidak pasti, peminjaman sawah, termasuk memohon bantuan jerami kepada para petani di sana. “Kami melakukan syuting siang dan malam yang selalu dihantui dengan cuaca, karena saat itu musim penghujan,” ujarnya.
Adegan dalam film Tung Tung Uma | Foto: Dok. Satu Frekuensi Films
Menurut Amrita Dharma, dalam proses syuting itu tak selalu mulus, terkadang pula mengalami kendala. Namun, semua itu bisa teratasi dengan baik. “Setelah melakukan proses editing, ternyata ada beberapa adegan yang perlu diperbaiki, maka syuting ulang kembali,” ceritanya.
Tokoh dan pemeran dalam Film Tung Tung ini adalah; I Kadek Yadi Mahardika sebagai Kayan, Putu Jaya Kusuma (Alit), Dek Enjoy (Pekak), Eba Ayu (Meme), Jik BGO (Bendesa Adat), Mahijasena (Meng Kuuk), Thaly Kasih (Kerkuak), Mangvi dan Dekpa serta Githa (Taluh).
Sedangkan Ni Kadek Felicia Elizabeth, Ni Made Safitri Dewi, Ni Luh Putu Vina Prasetya Dewi, Ni Putu Vika Pebiantari, 1.I Made Genta Adi Prasetya, I Lomang Criztian Suryadinata dan I Gede Yogi Nanda Waisnawa sebagai sebagai pemain Permainan Tradisional Megandu.
Film Tung Tung Uma ini diproduksi oleh Satu Frekuensi Films, Produser oleh Medy Mahasena, Co Produser Dhani Prasetyo, Line Producer oleh Ingga Adelia, Tisha Sara (Production Design), Deta N (Director of Photography), dan Mahijasena (Choreographer).
Selain itu, Dhanan (Field Sound Records), Luthfi Muhamad (Editor), Gede Bayu (Sound Designer), Made Manipuspaka (Music Composer), Andika Arya Pratama (Colorist) serta Abirama dan Adi Triana (Assistant Director).
Amrita mengaku proses pembuatan Film Tung Tung Uma ini juga didukung oleh Asa Film, Imajirent, Joy Films, Maher Film Support, Niskala Studio, PT. Langsai Titian Nusantara, Magic Post House, Disvuck Studios, Amrita Studio, Anahita Film, Sanggar Buratwangi, POLA, Restu Ibu Pictures. Mulawali Institute, Komunitas Budang Bading Badung, HMJ Televisi dan Film.
Film ini juga di sponsori oleh Bumi Bajra, Mahima Institute, Balihbalihan.com, IHKA Bali, DTW Tanah Lot, Tatkala.co, Warung Ole, Purana Suite Ubud, Ubud Hotels Association, Desa Swan Villas and Spa Keramas. Dan bekerjasama dengan SD Negeri 1 Marga Dauh Puri.
29 Karya Film
Pemutaran film bertajuk Layar Tugas Akhir (LATAR) #1 X Sinema 21 Premiere itu menampilkan sebanyak 29 karya film yang diputar secara secara beruntun. Film-film itu adalah tugas akhir mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Program Studi (Prodi) Produksi Film dan Televisi (FTV) ISI Denpasar tahun 2025 ini.
Acara berlangsung sekitar 10 jam itu, menyajikan beragam film, seperti Fiksi, Dokumenter, Video Iklan, Music Video dan Skrip Fiksi.
LATAR #1 ini layaknya menonton film di sebuah bioskop berkelas dan ternama, dengan suasana nyaman juga akrab. Penonton, didominasi anak-anak muda, setingkat SMA/SMK dan mahasiswa. Hadir pula para mitra, masyarakat seni dan tentunya para dosen di kampus seni itu.
Adegan dalam film Tung Tung Uma | Foto: Dok. Satu Frekuensi Films
Film-film tersebut merupakan karya Produksi Film dan Televisi Angkatan 2021, sebagai salah satu agenda wajib bagi mahasiswa untuk mengambil Tugas Akhir Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Project Independent.
Sebanyak 28 mahasiswa menampilkan Film Fiksi yang rata-rata dengan durasi waktu sekitat 20 – 30 menit. Film Dokumenter sekitar 15 – 24 menit, Video Iklan sekitar 1 menit per karya, dan Music Video sekitar 3-4 menit serta Skrip fiksi sekitar 90 menit.
“Acara LATAR #1 ini, kami harapkan bisa berlanjut dan menjadi wadah untuk sineas muda di kalangan mahasiswa ISI Denpasar. Layar tugas akhir yang akan dibawa terus pada angkatan selanjutnya,” kata Koprodi Film dan Televisi, Nyoman Payuyasa, S.pd, M.pd dalam laporannya.
Payuyasa menjelaskan sesungguhnya ada sebanyak 31 mahasiswa yang seharusnya membuat karya ini, namun hanya 28 mahasiswa yang berhasil screaning. Artinya ada 3 pasukan yang gugur. “Semoga mereka bangkit, setelah menyaksikan karya teman-temannya,” ucapnya.
Para mahasiswa yang menyajikan karyanya kali ini, tak terlepas dari para mitra yang memberikan spirit, mulai dari magang hingga penyajian hasil karya saat ini. Karena itu, para Mitra ini memiliki peran penting dalam memberikan bimbingan, alat, sarana dan lainnya.
“Kami para dosen telah melakukan bimbingan semaksimal mungkin, tidak hanya karya, tetapi juga attitude atau sikap. Maka progres apapun karya mahasiswa ini adalah hasil jerih payah mereka. Acara ini bukan hanya penghakiman publik untuk penghasilan karya,” ucapnya.
Dekan FSRD ISI Denpasar, Prof. Dr. A.A. Gde Bagus Udayana, S.Sn., M.Si sebelum membuka acara LATAR #1 itu menyampaikan, karya seni yang disajikan ini adalah yang terbaik dari hasil belajar dan kerja keras mereka selama belajar di FSRD ISI Denpasar.
“Saya memberikan apresiasi yang mendalam kepada para mahasiswa yang menyajikan tugas akhir ini, dan selamat sudah sampai pada acara screening ini. Ini adalah tahapan MBKM yang sangat panjang. Sekali lagi, saya apresiasi film terbaik yang sudah diciptakan ini,” ucapnya.
Prof. Bagus Udayana mengatakan, mahasiswa yang menempuh ilmu pendidikan di Prodi FTV ini mesti berbangga. Sebab, Prodi FTV ISI Denpasar telah meraih akredetasi unggul tahun 2024. “Anda harus bisa menpertahankan akredetasi unggul ini,” harapnya.
Karena itu, mahasiswa yang tamat di tahun ini, disamping mendapatlan ijasah juga mendapatkan akredetasi unggul. “Dengan begitu, mahasiswa bisa membuat rencara kerja atau usaha, dan bisa pula lanjut studi,” pungkasnya. [T]
Reporter/Penulis: Budarsana
Editor: Adnyana Ole