PADA 14 September 2008, saya menulis jejak perjalanan berjudul “Di Puncak Pengkolan Goa Gong” dimuat Bali Post asuhan Umbu Landu Paranggi di Denpasar. Sebuah jejak perjalanan yang saya lewati hampir saban hari masuk sekolah karena itulah jalur terdekat dari rumah menuju sekolah kala itu, dari Desa Adat Kutuh menuju SMA Negeri 2 Kuta di Desa Adat Kedonganan, Kuta. Saat tulisan itu dimuat bersamaan dengan HUT III SMA Negeri 2 Kuta.
Pada 3 September 2024, saya menulis jejak perjalanan berjudul “Di Puncak Tegeh Kaman” dimuat Tatkala.co. asuhan Adnyana Ole di Singaraja. Sebuah jejak perjalanan yang juga saya lewati saban hari bila ke sekolah, dari Desa Adat Kutuh menuju SMA Negeri 2 Kuta Selatan di Banjar Mumbul Desa Adat Bualu. Pada 3 September 2024 adalah HUT V SMA Negeri 2 Kuta Selatan. Namun karena Indonesia Africa Forum (IAF) digelar di ITDC Nusa Dua, HUT V SMA Negeri 2 Kuta Selatan diundur ke Jumat Umanis Waregadian, 6 September 2024. HUT V ini sesungguhnya HUT III secara luring. HUT I dan II digelar secara daring karena gering Pandemi Covid-19.
Entah kebetulan atau kebenaran, entahlah. Saya buka arsif ingatan, dua sekolah tempat saya menjalankan tugas sebagai guru membawa pengalaman serupa nyaris sama dalam bulan yang sama : September juga dalam suasana HUT kedua Sekolah di dua Kecamatan yang berbeda. SMA Negeri 2 Kuta di Kecamatan Kuta, sedangkan SMA Negeri 2 Kuta Selatan di Kecamatan Kuta Selatan. Kini, ketika memasuki September 2024 adalah bulan ke-11 saya menjadi pelaksana tugas Kepala SMA Negeri 2 Kuta yang sebentar lagi akan merayakan HUT ke-19, pada 14 September 2024. Saya tidak tahu, apakah ini kebetulan atau kebenaran. Entahlah.
Pada 3 September 2024, ketika saya menulis “Di Puncak Tegeh Kaman”, tiba-tiba saja teringat dengan Puncak Tegeh Buhu, puncak menuju Jalan Uluwatu dari arah Denpasar di depan Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang pada mulanya superkontroversial. Ingatan itulah yang menggedor-gedor saya untuk menulis jejak perjalanan berjudul, “Di Puncak Tegeh Buhu”.
Pada 1970-an, satu-satunya jalan Jalur Denpasar ke Gumi Delod Ceking adalah Jalan tembusan dari Jalan Imam Bonjol Denpasar ke Kuta masuk jalur Bandara Ngurah Rai melewati Banjar Kelan Tuban terus ke Desa Adat Kedonganan lalu Desa Adat Jimbaran selanjutnya menuju Puncak Tikungan Tegeh Sari di Kali Jimbaran terus ke Selatan hingga sampai di Puncak Tegeh Buhu. Dari Puncak Tegeh Buhu terus ke Selatan sampai di Persimpangan Nirmala kini lurus menuju Uluwatu. Bila belok kiri dari persimpangan Nirmala, pamedek akan diarahkan ke Desa Adat Ungasan, Kutuh, Kampial, Bualu, hingga Tanjung Benoa.
Para pemedek dari seluruh dunia (termasuk Bali) yang tangkil ke Pura Uluwatu kala itu, itulah jalur satu-satunya yang dilalui. Sudah menjadi konvensi, setiap pemedek sampai di Puncak Tikungan Tegeh Sari rehat sejenak sambil menghaturkan Canang Asebit Sari. Tradisi ini dapat dimaknai sebagai permakluman sekaligus permohonan izin agar dilancarkan-Nya perjalanan tangkil ngaturang sembah bakti ke Pura Uluwatu. Rehat sejenak ini juga kesempatan untuk melakukan Pranayama menarik napas kesadaran pangenteg bayu “menenangkan diri” setelah melalui perjalanan jauh bin melelahkan.
Menarik dicermati, para pamedek rehat di Puncak Pengkolan Tegeh Sari yang dalam bahasa lokal di sebut di Kali. Pertama, di Kali ada Pura Tegeh Sari menjadi penanda memasuki Gumi Delod Ceking sekaligus permohonan izin agar perjalanan Tirtayatra dilancarkan-Nya. Lagi pula, di Tegeh Sari cukup tersedia parkir dalam kapasitas terbatas, dengan pemandangan biru Pasih Jimbaran dan Bandara Ngurah Rai serta Suung Prapat yang menghijau. Ngulangunin pisan, apalagi sambil menikmati prasadam tipat be sudang saur sambel. Hmmm. Makan untuk menikmati rasa dan rasanya nikmat penuh syukur.
Kedua, Puncak Tegeh Buhu dilewati para pamedek yang tangkil ke Pura Uluwatu. Pun, orang-orang dari Gumi Delod Ceking akan melewatinya ketika ke Peken Jimbaran, ke Peken Kuta, atau ke Peken Payuk di Pasar Badung. Sungguh Puncak Tegeh Buhu menjadi saksi bisu penuh wibawa, karismatis. Mataksu sesuai dengan namanya. Tegeh Buhu adalah puncak kesunyian, puncak kesepian, puncak keheningan. Di Puncak keheningan, pemedek diuji kesabaran dan kesadarannya untuk mendengarkan suara hati yang secara geografis merupakan hamparan tanah berbatu sebagai karang bengang. Karang bengang adalah karang embang sebagai petunjuk jalan menuju Pura Uluwatu agar tetap di ulu hati dalam kesadaran Padma hrdaya.
Ketiga, Puncak Tegeh Buhu menawarkan panorama yang superindah kala pagi bila cuaca bagus. Langit biru tanpa awan sangat menawan. Gugusan gunung dari Gunung Batukaru hingga Gunung Agung menjadi lukisan Ilahi yang menakjubkan. Pasih Jimbaran yang membiru dan Prapat Suwung yang menghijau adalah paduan warna yang menyejukan bin mendamaikan. Pesawat terbang yang mendarat dan lepas landas di Bandara Ngurah Rai ibarat anak-anak Bali yang bermain layang-layang memuliakan Rare Angon berkearifan agraris. Sungguh anak-anak yang riang gembira dalam Merdeka Belajar. Bila malam Purnama, terang bulan dirayu para bintang bak artis menggoda pertapa. Sungguh godaan yang indah. Pertapa sejati pastilah dapat melewati godaan artis hedonis metropolitan.
Keempat, pada dekade 1980-an ketika Gubernur Bali dijabat Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, Tegeh Buhu adalah jalur hijau dilarang membangun. Sejak 1990-an, papan tulis jalur hijau itu sudah tiada. Kini Tegeh Buhu bukanlah puncak kesepian, melainkan puncak kemacetan dengan kebisingan lebih-lebih siang hari terik matahari. Umpatan pun sering terdengar di tengah indisipliner pengguna jalan di Puncak Ketinggian Tegeh Buhu. Anehnya, wong sunantara ‘bule-bule’ makin binal dan liar melanggar karena mencontoh local boy sebagai parekan dalem. Ini adalah bagian produk gagal berguru menyambut kemajuan. Dari mana mulai perbaikan ? Bahwa manusia sebagai buana alit adalah reprentasi dari buana agung, maka perbaikan dimulai dari kepala. “Perang dan damai bermulai dari pikiran. Pikiran itu di kepala”, demikianlah wejangan kaum bijaksana.
Begitulah, di Puncak Tegeh Buhu, setelah dulu lama kesepian tak dilirik orang, kini memperlihatkan wajah yang paradok. Kenangan sepi kini tersisa hanya saat Hari Suci Nyepi dalam sehari. Itu pun kalau ada kesadaran kontemplatif. Jejak pencari keheningan dan penutur kejernihan kian terkontaminasi dengan wajah garang. Beton-beton kaku telah memerkosa Ibu Pertiwi di karang bengang, mengusir para pengangon bercapil klangsah. Menjauhkan anak-anak Delod Ceking dari permainan layang-layang yang membuat angan mereka melayang menuju langit biru kedamaian. [T]
BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT