SETAHUN yang lalu saya menulis sebuah artikel di media on line berjudul“Ke mana guru penggerak bergerak?”. Artikel itu terinspirasi dari obrolan saya dengan seorang birokrat di amben rumah sambil minum kopi. Sebagai Kepala Sekolah yang sedang melaksanakan Program Sekolah Penggerak (PSP), memang tidak banyak guru penggerak di sekolah yang saya pimpin. Hanya ada seorang guru penggerak.
Maklumlah, sekolah baru, gedung baru, dan guru baru yang belum memenuhi syarat untuk melamar menjadi guru penggerak. Guru yang bisa melamar menjadi guru penggerak minimal masa kerjanya 5 tahun dan usia maksimal 50 tahun. Aturan usia maksimal itu, kini sudah direvisi setelah diprotes oleh PGRI dan memberikan peluang guru di atas usia 50 tahun melamar menjadi guru penggerak.
Menyandang predikat guru penggerak mendapat privasi lebih dalam bergerak dan belajar. Ia belajar dan bergerak dari mana saja, kapan saja, dengan siapa saja. Dari hotel ke hotel, dari sekolah ke sekolah, dari bandara ke bandara dalam provinsi dan luar provinsi. Pergerakan mereka baik daring dan luring dibiayai oleh negara melalui APBN dan terkadang mengganggu proses belajar di satuan administrasi pangkal (satminkal)-nya sendiri bahkan menimbulkan kecemburuan sosial.
Selain itu, ia juga mendapat free pass untuk menjadi Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, berpeluang pula menjadi pengajar praktik, fasilitator, dan instruktur. Posisi strategis itu membuat kasta baru guru di sekolah. Sebelumnya, di sekolah ada guru PNS dan PPPK yang disebut guru ASN, guru kontrak Provinsi/Kabupaten dan guru kontrak sekolah disebut guru non-ASN. Asal muasal guru penggerak dapat berasal dari ASN dan non-ASN melalui proses seleksi dan diklat daring selama 6 – 9 bulan tanpa meninggalkan tugas.
Sesama guru penggerak memiliki perlakuan dalam pergerakan yang sama tanpa memandang asal-usul status. Namun demikian, kasta guru itu mencerminkan perbedaan hak yang melekat tetapi dengan kewajiban yang sama. Fenomena ini menjadi benih-benih disharmoni di satuan pendidikan sebagai bentuk ketidakadilan sesama guru (penggerak) yang sama-sama bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa.
Terlepas dari hal itu, saya selalu mendorong guru-guru muda untuk mengikuti seleksi Program Guru Penggerak (PGP) karena itu juga menjadi indikator penilaian dalam akreditasi sekolah dan survey lingkungan belajar (surlingjar) dalam Asesmen Nasional dengan luaran Rapor Satuan Pendidikan. Harapan lain dari kehadiran guru penggerak di sekolah adalah mempercepat proses tansformasi pembelajaran (pendidikan) dengan kemampuan guru yang berdiferensiasi sebagai mana juga karakteristik peserta yang unik dan beragam.
Dengan kemampuan intelektual guru penggerak yang di atas rata-rata, ia potensial disetarakan dengan balian katakson ? Sesuai dengan namanya, guru penggerak idealnya bergerak dari dalam ke luar. Dari dalam satminkal ke luar satminkal. Ia boleh bersinar di mana-mana tetapi tidak lupa bersinar di dalam satminkalnya seperti halnya balian ketakson ’dukun bertaksu’ di Bali.
“Sebagai balian ketakson, ia bekerja berdasarkan ilham dan menguasai guna, gina, dana”, kata Kadek Satria sekretaris LP2M UNHI Denpasar. Seorang balian ketakson yang menguasai guna, ia menggunakan metode ilmiah dalam menjalankan profesi secara logik, bukan magic. Acap sudah disebut, ilmu itu seperti pisau bermata dua : mencelakakan dan memuliakan. Arie Wibowo mempopulerkan melalui lagu Madu dan Racun.
Balian juga begitu, ada balian pengiwa beraliran kiri dan balian penengen beraliran kanan. Keduanya juga punya guru yang berbeda. Namun, seorang balian ketakson adalah orang yang arif bijaksana memperlakukan guna ilmu sebesar-besarnya untuk memuliakan kemanusiaan. Ia mengedepankan dharma kawiwekan (kebijaksanaan), bukan dharma kawisesan (kesaktian). Begitu pula seyogyanya guru penggerak dengan semangat wiweka jaya sadhu (arif bijaksana dalam memenangkan persaingan berdasarkan kebudayaan bangsa).
Balian ketakson idealnya juga melaksanakan swadharma berdasarkan tuntutan gina secara profesional. Seorang profesional bertindak sesuai dengan etika profesi berdasarkan kode etik. Mendahulukan keselamatan pasien dengan mengerahkan segala daya upaya profesi bila perlu berkolaborasi dengan sesama balian saling menguatkan. Demikian juga hendaknya guru penggerak tetap berpijak pada etika profesi di satminkalnya masing-masing tanpa menolak bersinar ke luar.
Inilah yang disebut konvergensi oleh Ki Hadjar Dewantara. Dalam konteks ke-Bali-an, Prof. Ida Bagus Mantra menyebut sebagai manusia Bali mesti mengenali dirinya dengan sadar untuk membangun kreativitas. Kuat ke dalam tanpa tabu menerima pengaruh luar asalkan sesuai dengan kepribadian bangsa selaras dengan kearifan lokal Bali.
Balian ketakson yang bekerja berdasarkan guna dan gina pasti akan menghasilkan dana. Proses yang benar tidak akan mengkhianati hasil. Guna dan gina yang benar akan menghasilkan dana yang benar. Dana yang dihasilkan dengan benar pasti “masari” sebagai representasi dari hasil kekuatan logis keilmuan (pikir) dan integritas profesi yang dilakoni secara berkesadaran.
Kata Einstein, pusat gravitasi kesadaran manusia adalah hati. Di hati pula pusat cinta kasih. Kerja-kerja pendidikan yang dilakoni guru (penggerak) seyogyanya memberikan perhatian pada tumbuhnya kesadaran dari hati yang nekeng tuas. Jangan sampai guru penggerak bersemangat di luar dengan alasan untuk mendapatkan cuan lebih padahal mendapat gaji bulanan di satminkalnya.
Di tengah sengitnya persaingan dengan budaya materialistik hedonis instan, tantangan menjadi guru (penggerak) sebagai balian ketakson tak dapat dipungkiri. Bukan berarti tidak dapat tercapai. Tantangan inilah yang seyogyanya dijawab oleh guru penggerak dengan segala kelebihannya. Jika itu bisa dilakoni guru penggerak, ia telah berhasil menyinari dirinya (satminkalnya) yang vibrasinya juga dirasakan di luar satminkalnya. Inilah yang disebut guru penggerak ketakson. [T]
BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT