UBUD Food Festival (UFF) 2025 kala itu tengah diselimuti mendung tipis saat aroma rempah perlahan menguar dari panggung Teater Kuliner, menyusup lembut di antara kerumunan yang antusias. Di sanalah, dalam gemuruh sendu cuaca dan hangatnya uap dari panci, sebuah kisah tentang rumah dan warisan terhidang: Pindang Ayam Gunung khas Pangandaran. Hidangan yang tampak sederhana, tapi sarat cerita, disajikan oleh tangan terampil seorang chef muda berbakat—Abya Khalida.
Hari itu, Minggu, 1 Juni 2025, adalah hari terakhir dari perhelatan UFF 2025—festival kuliner prestisius yang kini memasuki tahun ke-10 penyelenggaraannya. Dan pada hari itu, Chef Abya membagikan sepenggal warisan dari dapur keluarganya lewat sesi cooking demo.
Biasanya, kata pindang mengingatkan kita pada olahan ikan. Tapi, di berbagai penjuru Nusantara, istilah pindang memiliki banyak rupa dan rasa. Hari itu, Chef Abya Khalida membawakan salah satu variannya yang tak kalah menggugah, yaitu Pindang Ayam Gunung Pangandaran—olahan ayam khas Jawa Barat.
“Ini resep keluarga,” ucapnya dengan sorot mata berbinar. “Lebih tepatnya, resep nenek. Di rumah, selalu dimasak saat hari raya. Hari ini, saya ingin membagikannya untuk UFF 2025.”
Dengan caranya yang lugas dan bersahaja, Abya membawa para penonton menyelami dapur masa kecilnya. Ia memulainya dengan menyiapkan bumbu satu per satu: kencur, kunyit, jahe, cabai, serai—lalu diblender menjadi satu adukan harum yang menyimpan rahasia rasa. “Bumbu adalah jiwa dari masakan,” katanya, sesekali tersenyum kepada penonton yang terpukau.

Chef Abya Khalida dari Yummy IDN di UFF 2025 | Foto: tatkala.co/Dede
Salah satu elemen paling esensial dalam Pindang Ayam Gunung khas Pangandaran ini adalah kehadiran kecombrang—bunga merah muda yang menjulang dari batang tinggi, mekar liar di hutan, pinggir jalan, hingga pekarangan rumah—ia menyimpan aroma yang elegan dan rasa yang tajam. Kecombrang bukan sekadar pelengkap, ia adalah roh dari rasa. Harumnya yang asam segar berpadu dengan kuah rempah, menciptakan dimensi rasa yang sulit dilupakan.
“Barangkali tak banyak yang tahu kecombrang,” ujar Abya sambil mengangkat bunga itu ke udara, memperkenalkannya kepada penonton seperti memperkenalkan tokoh penting dari masa lalu. Bagi masyarakat di beberapa daerah, kecombrang adalah rahasia dapur yang diwariskan secara turun-temurun—digunakan dalam sambal, tumisan, hingga sup. Tapi dalam pindang ayam ini, kecombrang bukan hanya penambah aroma dan rasa, melainkan penanda identitas.


Chef Abya Khalida memasak bersama salah satu pengunjung | Foto: tatkala.co/Dede
Abya Khalida bukan chef biasa. Ia adalah creative chef di Yummy IDN—sebuah platform digital kuliner yang menyuguhkan resep, tips memasak, dan segudang inspirasi bagi para pecinta dapur. Abya juga pernah menempuh pendidikan di bidang Culinary Management di IMI Switzerland dan pernah mengasah keahliannya di Nobu Dubai—restoran fusion ternama yang masuk dalam daftar Michelin Guide. Dari situ, gaya memasaknya menjadi unik—perpaduan Barat dan Jepang, ia sulam dengan akar rasa Nusantara.
Namun hari itu, tak ada teknik rumit, tak ada pula plating kontemporer yang menjulang di atas piring-piring mewah. Hanya semangkuk sup ayam yang hangat, gurih, ringan, dan harum—dihidangkan apa adanya. Rasanya mampu membangkitkan kenangan, aroma dapur yang akrab, dengung obrolan keluarga, dan suasana rumah yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatan. Dan itu saja, sudah lebih dari cukup bagi Chef Abya.

Chef Abya Khalida dari Yummy IDN di UFF 2025 | Foto: tatkala.co/Dede
“Apakah kalian mencium aromanya?” tanya Abya saat kuahnya mendidih sempurna dan harum rempah-rempah mulai menari di udara. Para penonton mengangguk, sebagian memejamkan mata—seolah pulang ke dapur masa lalu mereka sendiri.
Salah satu penonton bahkan sempat naik ke atas panggung, membantu Abya menyiapkan bumbu dan mengaduk panci. Ada juga permainan tebak gambar bahan makanan, yang turut mencairkan suasana dengan gelak tawa. Sebuah sesi memasak yang tak hanya memanjakan lidah, tetapi juga menghangatkan hati.

Ice breaking | Foto: tatkala.co/Dede
Begitu masakan selesai dan api dimatikan, aroma rempah yang telah berpadu sempurna menyebar ke seluruh penjuru panggung. Kuah kekuningan mengepul pelan, membawa serta wangi serai, kencur, dan kecombrang yang menyeruak lembut namun tak bisa diabaikan. Abya tersenyum puas, sorot matanya berbinar seperti seseorang yang baru saja mempersembahkan kenangan paling berharganya.
Penonton yang semula duduk santai mulai bergerak, berdiri, lalu membentuk barisan. Ada semacam kegembiraan kecil yang meluap dalam gerak-gerik mereka—campuran rasa penasaran, lapar, dan kerinduan akan sesuatu yang sederhana namun akrab.

Para penonton mengantre untuk Ayam Pindang Gunung khas Pangandaran | Foto: tatkala.co/Dede
Wajah mereka berseri, berharap mendapat giliran lebih awal. Anak-anak muda, ibu-ibu, wisatawan asing—semuanya berdiri dalam antrean yang penuh harap. Mereka tahu, yang akan mereka cicipi bukan sekadar sup ayam. Tapi suapan pertama dari cerita yang telah dimasak dengan cinta dan diwariskan dengan kenangan.
Namun sayang, ayamnya ludes lebih cepat dari yang diduga. “Maaf ya, ayamnya sudah habis, tinggal supnya saja,” kata Abya sambil tertawa kecil. Serentak penonton berseru, “Yahhh…”

Para penonton mencicipi Ayam Pindang Gunung khas Pangandaran | Foto: tatkala.co/Dede
Tapi, itu bukan masalah bagi sebagian orang di sana. Bahkan hanya supnya saja sudah cukup membawa mereka pada perjalanan rasa yang jauh dan dalam. Dan bila ingin mengulanginya di rumah, tinggal buka Yummy IDN—di sana terdapat berbagai resep dan tips memasak yang inspiratif. Dalam setiap mangkuk Pindang Ayam Gunung khas Pangandaran hari itu, yang tersimpan bukan hanya rasa, tapi warisan. Karena makanan, ia seperti rumah, selalu tahu jalan pulang ke hati yang rindu dan perut yang lapar. [T]
Reporter/Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole