12 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Satire Visual Wayan Setem

HartantobyHartanto
May 11, 2025
inUlas Rupa
Satire Visual Wayan Setem

I Wayan Setem, "Kapitalosen 2", Mix Media, Sampah Plastik dan Bubur Kertas

KARYA patung Wayan Setem bertajuk Kapitalosen. Istilah ini dicetuskan oleh sejarawan lingkungan Jason W. Moore yang mengkritik Antroposen dengan mengalihkan fokus dari manusia secara keseluruhan ke kapitalisme sebagai sistem historis yang mendorong kerusakan lingkungan. Jika Antroposen menunjukkan jejak lingkungan manusia, Kapitalosen menggarisbawahi premis ekonomi dan politik dari krisis iklim saat ini, yang terkait dengan perampasan kolonial jangka panjang dan eksploitasi ‘alam murah’.

Perspektif ini, merupakan pengejaran keuntungan dan pertumbuhan kapitalisme yang tiada henti. Selain itu, mengharuskan eksploitasi sumber daya alam, tenaga kerja murah, dan tanah. Pada sisi lain, perluasan industri, ekstraksi bahan bakar fosil yang tak terkendali, dan komodifikasi alam bukan sekadar aktivitas manusia, tetapi keharusan ekonomi menurut logika kapitalis. Kerangka pikir Kapitalosen, menyoroti bagaimana struktur kapitalisme melanggengkan kerusakan lingkungan melalui ketidaksetaraan ekonomi dan kekuatan perusahaan.

Persoalan kerusakan ekologi di Bali, tandas Wayan Setem. tidak hanya terjadi atas reaksi aktivitas perubahan alam, melainkan juga disajikan dengan desakan kapitalisme. Hal ini menunjukkan titik utama kerusakan lingkungan bukanlah suatu yang terjadi begitu saja atau sebuah kecelakaan belaka, melainkan kesengajaan kapitalisme. 

Karya  Setem, “Patung 2 Babi,” ini memang dapat dianalisis melalui lensa Kapitalosen, yang menyoroti kapitalisme sebagai pendorong utama kerusakan lingkungan. Patung ini, dengan detail yang rumit dan pola-pola kecil di seluruh permukaannya, mencerminkan kompleksitas dampak kapitalisme terhadap lingkungan.

Pola-pola tersebut dapat diinterpretasikan sebagai representasi dari jaringan eksploitasi sumber daya alam, tenaga kerja murah, dan tanah yang saling terkait. Babi dengan fitur yang dilebih-lebihkan, seperti mata besar dan moncong yang menonjol, mungkin mengkritik sifat kapitalisme yang serakah dan tidak terkendali.

I Wayan Setem, “Mengeringkan Tradisi”, Instalasi Mix Media

Dalam konteks Bali, patung ini juga dapat merefleksikan bagaimana kapitalisme telah memengaruhi ekologi lokal. Desakan kapitalisme, seperti pembangunan pariwisata yang masif dan eksploitasi sumber daya alam, sering kali mengabaikan keseimbangan ekologi dan budaya lokal. Dengan demikian, karya ini tidak hanya menjadi kritik terhadap kapitalisme global tetapi juga terhadap dampaknya yang spesifik di Bali.

Melalui perspektif Kapitalosen, “Patung 2 Babi” dapat dilihat sebagai pengingat visual akan bagaimana struktur kapitalisme melanggengkan kerusakan lingkungan, baik secara global maupun lokal. Karya ini mengundang kita untuk merenungkan hubungan antara kerakusan ekonomi dan kehancuran ekologi.

Seperti kita ketahui, dalam seni rupa, estetika berfokus pada keindahan dan pengalaman visual. “Patung 2 Babi” dapat dianalisis dari segi bentuk, tekstur, dan komposisi. Misalnya, apakah patung ini menggunakan teknik cor bahan barang bekas? Bagaimana penggunaan ruang dan volume dalam karya ini? Apakah patung ini memiliki elemen yang menarik perhatian, seperti proporsi yang dilebih-lebihkan atau detail yang rumit? Semua ini berkontribusi pada pengalaman estetis penikmat

Sementara itu, pendekatan Semiotika mempelajari tanda dan simbol pada karya seni. Dalam konteks ini, babi dapat dilihat sebagai simbol kerakusan atau konsumsi berlebihan. Detail pada patung, seperti ekspresi wajah atau posisi tubuh, mungkin menyampaikan pesan tertentu tentang sifat manusia atau kritik terhadap kapitalisme. Interpretasi ini bergantung pada hubungan antara bentuk visual dan makna yang ingin disampaikan oleh perupanya.

Seni rupa, juga dapat dianalisis berdasarkan konteks sosial, budaya, dan sejarah. “Patung 2 Babi” mungkin mencerminkan kondisi lingkungan atau ekonomi di Bali, seperti dampak kapitalisme terhadap ekologi lokal. Dalam hal ini, karya seni menjadi medium untuk menyampaikan kritik sosial atau refleksi budaya. Misal kita menggabungkan beberapa pendekatan ini, kita dapat memahami “Patung 2 Babi” sebagai karya seni, tidak hanya memiliki nilai estetika – tetapi juga makna simbolis dan relevansi kontekstual. Oleh karenanya, perkenankan saya memberi istilah ‘satire visual’ pada karya tri matra Wayan Setem ini.

I Wayan Setem, “Kapitalosen 2”, Mix Media, Sampah Plastik dan Bubur Kertas

Yang cukup menarik perhatian saya, adalah karya trimatra Wayan Setem yang bertajuk “Mengeringkan Tradisi”. Karya trimatra ini menonjolkan esensi seni tiga dimensi, dimensi panjang, lebar, dan tinggi – yang memungkinkan penikmat mengapresiasi bentuk dari berbagai sudut pandang. Sebagai karya trimatra, objek tersebut tidak hanya berdiri sebagai gambar datar, melainkan mengukir ruang dan volume yang membuat interaksi visual menjadi lebih intens dan mendalam.

Karya “Mengeringkan Tradisi”  ini memadukan objek-objek tradisional dan modern yang dihadirkan dalam format trimatra, yakni sebuah instalasi tiga dimensi yang mengajak penikmat untuk menyaksikan dan mengeksplorasi ruang dari berbagai sudut. Secara visual, karya ini menampilkan beberapa elemen utama: Hanger (gantungan baju) dan topeng tradisional yang berwarna putih dan dari hidung ke bawah berwarna lain, serta helai rambut hitam panjang yang tergantung pada gantungan baju tersebut.

Topeng-topeng dengan aneka ragam ekspresi itu, menjadi simbol dari kekayaan budaya serta dinamika upacara atau ritual masa lalu. Sedangkan rambut yang panjang dan hitam melambangkan keberlangsungan, kenangan, atau bahkan penanda waktu yang terus berjalan, dan menghadirkan suasana magis. Sedangkan objek ‘hanger’, yang lazim terlihat dalam lingkungan urban dan rumah tangga modern, berperan sebagai ikon modern yang sangat kontras dengan nilai-nilai dan elemen tradisional yang diusung oleh karya tersebut

Penempatan hanger dalam karya ini seakan mengkritik dominasi budaya konsumer dan industrialisasi yang cenderung “mengeringkan” tradisi — yaitu mengikis keaslian, kedalaman spiritual, dan keramah-tamahan nilai-nilai lokal yang pernah hidup melalui ritual, kesenian, dan ekspresi budaya yang lebih alamiah. Dengan demikian, hanger muncul sebagai representasi visual dari penjajahan modernitas yang menekan dan mengubah tradisi menjadi sesuatu yang datar dan terstandardisasi.


Karya ini terdiri atas 23 unit sculptural yang masing-masing memiliki bentuk hitam melengkung dengan tekstur yang kuat, menyerupai rambut atau bulu. Tekstur semacam ini memberikan nuansa alamiah dan dinamis, seolah-olah setiap unit memiliki “kehidupan” tersendiri. Aksen emas berupa band yang menghiasi basis silinder tiap unit menambahkan elemen kemewahan dan keagungan. Warna emas sering diasosiasikan dengan nilai-nilai spiritual dan simbolisme keabadian dalam berbagai tradisi. Hingga, hadirnya elemen tersebut bisa menimbulkan ‘pembacaan’ mendalam mengenai identitas budaya (yang sedang di keringkan) atau mistisisme absurd dalam karya tersebut. Bentuk yang bersifat elongasi memberikan kesan gerakan yang terhenti, menciptakan ketegangan antara kekakuan dan fluiditas. Ini bisa mengundang penafsiran bahwa Wayan Setem ingin menyajikan persoalan ‘mengeringkan tradisi’ lewat ‘satire visual’.

Menurut interpretasi saya, karya Mengeringkan Tradisi ini mengundang kita untuk merenungi bagaimana nilai-nilai serta ekspresi budaya yang telah lama hidup dan berkembang kini tampak mengalami “pengeringan” atau penurunan esensi. Secara konseptual, istilah “mengeringkan” bisa dilihat sebagai metafora yang tajam—menggambarkan proses di mana tradisi yang dulu kaya warna, ritual, dan dinamika kini tersaji dalam bentuk yang tampak tereduksi, terfragmentasi, atau kehilangan taksunya. Karya ini sedang mengkritisi arus modernisasi yang sering kali mengikis dan mengubah nilai-nilai budaya tanpa memberikan ruang bagi upaya regenerasi dalam pemahaman makna.

Saya yakin, karya ini tidak hanya sebuah pameran estetis untuk konsumsi visual di era modern – namun masih ada kemungkinan untuk menghidupkan kembali kenangan dan makna tersebut secara autentik. Dengan demikian, karya yang bisa dikategorikan eco art  ini tidak hanya bersifat dekoratif, melainkan juga merupakan undangan untuk dialog mendalam mengenai relevansi budaya di tengah globalisasi dan modernitas .

Jika hendak memadankan kreatifitas ‘eco art’ Wayan Setem, maka saya anggap kekaryaan dan gagasan Setem berdekatan dengan pematung Inggris, Michelle Reader. Kreatifitasnya juga berorientasi ke ekologi. Ia acap berkarya dengan bahan-bahan yang didaur ulang dalam menciptakan patung-patung figuratif yang unik. Tema utama karya Michel adalah alam dan manusia. Sama seperti Setem, selain mengedepankan proses kreatif yang inovatif, karya-karya Michelle Reader juga kerap mengangkat narasi tentang kritik sosial terhadap kebiasaan konsumtif, pemborosan dan kerusakan alam oleh ulah manusia.

Michelle, dengan menggunakan bahan yang berasal dari limbah industri dan everyday waste – tidak hanya menciptakan objek estetis, namun juga menyisipkan pesan penting. Pesannya, mengenai bagaimana setiap material memiliki potensi untuk diubah menjadi karya seni yang bernilai. Sama dengan karya Setem, patung-patung Michell juga memberikan pandangan kritis tentang bagaimana masyarakat modern melakukan perusakan pada alam, serta menghasilkan limbah dalam jumlah besar.

I Wayan Setem, “Kapitalosen” 1, Mix Media, Sampah Plastik dan Bubur Kertas

Pendekatan kontekstual dalam karya Setem maupun Michelle juga menarik untuk diperhatikan. Sering kali, material yang dipilih memiliki hubungan langsung dengan subjek atau klien yang diwakili, menambahkan lapisan personalisasi dan kultural pada patung-patung mereka. Hal ini membuat setiap karya, tidak hanya sebagai pernyataan estetika, tetapi juga sebagai refleksi dari identitas dan hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Karya Michelle Reader maupun Setem, dengan demikian, menjadi jembatan antara keindahan visual dan pesan-pesan mendalam tentang tanggung jawab kita terhadap alam dan sumber daya yang semakin terbatas.

Lebih lanjut, saya tertarik menilik karya dwi matra Wayan Setem, yakni karya lukisnya yang bertajuk Tetes air kehidupan. Karya lukis berukuran 160 x 140 cm berbahan Akrilik di atas kanvas ini merupakan karyanya yang dibuat tahun 2023. Karya Setem ini, menurut saya  memiliki beberapa kemiripan dengan karya-karya Marc Chagall, terutama dalam hal penggunaan warna yang intens dan elemen simbolik yang kaya. Berikut beberapa poin perbandingan antara keduanya: Seperti Chagall, Setem menggunakan palet warna yang vibran untuk menciptakan atmosfer yang mendalam dan emosional pada karyanya. Misalnya, dalam karya Setem terdapat figur yang meneteskan cairan biru dan elemen api yang mengandung nuansa mistis.

Chagall juga terkenal dengan paduan warna cerah yang menciptakan dunia surealis, sekaligus menyampaikan kehangatan dan keajaiban yang terasa hampir seperti mimpi. Kedua seniman sangat mengandalkan simbolisme untuk menghadirkan narasi yang lebih dari sekadar visual. Pada karya Setem, elemen air seringkali menjadi metafora untuk kehidupan, transformasi, dan keseimbangan antara dinamika dan ketenangan. Marc Chagall, di sisi lain, menggabungkan elemen-elemen dari cerita rakyat, kenangan masa kecil, dan identitas kultural—sebagaimana terlihat dalam lukisan-lukisannya yang memadukan figur terbang, hewan, dan latar surealis. Meskipun keduanya mengusung unsur spiritual, Chagall lebih kental dengan nuansa nostalgia dan warisan budaya, sementara Setem menawarkan pendekatan yang lebih kontemporer dan filosofis.


Teknik ekspresif yang diterapkan oleh keduanya juga menambah dimensi emosional dalam karya mereka. Setem dengan sapuan kuas yang kuat dan lapisan tekstur memberikan kesan dinamis dan penuh gerakan, sedangkan Chagall dikenal dengan goresan lembut yang membangkitkan rasa khayalan dan keajaiban. Perbedaan teknik ini mencerminkan latar belakang budaya dan periode yang berbeda, namun sama-sama mengajak penikmat seni merasakan emosi melalui visual.

Pada intinya, meskipun terdapat beberapa kesamaan dalam penggunaan warna, simbolisme, dan penciptaan suasana magis, karya Setem dan Marc Chagall tetap berkembang dari konteks dan pengalaman yang berbeda. Karya Chagall sangat dipengaruhi oleh identitas budaya, kenangan masa kecil, serta cerita rakyat yang kental, sedangkan karya Setem cenderung mengangkat tema-tema kehidupan modern dengan sentuhan filsafat mendalam tentang dualitas dan transformasi.

Pada karya ini, Setem menggunakan teknik ekspresif dengan sapuan kuas yang tegas dan lapisan tekstur yang bervariasi, sehingga menghadirkan kesan gerak dan hidup. Teknik impasto – pengaplikasian cat secara tebal pada kanvas, memberikan dimensi yang nyata dan menonjolkan kekhasan setiap detail tetesan. Pendekatan ini tidak hanya menambah kedalaman visual, tetapi juga mencerminkan dinamika alam yang terus berubah, mengingatkan kita bahwa hidup adalah rangkaian momen yang saling terhubung melalui ritme waktu dan pergerakan.

Dalam konteks budaya dan filosofis, Tetes Air Kehidupan menyarankan gagasan bahwa sumber kehidupan tidak hanya hadir secara fisik melalui air, melainkan juga identik dengan perjalanan pencarian makna dan keseimbangan batin. Karya ini sejalan dengan tradisi pemikiran Timur yang menekankan keharmonisan antara alam dan manusia. Dengan menggabungkan unsur alam dan teknik modern, Setem berhasil menyampaikan pesan kritis tentang pentingnya menjaga keseimbangan – baik dalam konteks lingkungan maupun dalam kehidupan spiritual dan emosional manusia.

Lantas apa itu pesan kritis Setem? Air dalam karya ini tidak hanya mewakili vitalitas dan pembaruan, tetapi juga dapat dilihat sebagai metafora dari sumber daya yang sangat berharga namun kerap dieksploitasi. Di banyak destinasi pariwisata, terutama yang kaya akan keindahan alam, air sering kali menjadi komoditas yang dikelola secara intensif, kadang hingga pada titik kelangkaan. Dengan menghadirkan tetes air sebagai pusat simbolik, Setem mungkin mengajak penikmat untuk merenungkan bagaimana sumber-sumber alam—yang seharusnya menopang kehidupan—bisa tergerus oleh praktik industri (akomodasi?) yang tidak berkelanjutan.

I Wayan Setem “Tetes Air Kehidupan”, 2023, Acrylic on Canvas, 140 x 160

Mari kita perhatikan dengan baik, teknik penggunaan warna dan tekstur dalam karya ini menonjolkan dualitas antara keindahan alam yang alami dan tekanan komersial yang mencoba mengambil alih. Latar belakang dengan nuansa hangat dapat mewakili dinamika modernitas serta eksploitasi ekonomi, sedangkan tetesan air yang murni dan berkilau berfungsi sebagai pengingat akan esensi kehidupan yang seharusnya dilestarikan. Interpretasi ini menyiratkan bahwa di balik gemerlap industri pariwisata, terdapat realitas yang harus diwaspadai—yakni kerusakan terhadap lingkungan dan hilangnya keseimbangan alam, atau kelangkaan air dikemudian hari.

Melalui simbol dan komposisi visual yang kaya, karya ini juga dapat diartikan sebagai sindiran terhadap industri pariwisata yang kerap mengutamakan keuntungan ekonomi di atas keberlanjutan ekologis. Pemanfaatan sumber daya alam, seperti air, hanya sebatas simulakrum jika dibandingkan dengan betapa esensialnya alam tersebut bagi kehidupan. Dengan demikian, kritik yang dilontarkan tidak hanya menyoroti masalah lingkungan, tetapi juga kecenderungan konsumerisme berlebihan yang sering tampak dalam pembangunan dan pengelolaan akomodasi pariwisata yang kurang bijak.

Setem mungkin juga mengajak penikmatnya merenungkan berbagai aspek kehidupan modern, seperti hubungan manusia dengan alam, tantangan keberlanjutan, dan nilai-nilai spiritual yang seringkali terpinggirkan oleh kemajuan ekonomi. Dengan demikian, membaca karya Tetes Air Kehidupan sebagai suatu bentuk kritik halus terhadap industri pariwisata, khususnya pada dunia akomodasi, adalah salah satu pendekatan interpretatif yang valid. Pendekatan ini menawarkan wawasan tentang bagaimana eksploitasi sumber daya alam demi keuntungan komersial bisa mengeringkan “tetes air kehidupan” yang esensial bagi keberlangsungan hidup dan lingkungan. Wayan Setem, memang piawai menggagas ‘satire visual’. [T]

  • Sejumlah referensi diambil dari sejumlah sumber

Penulis: Hartanto
Editor: Adnyana Ole

  • BACA JUGA
‘Semiotika Senirupa’ Ardika
‘Tangis Alam’ Agus Murdika
Orkestra Warna Wayan Naya
Dewa Soma Wijaya, Penjaga Budaya Lama
Kosa Poetika Senirupa Anak Agung Gede Eka Putra Dela
Trimatra Galung Wiratmaja
Selilit: Perlawanan Simbolik Ketut Putrayasa
Memorial Made Supena
Tags: I Wayan SetemKomunitas Galang KanginNeka Art MuseumPameran Seni RupaSeni Rupa
Previous Post

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

Next Post

Enggan Jadi Wartawan

Hartanto

Hartanto

Pengamat seni, tinggal di mana-mana

Next Post
Refleksi Hari Pers Nasional Ke-79: Tak Semata Soal Teknologi

Enggan Jadi Wartawan

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Krisis Literasi di Buleleng: Mengapa Ratusan Siswa SMP Tak Bisa Membaca?

by Putu Gangga Pradipta
May 11, 2025
0
Masa Depan Pendidikan di Era AI: ChatGPT dan Perplexity, Alat Bantu atau Tantangan Baru?

PADA April 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh laporan yang menyebutkan bahwa ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng,...

Read more

Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

by Karisma Nur Fitria
May 11, 2025
0
Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

PEMALSUAN kepercayaan sekurangnya tidak asing di telinga pembaca. Tindakan yang dengan sengaja menciptakan atau menyebarkan informasi tidak valid kepada khalayak....

Read more

Enggan Jadi Wartawan

by Edi Santoso
May 11, 2025
0
Refleksi Hari Pers Nasional Ke-79: Tak Semata Soal Teknologi

MENJADI wartawan itu salah satu impian mahasiswa Ilmu Komunikasi. Tapi itu dulu, sebelum era internet. Sebelum media konvensional makin tak...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co