DI satu gedung Gereja hiduplah seekor burung yang bahagia. Ia tidur di tempat yang nyaman dan sering keluar bermain dan cari makan dan saat sore hari di ranting matoa ia hinggap dan bernyanyi bersama teman-teman. Ia punya nama Gery si Burung Gereja. Gery hidup bersama sahabat terbaiknya–Yanti si burung yakti dan Lado si laba-laba.
Gery—burung yang bertubuh kecil, paruhnya hitam, dan runcing, dan berbulu abu-abu bintik hitam. Ia hidup di salah satu Gereja Stasi dari Paroki St. Bonifasius-Ubrub.
Ia termasuk burung jenis kecil. Ia sebangsa dengan burung psek dan burung wobiwle dan burung yakti.
Ia suka bunga yang airnya seperti gula punya manis, misalnya bunga kembang sepatu dan bunga benalu dan bunga anggrek. Ia juga suka makan serangga: belalang dan kupu-kupu dan capung.
Gery punya mama yang buatkan sangkar untuknya, sarang itu terbuat dari daun rumput kering; sarang itu terletak di bubungan atas Gereja. Saat musim hujan, sarang itu tak terkena air hujan; di malam yang dingin sarang itu bikin hangat tubuhnya
Kini Gery sudah besar. Ia bisa cari makan sendiri dan bermain, dan ia sendiri bisa buat sarang. Ia tak mungkin lagi tinggal di Mama punya sarang. Mama pasti akan bertelur dan eram dan tetas lagi.
Gery bikin sarang sendiri. Ia bikin dari bahan yang Mama dan teman-temannya biasa pakai untuk bikin sarang.
Ia bawa daun rumput kering dan ia bikin sarang. Pertama ia bikin—tapi tak jadi. Ia bawa rumput kering satu-satu dengan paruh dan ia taruh di celah balok. Setelah rumput cukup untuk bikin sarang, ia mulai merangkai sarang. Sarang sudah jadi tapi belum berbentuk seperti yang mama buat.
Ia minta bantu sama Mama. Tapi Mama bilang, ia tak bisa bantu karena ia sedang menjaga telur yang akan tetas.
Ia mencoba buat lagi. Lalu sarangnya sudah mendekati sempurna seperti Mama punya sarang. Tapi sarang dibongkar oleh Petrus, petugas kebersihan Gereja.
Ia tanya-tanya dalam hati, “Sa minta bantu sama siapa e? Atau sa pindah tempat saja ka?”
Gery masih berpikir.
“Ah sa ingat, sa punya teman Yanti, ia bisa buat sarang!”
Gery terbang ke tempat Yanti tinggal. Yanti tinggal di gedung sekolah yang lebih besar dan gelap. Ia bertemu banyak burung yakti yang hidup di situ. Ia tak mungkin masuk di gedung yang gelap. Gery punya mata tidak bisa lihat di dalam gelap.
Gery kas kode kepada Yanti dengan berciut. Lalu Yanti dengar Gery punya suara, lalu keluar dan bertemu sahabatnya.
Dari gedung itu, Gery dan Yanti terbang pergi dan hinggap di ranting pohon durian yang kuat dan berlumut, yang berdiri tak jauh dari gedung sekolah itu.
Gery mulai bicara, “Sobat, ko bisa bantu sa ka?”
“Aduh bagaimana e, nanti sa lihat dulu kawan!” Tapi setelah ia pikir-pikir, Yanti bilang, “Kawan, sa mau bantu ko apa?”
Gery berterus terang kas tahu Yanti untuk membantunya buatkan sarang.
Yanti bilang, “Kawan sa bisa bantu ko kasi tahu cara dan bahan untuk bikin sarang seperti yang kami, para yakti buat. Tapi ingat, jangan kas tahu ko punya mama atau ko punya teman-teman yang sebangsa!”
Yanti kas tahu bahan untuk bikin sarang dan ia kas tahu cara bikin sarang yang baik dan benar. Ia bilang bahwa lumut kering dan geta gomo, itu bahan yang bagus untuk bikin sarang; dan cara buatnya, bikin satu tumpukan dan kas bundar di tengah dan tempel pakai geta gomo; geta gomo sebagai pengganti yakti punya air liur.
Lalu Gery terbang kembali ke gedung Gereja. Ia buat sarang dengan bahan dan dengan cara yang Yanti kas tahu dan kas ajar. Ia bikin sarang dengan baik dan benar. Gery punya sarang yang baru berbentuk bulat.
Usai bikin sarang, ia mengundang kedua sahabatnya, Yanti dan Lado, dan teman-teman lain dan keluarga burung gereja. Mereka bikin acara. Mereka menari. Mereka bernyanyi, dan setiap pengunjung boleh melihat dan mencoba tidur di Gery punya tempat tidur baru.
Semua peserta pesta sudah melihat dan mencoba. Kini yang terakhir adalah Gery punya mama. Ia melihat Gery punya sarang. Anehnya, ia tidak mencoba seperti yang lain. Ia melihat saja dan pergi terbang tanpa pamit. Mama tak suka Gery punya sarang. Ia marah. Setelah semua tamu pulang Mama kas rusak Gery punya sarang.
Mama bilang, kita burung gereja punya aturan, tak boleh meniru bangsa burung lain punya cara buat sarang. Mama cakar dengan jari kecilnya dan dengan paruh runcingnya bongkar satu demi satu Gery punya sarang sampai tak satu helai daun pun yang ada.
Lalu Mama mengusir Gary dari tempat itu; dan Mama bilang, “Mulai sekarang, ko bukan lagi sa punya anak!”
Gery punya hati seperti batu dapat belah. Di dalam dia punya tenggorokan macam pas makan keladi bakar baru ta’sangkut.
Gery putus asa. Ia sudah tak punya cara lagi untuk bikin sarang. Ia pun sudah tidak diterima lagi oleh mama dan burung sebangsanya.
Gery terbang pergi ke tempat Yanti tinggal dan dia menceritakan nasibnya.
Yanti bilang, “Ah sudah ko tinggal dengan sa di sini!”
Sementara waktu Gery tinggal bersama Yanti, ia belajar buat sarang; ia belajar terbang tinggi seperti burung yakti; ia belajar menyesuaikan diri di dalam gelap.
Satu hari, Gery duduk pada dahan pohon nangka dan pikirannya jauh melayang. ia pikir masa kecilnya; Mama tutup ia dengan sayapnya kala dingin di malam hari; dan Mama bawa makanan di siang hari kala ia lapar, ia menyuap dengan paruhnya; ia merindukan mamanya; tapi ia tak mungkin pergi ke sana. Kalaupun pergi, ia pasti rasa diri sebagai burung asing.
Gery bilang dalam hati, “Biar sudah, sa diterima atau tidak yang penting sa pergi lihat Mama!”
Ia pamit dengan Yanti lalu ia terbang pulang ke gedung Gereja.
Dalam perjalanan pulang, Gery bertemu Lado, sahabatnya. Ia menceritakan nasibnya kepada Lado. Lado dengar curhatan Gery.
Lalu Lado bilang, “Sobat, ko jangan sedih seperti itu!” Lado menghiburnya.
Kemudian Lado menceritakan Bapa punya kisah:
“Dulu saya punya bapa pernah datang buat sarang di Gereja. Ia buat sarang dengan sangat indah. Ia anyam tempat tidurnya dari air liur. Bapa bikin sarang buat ia tidur dan sebagai jerat buat kupu-kupu dan tawon dan ulat yang akan jadi makanannya.
Ia hidup tak susah: ada tempat yang bagus dan tersedia makanan. Tapi ia tak mau tinggal di situ. Ia tak suka dengan debu dan tak suka dengan anak-anak kecil yang sering pegang lidi kas rusak tempatnya dan dimangsa cecak. Lalu ia berpindah dan bikin sarang di pohon nangka. Bapa bilang, “Ah, sa pindah saja dan sa buat rumah di tempat aman!”
Ia pergi mengajak juga nenek dan tete dan keluarga sebangsa laba-laba.
Tapi ia tak tahu bahwa di pohon nangka itu ayam jago punya tempat tidur. Jago suka sekali makan serangga: belalang dan kupu-kupu dan laba-laba. Daun nangka juga biasa kas kotor laba-laba punya sarang. Daun nangka yang tua dan kuning biasa jatuh dan ta-gantung di laba-laba punya rumah. Daun nangka itu bikin berat laba-laba punya atap rumah. Daun itu juga buat laba-laba punya rumah roboh: kas putus laba-laba punya air liur yang menjadi penyangga buat rumah.
Lalu Bapa terikat oleh air liurnya sendiri. Ia punya jari yang seperti jarum itu tak kuat merobek sarangnya yang tebal. Ia jatuh bebas. Ia jatuh seperti ranting kayu nangka kering. Bunyi jatuh itu bikin ayam jago kaget. Ia kepakkan sayap dan lompat di udara seperti bola yang ta’pantul.
Jago itu kembali mendarat dan hendak lari. Tapi matanya menangkap sesuatu ada bergerak-gerak di dalam bungkusan putih.
Ia tak jadi lari. Ia menuju bungkusan putih itu. Ia lihat baik-baik dan ia bilang, “Ah ini, makanan yang sa paling suka!”
Dengan ia punya cakar yang tajam dan kuat ia merobek Bapa punya sarang. Lalu ia kas arah paruhnya dan tusuk kas remuk kepala dan kas robek Bapa punya perut yang buncit dan ia kas masuk ke dalam mulut dan telan.
Tapi secara ajaib Bapa selamat dari si jago. Yang si jago makan itu belalang yang terjerat di bapa punya sarang. Saat bapa punya sarang jatuh Bapa ta’gantung di salah satu dahan kayu nangka dengan dia punya air liur.
Keluarga dan teman-temannya dan saya punya nenek menganggap Bapa sudah mati. Karena mereka sudah lihat si jago makan Bapa. Ketika Bapa kembali mereka tidak menerima dia.
Tetapi Bapa tetap hidup bersama mereka meski mereka tidak menerima keberadaannya. Hanya satu laba-laba yang menerima Bapa: ia yang percaya sama Bapa, ia yang mencintai Bapa; dan itu saya punya mama. Setelah Bapa hidup bersama Mama, dan Mama melahirkan saya dan saudara-saudara baru mereka menerima Bapa kembali sebagai bagian dari mereka.”
Lado bilang, “Bapa juga pernah bicara di Gereja itu ada satu tempat yang bagus dan nyaman. Sa kas tahu ko, tapi ko jangan bilang bahwa Sa yang kas tahu e.”
Lalu Lado kasih bingkisan kecil yang terbuat dari air liurnya yang seperti benang. Di dalam bingkisan itu ada batu hitam bulat kecil. Ia bilang, “Sobat bawa ini barang, yang akan bikin ko mahir buat sarang, dan benda ini juga yang akan melunakkan ko punya mama pu hati dan ko pu teman-teman sebangsa punya hati; sehingga mereka bisa menerima ko kembali sebagai bagian dari mereka; tapi ingat batu ini ko jangan kasi lihat siapa-siapa; sama ko punya mama juga tidak.
Gery dapat kas tahu tempat yang aman dan dapat kasih batu ajaib. Ia akan bikin sarang di tempat aman itu. Tapi ia minta bantu kepada Yanti bikin sarang. Ia belum yakin dengan kesaktian benda ajaib itu.
Lalu Yanti buatkan Gery punya sarang di Gereja. Ia buat sarang dari lumut kering. Ia lapisi lumut kering dengan air liur. Ia ambil lumut dari pohon-pohon dan dinding gua. Yanti punya air liur itu buat lumut melekat seperti lem. Ia buat sarang pas di cela Yesus punya kepala yang bermahkota duri dan kayu salib.
Usai rangkai sarang, Gery taruh batu kecil pemberian Lado di dalam sarang. Batu itu secara ajaib bikin Gery punya sarang seperti Mama punya sarang. Ia buat Gery mahir bikin sarang.
Usai membantu Gery, Yanti hendak pamit dan pulang ke gedung sekolah. Tapi Gery bilang, “Kawan, ko su bantu sa buat sarang dan ko capek, jadi istirahat dulu beberapa hari baru pulang!”
Yanti ikuti permintaan Gery, ia tinggal tiga hari dengan Gery di sarang yang baru mereka buat.
Di tempat yang mereka buat sarang, Maria, seorang anak kecil biasa datang berdoa dan bernyanyi buat Tuhan.
Baru beberapa hari saja tinggal, Yanti merasa bosan hidup di tempat yang terang dan ada keributan.
Yanti tak suka Maria punya suara; ia punya suara bikin Yanti punya telinga gatal. Ia punya telinga lebih kenal teman-teman punya suara. Ia kembali ke tempat yang lebih aman dan nyaman. Ia kembali tetapi tidak ke gedung sekolah. Ia pindah tempat dari gedung sekolah—ia buat sarang di dalam lubang gua gelap. Ia bilang: “Saya lebih cocok tinggal di sini!”
Gery tak punya sahabat lagi. Ia punya teman-teman yang datang buat sarang di Gereja tak cocok tinggal di gedung Gereja. Mereka tak suka suara manusia dan tak suka terang dan tak suka diganggu.
“Ah ini, burung gereja bikin kotor saja di bubungan gedung gereja,” kata Petrus sambil bersihkan. Ia kas arah sapu ijuk yang diikat dengan karet ban hitam yang dibelah pada ujung bambu sepanjang tiga meter. Ia bongkar buang sarang burung gereja; sarang burung gereja yang terbuat dari daun rumput kering. Di sarang itu ada sisa kulit telur putih yang sudah seperti kerikil dan ada banyak bulu burung gereja: ada bulu yang halus dan bulu yang dari sayap dan bulu yang dari ekor.
Petrus rajin membersihkan sarang burung dan sarang laba-laba dan debu. Yang ada di bubungan. Yang ada di balok. Yang ada di papan. Yang ada di tiang. Yang ada di ventilasi gereja. Yang ada di Yesus punya kepala.
Gery kehilangan sarang. Setiap kali ada perayaan besar ia punya sarang dibongkar, dibuang dan dibakar.
Tapi Gery ingat Maria pernah bernyanyi: “Burung-burung pun buat sangkar pada Pokok Anggur”.
Ia tetap buat sarang di gedung Gereja. Ia buat sarang di tempat yang Yanti buat; di celah kepala Yesus dan kayu salib. Di situlah tempat yang nyaman buat Gery.
Ia bikinkan sarang buat burung gereja yang lain. Ia bikin dengan cara yang Yanti kasi tunjuk dan dengan bantuan batu ajaib ia bikin banyak sekali sarang.
Meski Petrus sering kas rusak sarang, ia tetap bikin sarang di atas Yesus punya kepala.
Ia juga kas tunjuk burung gereja yang lain cara bikin sarang yang baik dan bagus dan kas tahu bahan yang pakai untuk bikin sarang.
Dari tempat itu telah lahir banyak burung gereja. Burung gereja yang di mana pun ada gedung Gereja: di kota atau di kampung atau di dusun. Mereka berkembang dan jumlahnya semakin bertambah banyak.
Hanya Gery—burung gereja satu-satunya yang tak pernah pindah tempat. Ia pergi cari makan sampai malam dan ia tetap pulang ke sarang. Ia pergi bermain dan hujan ia pulang ke sarang. Ia tak pernah terusik oleh Maria punya suara doa dan nyanyian.
Saat Maria bernyanyi, ia pun menciut seakan bernyanyi bersama Maria memuji Tuhan. [T]
Keterangan:
- Yakti: burung camar
- Psek: burung pipit
- Wobiwle:
- Gomo: sukun
- Sa (saya)
- Ko (kau)
- Pu (punya)
- Su (sudah)
Semografi, 2025
Penulis: Teddy Koll
Editor: Adnyana Ole