MALAM ini adalah malam yang sama, yang mengerogoti setiap sel, berdenyut. Malam yang sama, dengan bintang di kejauhan. Berkerlip di antara awan tipis tertiup angin. Ini adalah malam yang sama dengan lolongan anjing. Tak ada cerita yang bisa diceritakan, tak ada kisah yang perlu dikisahkan.
Dalam layar 6 inchi, seorang lelaki bicara dengan lelaki lain, tentang hidupnya, tentang kisahnya, tentang kesibukannya. Berganti perempuan lain bercerita tentang dirinya dengan ceritanya. Berganti orang yang lain dengan cerita lain. Berganti orang lain dengan kisah lain. Berlipat-lipat saling tindih menindih. Dari kemarin, hari ini hingga besok. Penuh cerita tentang orang ini dan kisah tentang orang itu. Sesekali berganti tentang gosip negara, aib pemerintah, romantisme sejarah, dan omong kosong masa depan.
Sesekali berganti fatamorgana harapan, berganti ilusi kemakmuran, berganti celoteh keadilan, berlipat-lipat saling melipat. Diceritakan orang ini, dilanjutkan orang itu, diinginkan orang ini, ditolak orang itu. Cerita diceritakan, kisah dikisahkan, diucapkan berulang-ulang, menjelma celoteh sumbang memenuhi hari.
Orang bicara pencapaian, bicara keberhasilan, bicara kegagalan, bicara kejatuhan, bicara kebangkitan. Bicara pagi di siang hari, bicara siang di malam hari, bicara pagi di malam hari, lipat-melipat, tindih-menindih saling timpa, saling jejal.
Sementara kulit perlahan terkelupas, meninggalkan tubuh yang menghidupinya. Cahaya kian memudar, napas kian pendek dan jejalan cerita kian mejemukan.
Apa pertanyaan yang perlu ditanyakan? Jawaban hanya celoteh sumbang dari serangkaian lipatan cerita yang terus diceritakan.
Malam ini adalah malam kemarin, malam yang sama. Dengan lolongan anjing, bintang di kejauhan, awan tipis dan layar 6 inchi penuh cerita. Cerita yang diceritakan berulang-ulang, malam ini adalah malam kemarin.
Seseorang berbaring dalam kedinginan kamar, menyusun rencana untuk pagi hari nanti. Menyusun rencana dengan rapi, dengan detail, rencana untuk setiap detik, setiap menit, setiap jam, dengan rapi. Menyusun rencana dengan rapi. Namun hidup tak membiarkan rencana itu berjalan sesuai rencana yang telah direncanakan.
Orang lain di kamar yang lain menghempaskan tubuhnya di kasur. Coba menarik dirinya dari kekacauan yang disuguhkan hidup sepanjang hari tadi. Kekacauan yang tidak diinginkannya. Membenamkan diri pada lelap yang coba untuk dimasuki, lelap yang dalam tanpa dasar. Lari dari kekacauan yang disajikan. Namun hidup tak membiarkan dia semudah itu terkubur dalam lelap.
Malam ini adalah malam yang sama, malam yang lahir dari himpitan informasi yang menjejal. Malam yang dibangun oleh celotehan sumbang yang berputar dan menggema menyesakkan dada. Celotehan tentang ini, tentang itu, tentang mereka, ceolotehan yang menyesakkan.
Namun malam ini adalah malam yang masih bisa aku nikmati, masih hidup untuk bisa melaluinya. Bukankah masih hidup berarti masih baik?
Dan hidup hanya perjalanan kesendirian, perjalanan diri menyusuri setapak berlumpur yang pada setiap harinya akan dibukakan oleh hidup.
Berencana? Hanya milik keluarga yang dipaksa mempercayai rencana di bawah pengawasan babinsa. Mereka membuat seolah diri memiliki kuasa untuk membuat rencana, berencana, yang pada kenyataannya tidak.
Malam ini adalah malam yang sama, seperti kemarin. Bintang yang sama di kejauhan sana, lolongan anjing yang sama dan awan yang sama. dan malam yang sama untuk merencanakan esok. Esok yang direncanakan malam ini, adalah esok yang lebih baik daripada esok yang direncanakan malam kemarin yang menjadi tadi pagi malam ini.
Manusia berencana, hidup menentukan.
Hujan turun malam ini, awan berhasil menjaga kandungannya untuk melahirkan. Dia menutup kerlip bintang. Akhirnya ada yang bisa dilahirkan kelabu awan, hujan. Anak mahal yang selalu coba digugurkan oleh manusia yang tidak ingin rencananya hancur, lewat pawang, lewat laser.
Rencana selalu menjadi orientasi, padahal itu hanya rencana.
Lalu berdoa setiap hari, setiap menit, setiap detik hanya untuk memohon rencana diwujudkan. Rencanaku, rencanamu, rencana kita, rencana kami, dan luput pada hidup yang memiliki kuasanya sendiri.
Apa yang akan terjadi jika hidup tidak seperti apa yang direncanakan?
Apa pertanyaan yang perlu ditanyakan? Jawaban hanya celoteh sumbang dari serangkaian lipatan cerita yang terus diceritakan.
Hidup memiliki kuasanya, berkuasa pada setiap diri yang merasa memiliki rencana akan diri, akan hidup. Walau pada kenyataanya tubuh ini, diri ini hanya bisa merencanakan. Dan lupa bahwasanya seonggok daging ini hanya pertarungan mati-lahir-mati-lahir,yang berlangsung pada setiap detiknya.
Malam ini adalah malam yang sama seperti malam kemarin, ketika hidup coba direncanakan dan diberangus oleh hidup itu sendiri. Karena rencana hanya rencana, hidup yang menentukan.
Ada kemeja yang disiapkan, kemeja yang licin oleh setrika. Ada celana wangi yang tersedia. Ada sepatu mengkilap yang berubah menjadi cermin, yang siap sedia melangkahi hari. Itu semua, mereka semua siap, disiapkan dalam rencana. Siap sedia untuk menghadapi pagi dengan serangkaian rupa penghakiman. Siap sedia.
Namun hidup berencana lain.
Rencana hanya rencana, hidup punya rencananya sendiri.
Terhisaplah pada kasur, hingga jumawa tak menghinggapimu. Terlelaplah hingga sadar, rencana hanya rencana, dan harapan yang ingin digapai lewat setiap rencana menampar diri. Hadir untuk sekedar mengingatkan, hidup yang menghidupi bukan dalam kuasa kepemilikan diri. Dan tidak bisa dalam kuasa diri.
Marah, tentu saja marah. Marah karena apa yang direncanakan tidak seperti yang hidup hadirkan. Marah karena ingin tidak terwujud. Marah, pasti marah, karena kecewa apa yang direncanakan tak seperti dalam rencana.
Namun malam ini adalah malam yang sama, seperti malam kemarin. Malam di mana rencana coba disusun, dan hidup membentangkan harinya, kenyataan menghacurkan susunan rencana.
Bentangan hari di mana hidup tidak menginginkan aku hadir, tidak menginkan dirimu ada.
Ini hanya alasan, atau kalian bisa membacanya sebagai alasan, sebagai pembenaran atas ketidakmampuan untuk mewujudkan apa yang direncanakan. Ya, kalian bisa membacanya sebagai alasan, sebagai pembenaran.
Tepat ketika pembacaan itu hadir menjadi penghakiman, tepat di sana, pembelajaran hadir.
Pembelajaran bahwasanya setiap simpul keterhubungan, hadir dalam fondasi kepentingan. Hidup memberi setapak jalan pada tiap diri, menghadirkan persimpangan pertemuan, melahirkan ekspektasi satu sama yang lain. Menghadirkan harapan satu sama yang lain.
Namun harapan, seperti halnya mimpi hanya fatamorgana.
Dan dalam persimpangan, dalam pertemuan, dalam harap, hidup memberi jalan pada tiap diri, pada tiap kesendirian. setapak yang berbeda, kubangan yang lain, lumpur yang beda, dihadirkan hidup untuk tiap diri yang hidup.
Namun persimpangan dan pertemuan tak memahami rencana hidup, satu-satunya rencana yang disadari adalah rencana diri. Jadi ketika rencana yang direncanakan tak sesuai dengan rencana, menyalahkan adalah cara paling mudah untuk menerima kenyataan bahwasanya rencana tak lagi sesuai dengan apa yang direncanakan.
Illustrasi: Gede Busuk
Malam ini adalah malam yang sama seperti malam kemarin, di mana anjing melolong, bintang di kejauhan, dan awan tipis yang terhempas oleh tiupan angin.
Dan keterkejutan apa yang harus diratapi?
Apa pertanyaan hang perlu ditanyakan? Jawaban hanya celoteh sumbang dari serangkaian lipatan cerita yang terus diceritakan.
Dan dengan mudah menyalahkan adalah cara cepat untuk menghadapi kenyataan hidup yang dihadirkan oleh hidup. Dan kita, aku dan kamu tak akan peduli pada kenyataan bahwasanya hidup menghadirkan lubang, kubangan, lumpur dan setapak yang beda untuk setiap diri. Lupa pada bagaimana hidup menghadirkan jalan hidup dan kehidupan pada setiap diri.
Dan persimpangan yang menghadirkan pertemuan telah merajut kita, setiap diri ini menjadi jalinan untuk saling menyalahkan dan saling mengkambinghitamkan atas rencana yang direncanakan, atas rencana diri masing-masing, atas rencana kita yang telah direncanakan. Seolah diri ini dan kita memiliki kuasa atas hidup sehingga bisa menghadirkan kenyataan seperti apa yang direncanakan.
Pertemuan yang dihadirkan oleh persimpangan yang melahirkan persinggungan mewujudkan rencana, dan penghakiman, dan pengkambinghitaman ketika rencana pupus oleh hidup.
Malam ini adalah malam yang sama seperti malam kemain, bintang berkelip di kejauhan, anjing melolong dan awan tipis berarak dihembus angin.
Malam yang sama yang hadir setiap malam untuk sekadar mengingat bahwanya pertemuan yang hadir di setiap persimpangan lahir dan dilahirkan oleh hidup, lahir ketika hidup menginginkannya.
Persimpangan melahirkan ingin, melahirkan harap, melahirkan mimpi, melahirkan rencana. Yang ingin diwujudkan, dinyatakan. Namun itu hanya rencana. Namun jika apa yang direncanakan, diagendakan tidak sesuai dengan agenda, dengan rencana kambing hitam butuh dilahirkan. Selalu seperti itu dan akan selalu seperti itu.
Adam dan hawa butuh seekor ular pembujuk atas ingin menyantap apel, kita terlahir dengan konstruksi semacam itu. Membutuhkan kambing hitam untuk setiap kenyataan yang tak sesuai dengan rencana.
Dan malam ini adalam malam yang sama. dengan bintang di kejauhan, lolongan anjing dan kabut yang memudar tertiup angin.
Malam yang sama seperti kemarin.
Dan setiap persimpangan dan persinggunggan yang dilahirkan hidup, hanya sebuah ruang untuk mengkambinghitamkan, ruang untuk menyalahkan.
Karena satu-satunya alasan pertemuan dan persinggungan di antara diri tercipta adalah kepentingan diri sendiri. Dan jika kepentingan diri yang direncanakan tak menyata, menyalahkan diri yang lain jauh lebih mudah daripada menyalahhkan diri sendiri.
Dan saya salah karena menulis ini.
Dan meminta maaf karena terlalu naif untuk percaya manusia bisa saling mengerti. Tidak manusia tidak akan pernah saling mengerti, mereka mengerti dalam kepentingan diri sendiri. Jika tidak seperti apa yang diri rencanakan, mereka akan mencipkan kambing hitam untuk dimangsa. [T]
19.12.24