SETELAH melewati pintu gerbang, macam-macam pohon berjejer di hamparan sisi-sisi jalan. Pohon-pohon itu seakan menyambut orang-orang dari berbagai saerah yang datang ke acara wisuda di kampus itu, Rabu, 11 Desember 2024.
Kampus itu adalah Universitas Negeri Semarang (Unnes). Sebuah kampus yang asri, letaknya di daerah yang sejuk, sekitar 8 kilometer dari Kota Semarang.
Saya melewati pintu gerbang kampus itu, bersama keluarga wisuda lain dari berbagai daerah—dari Jawa dan luar Jawa. Saya saat itu datang untuk menghadiri, tepatnya menjadi juru foto, Kadek Sonia Piscayanti—sastrawan dari Bali, yang diwisuda setelah lulus program doktor di kampus itu.
Pertama-tama saya melihat pohon, sebelum menyaksikan yang lain-lain. Batang pohon itu berserat, dan kebetulan siang usai acara wisuda, ada sedikit hujan. Air masuk ke sela-sela pohon itu, lalu mengalir di batang pohon coklat tua itu, jatuh ke tanah berumput. Sejuknya terasa hingga ke hati.
Pohon menaungi sebuah kantin di Unnes Semarang | Foto: tatkala.co/Son
Kampus Unnes tampaknya konsisten dalam mengembangkan konservasi alam melalui hutannya. Pohon-pohon tak hanya dibiarkan tumbuh dengan leluasa, tapi juga dimanfaatkan untuk menjadi peneduh di setiap sudut bangunan. Bahkan, kantin di kampus itu, terasa begitu sejuk, karena pohon menaungi selalu.
Saya membayangkan, bagaimana para mahasiswa di kantin itu tak pernah kehabisan akal untuk meneduhkan dirinya di kala senggang waktu untuk bersantai. Sambil ngopi dan buka laptop mengerjakan sesuatu, mereka seperti berselancar di atas salju yang dingin, lalu pergi ke sebuah bar kecil untuk menghangatkan tubuh dengan teh panas atau kopi.
Begitulah kantin itu dibuat di sana barangkali, sengaja dikonstruksi sedemikian ademnya, lengkapnya, nyamannya, untuk mahasiswa di kala penat kuliah atau putus cinta dihantam galau atau dijejal tugas. Udara segar dan pohon-pohon menjadi teman mereka yang sejuk.
Unnes cukup jauh dari pusat kota, sekitar 8 kilometer dengan jarak tempuh kira-kira 30 menit hingga satu jam. Unnes berada di dataran tinggi. Mahasiswa biasa ke Kota Semarang ketika bosan atau butuh keramaian, dan kembali menepi mengambil bagian untuk sehat di kampus. Tentu, di sebuah kantin dengan jejeran pohon yang serius. Juga kebersihan yang sudah terjaga kesadarannya itu, menjadi satu pengalaman berkesan bagi saya.
Sebuah kantin di sela-sela pohon di Unnes Semarang | Foto: tatkala.co/Son
Usai acara wisuda, saya menuju kantin Unnes yang dikelilingi pohon mahogini yang tak jauh jaraknya dengan gedung rektorat. Beberapa tiang yang terbuat dari kumpulan batu menyambut saya untuk turun menuju perbelanjaan. Saya disambut ibu kantin yang baik, disambut mbak-mbak yang ramah membuat minuman hangat atau dingin di masing-masing standnya. Mereka penuh siap.
“Mau beli apa, Mas?” kata salah satu mbak di satu kantin.
“Es jeruk, Mbak, kalau boleh,” jawab saya.
“Boleh dong. Sek saya buatkan!” Lantas si mbak pergi ke dapur.
“Saya ambil lebih dulu gorengan satu yah, Mbak.”
“Oke. Ambil aja.”
Menantikan minuman diantarkan, saya pergi ke meja. Di sela waktu menunggu itu, saya mengamati sebentar tentang bangunan kantin. Bangunan itu memang dibangun cukup serius. Mirip kafe, mirip sebuah kelas juga. Ada pohon dibiarkan tak ditebang di tengah-tengah kantin. Tentu, membelah atap kantin hingga ke atas.
“Ini fakultas, Bund?” tanya saya ke Bu Sonia Piscayanti yang baru saja diwisuda itu dengan IPK 4.0.
“Heh, ini kantin. Ngawur saja kamu, haha..” jawabnya terkejut.
Kantin itu ada dua lantai, lantai pertama orang-orang berjualan dan ada tempat duduknya. Lantai kedua, bisa dipakai buat makan juga, tapi makanan dibawa dari bawah. Di lantai dua bisa makan dengan lebih santai.
Sejumlah mahasiswa Unnes nongkrong di kantin kampus | Foto: tatkala.co/Son
Maka, timbullah satu pertanyaan bagaimana sikap Unnes memperlakukan space nongkrong murah bagi mahasiswa yang ramah kantong dan lingkungan ini? Jawabannya: paten. Selain tempat dibuat nyaman sedemikian rupa, juga pelayanan sepenuh hati dari mbak-mbak Semarang sangat terasa di sana. Tambah paten pula suasananya. Adem…
“Saya sering di sini, Son. Kalau sudah kelas atau mengerjakan tugas,” lanjut Bu Sonia, penulis naskah teater 11 Ibu 11 Kisah itu.
Apa saya kata, benar, kantin ini menjadi satu tempat oke untuk ditongkrongi. Saya membayangkan, di Prancis, revolusi terjadi dari sebuah diskusi kecil di kedai kopi bernama Café de Foy. Para pemikir ada di warung kopi tua itu sekitar tahun 1789 ketika dalam suasana kamelut monarki Perancis. Camille Desmoulins, lantas berdiri di atas meja di kedai itu, lalu berucap dengan berapi-api.
“Aux armes, citoyens! (Untuk mempersenjatai, warga!” katanya berapi-api, hingga revolusi terpantik ketika itu.
Suasana sejuk di kantin Unnes Semarang | Foto: tatkala.co/Son
Dan di Unnes, barangkali para pemikir disiapkan ruangnya juga selain di perpus atau kelas belajar, tetapi juga melalui kantin dengan ramah lingkungan yang seimbang antara udara untuk bernapas, dan logistik untuk berpikir melalui jajakan makanan harga pas tancap gas.
Eh, tiba-tiba saya membayangkan kampus saya di Undiksha Singaraja. Di Undiksha belum ada kantin senyaman dan sesejuk itu, tapi tentu akan menuju seperti itu. Semoga banyak pohon juga nantinya, biar adem. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole