PENGAMANAN pada debat publik ketiga untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati Buleleng di Banyualit SPA’N Resort, Lovina, itu, dijaga petugas keamanan cukup ketat. Di setiap pengkolan, di areal gedung utama itu, sejak sore, petugas tak memberi celah bagi penyusup masuk, Rabu, 20 November 2024 malam itu.
Motor dan mobil petugas keamanan pun telah bertengger—penuh siap mengejar siapa saja berbuat jahat atau nakal, membuat ribut dalam acara debat itu. Bahkan, sebelum masuk ke ruang utama, panitia juga dengan tilik mengecek setiap identitas seperti id card—atau keperluan apa seseorang menghadiri acara itu.
Ya, agar tidak adanya pengacau. Semua dikendalikan, termasuk memastikan tidak adanya yel-yel di dalam ruangan—hanya dibolehkan tepuk tangan.
Para pendukung Cabup dan Cawabup—mulai masuk mengantre satu jam sebelum acara. Apik. Wangi. Sisiran. Tentu, tua muda ada di sana. Dan di dalam ruang utama debat itu, pasangan 01, Sugawa Korry-Suardana datang dengan wajah tenang, dan menyalami siapa saja yang menyapanya dengan jarak dekat.
Begitupun dengan pasangan 02, Nyoman Sutjidra-Supriatna, mereka, datang dengan wajah tenang. Kalem. Mereka duduk di kursi belakang, tentu, di sekitar tim pemenangannya masing-masing itu, menunggu maju dipanggil ke atas panggung.
Sebelum on air alias acara akan dimulai—sebentar lagi itu, para tamu undangan dan para pendukung dari masing-masing calon, terlebih dahulu dites tepuk tangannya oleh seorang pemandu siaran. Keras-keras. Ramai-ramai. Lebih keras… Sekali lagi. Prok. Oke, stand by.
Penonton/timses/pendukung paslon yang duduk rapi dan tertib seperti mendengarkan ceramah dalam acara Deabat Ketiga Paslon Bupati/Wakil Bupati Buleleng, Rabu, 20 Novemver 2024 | Foto: tatkala.co/Son
Tak ada teriakan “Oke Gass” untuk menyemangati Sugawa Korry-Suardana dan “Joss24” untuk Sutjidra-Supriatna. Hanya ada tepuk tangan saja—dengan duduk yang, tentu dalam hal ini, tidak boleh jingkrak-jingkrak nyambil lempar jargon masing-masing. Tidak boleh.
Tidak lama kemudian, tiap-tiap pasangan dipanggil satu-persatu. Acara segera dimulai. Sebagaimana calon pemimpin, Sugawa Korry-Suardana dan Nyoman Sutjidra-Supriatna, mereka melambaikan tangan—dengan diikuti senyum dan tangan salam diacungkan sedada. Tidak ada gaya koprol di sana. Mereka berjalan dengan penuh wibawa.
Pula saat menaiki anak tangga perdebatan secara giliran ke atas panggung itu, penuh siap bertarung. O, malam ini adalah debat final—yang tegang. Tapi sayang, bukan karena debatnya yang sengit, tetapi—agaknya melelahkan, tak ada selebrasi suara hore atau asik atau cie—sehingga terkesan membosankan. Hambar.
Bahasa Isyarat itu Bahasa Humanis, Yel-yel itu Bahasa Ekspresif
Tampak para pendukung itu yang duduk seperti sedang menonton ceramah barangkali, karena batinnya menggebu-gebu—untuk bilang Oke Gass atau Joss24 tetapi merasa tabu. Sehingga wajah mereka—para pendukung yang hadir di kursi penonton—sesekali wajahnya tawar dengan tepuk tangan yang seperti tak bersemangat.
Meski begitu, tepuk tangan yang pendek-pendek tanpa yel-yel itu mereka tetap tampak berhasil mengantarkan si jagoan ke arena perdebatan. Atau saat si jagoan mengembat lawannya dalam perdebatan. Tapi, ya, itu, suasananya tetap terasa kaku. Terlalu tertib.
Paslon Bupati dan Wakil Bupati Buleleng, Sugawa Korry-Suardana | Foto: tatkala.co/Son
Paslon Bupati dan Wakil Bupati Buleleng, Sutjidra dan Supriatna | Foto: tatkala.co/Son
Apakah KPU terlalu takut kepada yel-yel sehingga mesti dilarang? Atau, kepingin cepat-cepat beres acaranya? Tentu bukan itu soalnya, Ton. Ya, demi keamanan dan kedamaian demokrasi Pilkada 2024, khusus di sesi debat final ini. Ahoy.
Sementara di sebuah ruang—di bagian ruang debat yang direkam TV dan disiarkan langsung itu—Susiani (54), perempuan paruh baya yang mengenakan baju putih dan kacamata di wajahnya, tampak tetap sibuk dalam heningnya sendiri. Tangannya masih terus memberi isyarat—meneerjemahkan bahasa lisan para calon ketika berdebat.
Cahaya lampu—penerang wajah memintalkan tubuhnya membayang ke tembok. Di depan kamera untuk sebuah televisi—TVRI, ia terus menyampaikan isyarat dari bahasa lisan tanpa luput satupun tak tersampaikan.
Ya, Ibu Susiani—sedang mengalihwahanakan bahasa lisan ke bahasa isyarat untuk teman-teman difabel di Buleleng, atau di mana pun yang menonton acara debat itu.
Susiani, penyampai bahasa isyarat untuk difabel dalam acara debat paslon Bupati dan wakil Bupati Buleleng | Foto: tatkala.co/Son
Sementara Susiani masih terus memberikan bahasa melalui tangannya yang semiotis tadi, sejumlah wartawan koran cetak atau tak dicetak di koran alias onlen, tampak juga terus sibuk mengetik—melihat siaran langsung di YouTube.
Dalam debat itu, perhatian bisa ditujukan pada Sub Tema; Membentuk Manusia Dengan Kepribadian Humanis, Moderat dan Anti Kekerasan.
Calon Wakil Bupati Gede Supriatna—sebagai penjawab pertama, menyampaikan sesuatu tentang kekerasan perempuan dan anak, di Kabupaten Buleleng yang, menurutnya, menunjukkan trend yang meningkat.
Hal ini, lanjut Supriatna, tentunya menjadi persoalan bagi kita semua, bagi seluruh warga Buleleng dan pemerintah Buleleng. Demikian juga, trend peningkatan ini menjadi indikator bagaimana tingkat kondisi sosial yang ada, bisa menunjukkan mengapa banyak terjadi kekeresan kepada perempuan dan anak di Buleleng.
“Hal-hal inilah menjadi PR ke depan, lewat beberapa program-program dan kebijakan-kebijakan yang bisa nantinya memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat, sampai kepada penekanan untuk tindak kekerasan seksual ini,” katanya.
Misalnya, dengan melakukan edukasi yang menyeluruh kepada masyarakat. Kemudian juga, menerbitkan atau merancang sebuah perda, yang mana sudah ada di Kabupaten Buleleng yaitu perlindungan perempuan dan anak. Yang mestinya hal ini bisa menjadi, menekan terjadinya kekerasan perempuan dan anak.
Sampai di sini, ia juga akan berusaha akan meminimalkan kejadian-kejadian kekerasan perempuan dan anak, lewat program-program misalnya memberikan konseling kepada warga masyarakat. Demikian juga memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat dari tingkat bawah sampai tingkat pendidikan tinggi. Demikian juga menyiapkan rumah aman, bagi yang mengalami kekerasan perempuyan dan anak pada dinas sosial.
Kemudian ia juga akan melakukan monitoring di tempat—fasilitas umum dengan memasang CCTV atau patroli secara langsung melalui dinas terkait.
Dari penjelasan tersebut, dengan waktu dua menit, Gede Suardana segera menanggapi atas jawaban Supriatna itu. Dalam hal ini, Suardana memandang—nyaris sama cara menangani isu ini. Tetapi ia menambahkan yang lain, berbeda, yaitu—jika terpilihnya nanti, katanya. Ia akan membuat satu aplikasi—aduan untuk penyintas. Tentu, selain agar si penyintas bebas menguatarakkan isi hati dan aspirasi, Suardana juga memandang jika hal demikian akan sangat penting sebagai sebuah data base—perkembangan isu tersebut di kota ini.
Di tengah perdebatan—yang tidak tegang-tegang amat itu, Susiani—sang penyampai bahasa isyarat itu—masih terus memberikan isyaratnya dengan baik kepada masyarakat yang difabel.
“Saya berharap, melalui bahasa isyarat ini, teman-teman difabel dapat mengerti dan bisa menentukkan pilihannya sendiri terkait tadi atau yang lainnya yang sudah disampaikan,” kata Susiani. Ia adalah Guru di SLB 1 Kabupaten Buleleng.
Ia juga sangat berharap—apa yang disampaikan terkait perlindungan perempuan dan anak, tentu, katanya, bagaimana teman-teman difabel juga dapat merasakan keramahan itu.
Jadi, bahasa isyarat adalah bahasa yang humanis, sunyi namun penting. Sementara yel-yel lebih pada bahassa ekspresif, penyemangat, yang, tampaknya, di-off-kan dari debat duduk penonton di ruang debat itu. Semoga tetap damai. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole