LANGSUNG saja kita kembali ke tahun 2010, empat belas tahun yang lalu, ketika saya mulai menonton timnas sepak bola Indonesia. Indonesia baru saja mendatangakan Alfred Riedl pada Piala AFF 2010 dengan pemain cukup komplet seperti Bambang Pamungkas, Budi Sudarsono, Irfan Bachdim, hingga pemain naturalisasi dan bomber di Liga Indonesia, Cristian Gonzales—dan, dengan demikian, banyak yang menyebut ini merupakan tim terbaik di turnamen yang dulu bernama Piala Tiger itu.
Tetapi sebutan “tim terbaik” itu nyatanya hanya gombongan kepada tim nasional sepak bola yang nyaris setengah abad hanya menjadi pecundang di jagat sepak bola dunia—atau lebih dari seperempat abad di turnamen Asia Tenggara tersebut. Di final Piala AFF 2010, terlepas dari kasuk-kusuk di luar lapangan, jelas menambah gelar pecundang itu, bagaimana timnas kita seolah pendulum yang tak pernah menyentuh puncak lagi sejak tahun 1991. Fakta, titik, akhir cerita.
Dari waktu ke waktu timnas hanya berputar-putar bak gasing di dasar dalam kebingungan, kekonyolan berulang, dan senyum busuk politikus yang menjadi benalu dalam tubuh PSSI kala itu, yang jelas membikin mual dan darah tinggi. Kita bisa berjilid-jilid menulis makian kepada PSSI dan segala kroni-nya. Beruntung waktu itu saya baru saja lulus SMP dan belum tahu apa-apa soal ini—bahkan tak tahu sosok Nurdin Halid yang brengsek itu.
Timnas Indonesia tercatat lolos ke babak final Piala AFF sebanyak enam kali (2000, 2002, 2004, 2010, 2016, dan 2020), tapi tidak pernah berhasil mengangkat satu pun trofinya. Tapi sekarang, kabarnya, Piala AFF bukan lagi prioritas—sebagaimana sering digaungkan PSSI dan para konten kreator, yang nggak kreatif-kreatif amat itu, bahwa kini Asia Tenggara bukan lagi habitat yang cocok bagi timnas, melainkan Eropa. Taik. Sebuah kecongakan yang tak tahu diri!
Dan hadirnya Shin Tae-yong dan beberapa pemain naturalisasi yang terlalu diglorifikasi itu, dan sejak PSSI dipegang Erick Thohir, publik sepak bola Indonesia seolah mendapat secercah harapan. Sejak 2020 melatih, Tae-yong langsung membawa timnas melaju ke final Piala AFF untuk yang kesekian. Lagi-lagi, kita merasa ada harapan. Waktu itu Indonesia menang atas tuan rumah Singapura di semifinal lewat drama dua leg yang dramatis. Tapi dasar pecundang, Thailand-lah juaranya. Sekali lagi, kita patah hati.
Saat ini timnas sedang berjuang di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia. Kita masuk di putaran ketiga dan satu grup (C) bersama Jepang, Australia, Arab Saudi, Bahrain, dan China. Empat pertandingan telah dijalani. Tiga imbang dan satu kalah. Dan di pertengahan bulan ini, Indonesia akan menjamu Jepang dan Arab Saudi di GBK. Kekalahan dari China 2-1 bulan lalu adalah patah hati yang kesekian.
Artinya, menonton Timnas Indonesia selama ini sepertinya merupakan kecenderungan menyakiti diri sendiri. Ia semacam kelainan psikis yang berbahaya bagi kesehatan emosi dan perasaan. Timnas Indonesia dihubungkan oleh serangkaian narasi kekalahan—frasa yang Mahfud Ikhawan pakai untuk judul sebuah tulisan yang menggambarkan kekalahan Indonesia dari Malaysia di Sea Games 2011. Lebih banyak buruk dan sedihnya dibanding bahagianya.
Meski demikian, penonton timnas tampaknya adalah jenis manusia yang kebal akan patah hati. Sudah berkali-kali “tersakiti” tapi masih saja menggantungkan harapan kepadanya. Dan mengutip kata Darmanto Simaepa dalam Setengah Abad Menjadi Pecundang (2018), “publik sepakbola Indonesia adalah pecundang yang tawakal. Kita nyaris tahu timnas akan dibantai lawan, kalah dengan cara yang buruk, atau gagal di final oleh lawan yang tak lebih bagus, namun kita terus bertahan dengan harapan akan adanya kemungkinan akhir yang bahagia.”
Tapi itulah sepak bola. Banyak kemungkinan bisa terjadi. Keajaiban bisa saja datang dari tim busuk dalam sebuah turnamen yang berhasil mencundangi jagoan favorit dengan pemain bintang macam Italia yang kalah lawan Korea Selatan pada Piala Dunia 2002—terlepas aroma kecurangannya yang terjadi.
Sepak bola seperti karya sastra, cerpen atau novel. Ia mengandung plot, tokoh, emosi, drama, dan tak jarang terjadi ending yang mengejutkan, tak tertebak. Karena itulah barangkali ia disukai. Dan di Indonesia, sepak bola adalah olahraga dengan jumlah pentonton terbanyak, meski timnas selalu dirundung oleh kegagalan demi kegagalan.
Lalu banyak orang bertanya kenapa bisa selalu gagal? Jawabannya bisa berbeda-beda, tergantung dari mana jawaban itu datang. PSSI menilai masalah datang dari kualitas pelatih dan pemain. Lainnya menuding karena skema dan pengelola liga. Pengamat berkata itu karena pembibitan pemain muda yang belum maksimal. Dan tak jarang luasnya wilayah menjadi kambing hitam.
Sementara, kata Darmanto, bagi orang yang mudah putus asa bisa dengan gampang menyimpulkan bahwa kepecundangan sepakbola Indonesia dikarenakan akumulasi dan komplikasi semua masalah yang bisa kita sebut. Ini adalah cara yang paling gampang dan tak perlu pikir panjang. Setiap alasan sudah pasti akan dibenarkan oleh fakta bahwa kita memang tak pernah menang—dalam arti membanggakan.
Kalau soal federasi yang busuk dan brengsek, negara-negara di Amerika Latin jelas lebih parah daripada kita. Tapi Brazil dan Argentina bisa jadi raksasa—bahkan penguasa—sepak bola. Atau sepak bola di negara-negara Amerika Tengah dan di Afrika “juga diurus oleh orang-orang yang sama buruknya, tapi mereka lumayan berprestasi. Kompetisi sepakbola Mesir juga lebih tidak teratur, penuh kekerasan, namun mereka toh menjadi juara Piala Afrika dan kini ada di Piala Dunia,” kata Darmanto.
Pertanyaan kenapa sepak bola Indonesia seperti begini-begini saja jelas sebuah pertanyaan yang sia-sia sebab kita hanya akan mendapat jawaban yang begini-begini lagi, saling tuding-menuding mencari kambing hitam, hanya sekadar asumsi-asumsi sambil tipis-tipis berusaha menyalahkan satu sama lain.
Meski kritis, bukan berarti timnas dan kita sebagai publik sepak bola kehilangan harapan, apalagi peluang di ronde ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 masih terbuka dan jika dalam dua pertandingan di kandang pada hari mendatang Indonesia meraih tren positif, bisa jadi ini adalah, seperti yang sering dikatakan orang-orang, mementum kebangkitan sepak bola Indonesia.
Kemenangan timnas hari-hari ini, atau barangkali juga yang sudah-sudah, bukan saja sekadar poin di klasmen, tapi bisa jadi kemenangan atau obat penawar rakyat (kolektif) dari banyak kekalahan dalam bidang-bidang lain, khususnya politik dan ekonomi. Kemenangan itu bisa jadi semakin berarti. Meski, sekali lagi, menonton dan mencintai timnas Indonesia adalah kecenderungan menyakiti diri sendiri.[T]