MINGGU, 27 Oktober, sebelum Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2024 benar-benar berakhir, saya menyempatkan bertemu kembali dengan Agustinus Wibowo, penulis perjalanan yang tersohor itu dan Ratih Kumala penulis Gadis Kretek yang fenomenal itu. Saat itu, saya punya agenda singkat, ngobrol dengan Agustinus dan Ratih, di sela-sela program-program menarik di akhir UWRF.
Dengan kepadatan lalu lintas Ubud yang sering tanpa kenal lelah terjadi, berjanji bertemu kedua penulis ini pun jadi sulit. Saya mengirim whatsapp kepada Agustinus, bertanya dimanakah keberadaannya. Ketika dia menjawab masih di hotel, saya beranikan bertanya apakah bisa saya menjemputnya langsung.
Diapun setuju. Dari hotel saya menuju ke hotel Agustinus ternyata tidak jauh, dan bersama Agustinus ternyata Mbak Ratihpun ikut serta. Akhirnya pembicaraan mengalir di mobil selama perjalanan. Tentang segala hal.
Agustinus banyak bicara soal pengalamannya di Nepal. Saya dan Agustinus berbagi cerita soal Nepal, soal Pokhara dan Sarangkot, dan tentang keindahan budaya dan magisnya Nepal. Mbak Ratih di belakang tampaknya juga menyimak dan sesekali menimpali. Kami bicara soal hantu, soal mistis, soal kejadian Agustinus di Nepal yang di hotelnya kran air bergerak sendiri.
Mbak Ratih juga bicara soal TV yang menyala sendiri. Yang awalnya dikira hantu ternyata itu semacam alarm dari hotel untuk membangunkannya.
Saya juga bicara soal kipas angin di kamar yang bergerak sendiri, lalu soal sendok yang tiba-tiba tersedia di atas meja, padahal belum diambil. Mungkin hantunya mau makan malam. Atau ibu saya yang bersama saya di kamar mulai pikun, sempat mengambil sendok tapi lupa. Intinya kami bicara hantu-hantu dengan seru.
Ratih Kumala (tengah) bersama Dee Lestari (kiri) dan saya (Kadek Sonia Piscayanti) | Foto: tatkala.co/Rusdy
Lalu mengalir ke soal karakter-karakter. Jenis-jenis karakter yang dipahami sangat mendalam oleh Agustinus dan menjadi serius kami bahas. Kami membahas tipe karakter INTJ, ENFP, campuran INTJ dan ENFP, dan atau kecenderungan lain. Keseruan itu diselingi dengan cerita soal keganjilan-keganjilan karakter tertentu yang dapat dianalisis dengan mendalam.
Lalu kami bicara soal menulis. Tentang karakter. Tentang proses kreatif menulis. Saya sebagai sopir, merasa bersyukur bahwa Ubud macet dan kami harus memutar balik arah. Karena di dalam mobil kami jadi sempat bicara.
Saya menikmati perubahan rute yang lumayan jauh menuju venue festival. Lalu dalam tempo itu saya bertanya kepada Mbak Ratih secuil saja soal proses kreatif penulisan novel Gadis Kretek. Kurang lebih berapa lama proses riset dan menulisnya. Bagaimana Ratih menemukan karakter dan menghidupkannya.
***
Gadis Kretek adalah sebuah novel fiksi karya Ratih Kumala yang sukses membuat dunia sastra sekaligus film menjadi riuh-rendah. Difilmkan dengan judul yang sama oleh Kamila Andini, film Gadis Kretek menjadi sebuah perbincangan karena memenangkan penghargaan dimana-mana.
Ratih Kumala (kiri) di UWRF 2024 | Foto: tatkala.co/Rusdy
Gadis Kretek diterbitkan pertama kali tahun 2012 oleh Gramedia Pustaka Utama, lalu hingga akhir tahun 2023 ia telah dicetak sebanyak 12 kali, dengan cetakan bersampul series Netflix, yaitu cetakan ke 11 dan 12.
Di dalam novel ini, Ratih menyajikan sebagian sejarah dunia kretek di Indonesia, yang lekat dengan isu feminisme, ketika Jeng Yah sebagai perempuan menjadi pusat cerita, bahwa dia adalah perempuan yang tahu ingin menjadi apa, menjadi bagian dari sejarah peracik saus kretek.
Kala itu urusan rasa didominasi oleh laki-laki dan Jeng Yah dengan kesadaran sebagai perempuan memberontak tradisi itu dan bercita-cita meracik saus sendiri untuk menciptakan rasa ‘perempuan’ pada dunia kretek yang sangat laki-laki.
Perjuangan Jeng Yah sendiri sangat kompleks, ia menjadi pewaris usaha kretek ayahnya sekaligus tumbal bisnis ayahnya, sekaligus pejuang cinta sekaligus menjadi korban politik, dan menyerah pada kuasa takdirnya.
Kompleksitas konflik dalam Gadis Kretek ini sangat detail dan rumit, karena masing-masing karakter memiliki persoalan internal dan riwayat yang saling terkait. Seluruh latar historis novel ini menjadi sangat menyentuh dan mengakar pada Indonesia tahun 1960-1970an.
Ulang-alik karakter dengan segenap konflik batin mereka yang kompleks menjadikan novel ini penting dalam menautkan berbagai hal, isu feminisme, cinta, kapitalisme, politik dan budaya. Tak heran jika seriesnya di Netflix yang menghadirkan Dian Sastrowardoyo sebagai bintang menjadi perbincangan dimana-mana.
Dan series inipun diganjar penghargaan sebagai Best Mini Series di Seoul International Drama Awards 2024dan jugaAsian Contents Awards & Global OTT Awards 2024.Novel Gadis Kretek juga diberi penghargaan Chommanard Women’s Literary Award 2024dari Thailand.
***
Saya mendapat buku Gadis Kretek dari sebuah festival di Larantuka, yaitu Flores Writers Festival. Saya bertemu Eka Kurniawan, yang adalah suami dari penulis Gadis Kretek, Ratih Kumala. Saat itu Ratih tidak ikut ke Larantuka bersama Eka.
Dari perbincangan saya dengan Eka, saya tahu Ratih akan ke Ubud Writers and Readers Festival. Saya pun berjanji akan bertemu dan ngobrol dengannya di Ubud. Benar saja, kami akhirnya bertemu di Ubud. Bahkan satu mobil dan saya yang menyupirinya.
Menurut Ratih, ia menulis Gadis Kretek selama 4 tahun. Riset sekaligus menulis, menurut dia terjadi berbarengan karena dengan menulis sambil meriset dia bisa langsung membangun alur dan mengembangkan karakter.
Saya bersama Agustinus Wibowo | Foto: tatkala.co/Rusdy
Ia mengatakan bahwa ia penganut proses yang memulai dari mana saja, tidak dari introduction, middle, end. Dia bisa memulai dengan acak, tengah, akhir, depan, tengah lagi, dan seterusnya. Dia hanya punya alur dan batang cerita. Karakter ia kembangkan dengan telaten, dengan riset beberapa karakter yang ia gabungkan dan kembangkan lagi, menghidupkannya dengan fiksi.
Gadis Kretek menurut Ratih adalah sebuah fiksi, namun riset soal pabrik kretek memang benar adanya. Ia mencoba menghidupkan karakter dengan latar yang kuat dan alasan yang manusiawi. Cinta adalah penghubung memori di masa lalu dan masa depan.
Keberhasilan Ratih menurut saya adalah bahwa ia menjadikan sejarah manusia di masa lalu menjadi lebih terasa kontekstual dan menyentuh di masa kini. Fakta bahwa film ini mendapat banyak penghargaan menjadi sebuah bonus bagaimana fiksi hadir menjadi bagian dari sebuah kesaksian sejarah yang tidak dapat diabaikan posisinya.
Sesungguhnya saya masih ingin banyak menggali soal Gadis Kretek, namun kami ternyata telah tiba di parkir di venue. Dan Ratih bergegas mengejar panel yang ingin ia datangi, sementara saya dan Agustinus melanjutkan perbincangan di sebuah cafe, kami minum teh dan berbagi cerita.
Demikianlah UWRF mempertemukan kami, menautkan kami di mana-mana, di jalanan yang macet, di mobil, di cafe, di angan-benak-masa lalu-masa depan-dan masa antara yang kami coba pahami pelan-pelan. [T]
Reporter/Penulis: Kadek Sonia Piscayanti
Editor: Adnyana Ole