DESA Adat Kedonganan persis berada di Ceking Gumi Bali. Desa ini adalah batas utara Gumi Delod Ceking di wilayah Kuta Selatan, Badung, yang memiliki dua laut. Masyarakat setempat menyebutnya Pasih Kangin atau Laut Timur, dan Pasih Kauh atau Laut Barat.
Dalam tradisi pangideran Hindu di Bali, timur adalah warna putih uripnya 5 stana Dewa Iswara dan barat adalah warna kuning dengan urip 7, stana Dewa Maha Dewa. Dari segi warna, putih adalah lambang kesucian dan kuning lambang kebijaksanaan. Ada pula yang menafsirkan penyatuan Siwa–Budha, yang tidak terpisahkan.
Dalam konteks pendidikan, Orang Bali sangat berharap bila punya anak agar nawang Kangin Kauh—tahu arah Timur dan Barat. Ia juga paham putih-kuning, artinya paham kesucian dan agungnya kebijaksanaan.
Tahu Kangin-Kauh juga berarti faham kiblat ulu–teben. Apa yang di-ulu-kan pantang untuk di-teben-kan karena akan berakibat sungsang. Terbalik tak harmonis. Begitulah konsep harmoni dibangun, dilembagakan, dan dilogikakan ala Bali. Tujuannya agar ajaran itu membumi dan membatin sebagai karakter dalam laku kehidupan sehari-hari.
Kembali ke Desa Adat Kedonganan dengan dua lautnya. Jika sebelumnya telah diulas tentang Pasih Kangin Desa Adat Kedonganan, tulisan ini berfokus ke Pasih Kauh.
Ada apa dengan Pasih Kauh Kedonganan. Pejalan kehidupan yang berkesadaran waktu tentu dapat membaca sasmita yang menyertainya.
Dulu, sebelum akses Jalan By Pass Ngurah Rai dibuka (1980-an), Pasih Kauh relatif dekat dengan Jalan Raya Uluwatu sehingga lebih ramai dibandingkan dengan Pasih Kangin. Hal ini sejalan dengan makna jalan sebagai urat nadi perekonomian.
Penulis (Nyoman Tingkat) bersama siswa di Pasih kauh desa Adat Kedonganan | Foto: Dok. Nyoman Tingkat
Bendega tradisional pasti lebih doyan ke Pasih Kauh dengan pasir putih bersih, ketimbang ke Pasih Kangin yang sepi berlumpur. Mengapa?
Pertama, Pasih Kauh adalah Samudera Indonesia tempat kafe-kafe berjejer menyambut para penggemar kuliner ikan bakar untuk bersantap siang atau makan malam. Di antara pengunjung yang lalu lalang mungkin juga sekadar minum kelapa muda sambil bersantai menikmati sunset dengan latar jukung nelayan yang mendarat.
Mungkin juga sekadar iseng sambil menghitung pesawat terbang naik turun dari Bandara Ngurah Rai yang membawa penumpang dari seluruh negeri. Mereka datang ke Bali dan pergi dari Bali. Entah untuk berapa kali mereka datang dan pergi sehingga membuat Bali sibuk di udara, darat, dan laut. Itu jika pandangan diarahkan ke Barat atau Utara dari Pasih Kauh Desa Adat Kedonganan.
Kedua, jika pandangan diarahkan ke selatan, tampak bukit-bukit yang kokoh padat pemukiman dengan patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang gagah dan Kampus Universitas Udayana yang bersebelahan.
Kawasan GWK dan Kampus Unud kala malam, tampak dari Pantai Kedonganan bermandi cahaya lebih-lebih Purnama Raya dengan kelap-kelip lampu nelayan dan kapal di tengah laut beradu dengan kelap-kelip bintang di langit, seakan saling sapa. Maka sempurnalah Pasih Kauh Kedonganan bermandi cahaya yang bayangannya sangat indah dengan laut sebagai cermin alam.
Ketiga, sebagai pusat pelabuhan para nelayan, Pasih Kauh Kedonganan menjadi rebutan orang dan pendatang sejak dulu kala. Mereka berebut rezeki mengadu nasib. Ada yang membantu nelayan memarkir jukung dengan imbalan ikan. Ada pula yang meburuh jadi tukang suun be ke pengepul dengan imbalan be pula. Tidak sedikit pula yang ngujur melepaskan ikan dari jaring, dengan imbalan ikan pula.
Penulis (Nyoman Tingkat di Pasih Kauh Desa Adat Kedonganan | Foto: Dok. Nyoman Tingkat
Singkatnya, banyak orang menggantungkan kehidupan dari budi baik nelayan yang datang dari tengah laut. Berburu dan berguru pada nelayan yang melaut untuk menyambung hidup. Berburu mendekati nelayan-nelayan yang mendarat dengan harapan mendapat upah sejumlah ikan. Berguru tentang semangat pantang menyerah dan tangguh menghadapi rintangan dan cobaan di tengah laut yang tak dapat diduga cuacanya. Hujan angin badai dan ombak besar.
Pasih Kauh Kedonganan sebagai pusat kuliner ikan bakar sering tertukar dengan nama besar ikan bakar Jimbaran, yang dkenal lebih dulu. Walaupun pantainya terletak di Kedonganan, banyak pemandu wisata menyebutnya Pantai Jimbaran yang membuat orang lokal bingung. Itu pula yang dialami peserta Kongres Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) pusat di Bali pada awal 2023 yang menggelar Gala Dinner Pantai Kedonganan, tetapi oleh Tour Leader disebut Pantai Jimbaran karena memang berdekatan.
Untuk diketahui, di Pasih Kauh Kedonganan terdapat 24 kafe milik Desa Adat dibagi 6 banjar adat. Setiap banjar memiliki 4 kafe dengan sistem pemasaran dan promosi secara mandiri. Keuntungan dibagi secara proporsional antara pengelola, pihak banjar, dan desa adat.
Tatakelola ini sejalan dengan pariwisata berbasis masyarakat adat, yang mengedepankan keberlanjutan ekonomi, sosbud, dan lingkungan. Gagasan ini dilakukan atas inisiatif masyarakatnya (bottom up).
Sejarah berdirinya kafe-kafe di Pasih Kauh Kedonganan adalah rangkaian cerita dari Pasih Kangin saat berdirinya SMA Negeri 2 Kuta pada 14 September 2005. Penggagasnya, I Ketut Madra, S.H., mengatakan kafe-kafe kala itu belum dikelola oleh banjar-banjar adat. Ada 76 kafe yang dikelola individu.
Mulai tahun 2007 dilakukan penataan oleh Desa Adat kemudian dikelola melalui banjar secara berkelompok dan ditata letaknya. Tidak pelak lagi, penataan mendapat perlawanan dari sejumlah krama setempat. Sungguh tepat benar, kata Bung Karno, “Perjuanganku melawan penjajah lebih mudah daripada perjuanganmu dengan bangsa sendiri, karena yang kaulawan saudaramu”.
Diperlukan ilmu nelayan menangkap ikan untuk menaklukkan perlawanan itu. Ibarat menangkap ikan di lubuk laut, jaga ketenangan airnya jangan sampai keruh. Bersamaan dengan itu, ikan-ikan dijebak dengan rumah ikan buatan. Di luar itu dipasang jaring, maka ikan-ikan pun terjaringlah.
“Cara ngejuk be, pang sing yehe puek, bene bakat. Payu ngae soup,” demikian kata nelayan tentang ilmu menangkap ikan.
Dengan ilmu nelayan itulah, 76 kafe yang sebelumnya dikelola secara individu itu bisa dijinakkan kemudian dikelola secara berkelompok melalui banjar. Oh ya, banjar adalah bagian dari desa adat.
Setiap upaya pembaruan, perubahan, dan perbaikan termasuk pembangunan, pada mulanya sudah biasa mendapatkan perlawanan. Bila sudah dinikmati hasilnya, jarang pula dipuji habis-habisan. Bahkan malah ada yang melupakan.
Padahal, Bung Karno juga telah mengingatkan dengan Jas Merah “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Ujung dari semua penyesalan itu adalah produk gagal berguru dengan kesadaran sejarah. Hakikat dari kesadaran sejarah adalah linieritas waktu dalam perspektif trisemaya (atita, wartamana, nagata).
Sejarah yang linier adalah sejarah yang mencatat secara objektif sebuah peristiwa, baik sisi positifnya maupun sisi negatifnya. Jadi, sejarah bukan semata-mata versi pemenang, tetapi juga versi pecundang. Hanya dengan demikian, timbangan sejarah tidak berat sebelah diuji waktu.
Penulis (nomor 4 dari kiri) bersama siswa dan rekan guru berpose di Pasih Kauh Desa Adat Kedonganan } Foto: Dok. Nyoman Tingkat
Begitulah Desa Adat Kedonganan berproses tidak luput dari kendala-kendala. Dengan wilayah yang sempit, tingkat kepadatan penduduknya tinggi, ditopang oleh 1.285 sepaon atauKepala Keluarga (KK) Adat. Mereka dominan mengandalkan pusat perekonomian condong ke arah Pasih Kauh. Kafe, vila, hotel dan aneka kuliner dominan di wilayah bagian barat pusat Desa Adat Kedonganan, dan cenderung mendekat ke Pasih Kauh. Rahajeng Rauh! [T]
BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT