SEORANG lelaki dengan kumis dan jenggot hitam tebal keluar dari sebuah koper besar di pinggir jalan raya di sebuah kota asing di Iran. Tampaknya semalaman ia meringkuk di koper tersebut. Koper itu, bukan saja tempat tidurnya, tapi juga rumah, kenangan, dan, mungkin saja, harapan terakhirnya.
Jauh dari kampung halamannya, lelaki pengungsi dari Kurdi itu terpaksa hidup dalam kopernya. Di dalam koper itu, sekali lagi, ia membawa kenangan tentang keluarganya—foto keluarganya ia tempelkan di penutup koper itu. Dan ketika seseorang mencuri koper itu di tengah hiruk-pikuk pusat kota asing, ia kehilangan rumahnya, keluarganya, untuk kedua kalinya.
Di atas adalah sedikit potongan adegan film pendek berjudul Suitcase (2023) karya Saman Hosseinpuor dan Ako Zandkarimi. Film yang dibintangi Meysam Damanzeh ini saya tonton di Minikino Film Week 10 di MASH Denpasar, Sabtu (14/9/2024) pagi. “Suitcase” memenangkan penghargaan di Parma International Music Film Festival ke-11 di Italia.
Meski konvensional-naratif, Saman Hosseinpuor dan Ako Zandkarimi hendak menyampaikan sesuatu yang besar, menggelisahkan, rumit, dan gelap, yang barangkali telah mengganggunya selama ini. Saman dan Ako sama-sama lahir sebagai Kurdi di Iran pada 1993. Mereka berdua seumuran dan sama-sama memulai bergelut dalam dunia kesenian sejak usia kisaran 15 tahunan. Saman berakting di teater dan membuat film; sedangkan Ako langsung menggemari dunia perfilm-an sejak duduk di bangku sekolah menengah.
Saya memiliki keyakinan, sebagai orang Kurdi, Saman dan Ako telah melahap hitam-putih dan pahit-manisnya sejarah sukunya, dan bagaimana dunia memperlakukan mereka dengan semena-mena. Hari-hari ini mereka diperangi Erdogan dan tak diakui di Suriah. Mereka mendapat belas-kasihan dari Iran tapi juga memiliki keinginan untuk membentuk negara sendiri. Orang-orang Kurdi terombang-ambing tanpa peta dan kompas di tangan.
Dan Suitcase merupakan gambaran keputus-asaan itu. Melalui seorang lelaki Kurdi paruh baya yang kehilangan segalanya—rumah dan keluarganya, lontang-lantung dari satu tempat ke tempat asing lainnya dan hidup di dalam koper besarnya yang pengap dengan sorot mata yang tak ingin hidup, lebih banyak diam dengan tatapan kosong yang mengibakan—apalagi saat koper kesayangannya hilang dicuri orang—yang semakin menampakkan sorot keputusasaannya, saya kira Saman dan Ako sedang mencoba menggambarkan kondisi Kurdi saat ini kepada penonton.
Dalam sejarah peradaban manusia—atau boleh juga disebut peradaban Islam—di Timur Tengah, konflik seolah menjadi semacam bumbu dalam masakan yang tak boleh ketinggalan. Ia dibenci, tapi sekaligus dijadikan jalan bagi orang-orang di sana yang tak saling suka satu sama lain—dan ini sudah berjalan sejak zaman dulu, seperti turun-temurun. Berkonflik di sana artinya menjunjung harga diri. Dan itu seolah harus dilakukan ketika kita tidak suka, atau merasa teramcam, dengan dan oleh orang lain.
Suku Kurdi sudah kenyang akan hal itu. Mereka terlantar sebagai pengungsi bahkan sejak abad ke-20 di Timur Tengah, dan terus berlanjut hingga saat ini. Suku Kurdi adalah kelompok etnis di Asia Barat, yang sebagian besar mendiami wilayah yang dikenal dengan sebutan Kurdistan—suatu tempat yang meliputi wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Iran, Irak, Suriah di Asia, dan Turki di Eropa.
Jika kita telusuri asal usulnya, bangsa Kurdi merupakan salah satu penduduk asli daratan Mesopotamia dan di dataran tinggi di Turki bagian tenggara, Suriah barat laut, Irak utara, Iran barat laut, dan barat daya Armenia. Kini mereka membentuk komunitas sendiri, disatukan melalui ras, budaya, bahasa—walaupun mereka tak punya dialek standar sebagaimana di Indonesia, misalnya—agama dan kepercayaan mereka—walaupun berbeda-beda dan mayoritas adalah Muslim Sunni.
Pada awal Abad ke-20, orang Kurdi sebenarnya sudah mulai mempertimbangkan untuk membentuk negara sendiri—mereka menyebutnya sebagai “Kurdistan”. Sesudah Perang Dunia I dan kalahnya Turki Usmani dalam perang tersebut, melalui Perjanjian Sevres, negara itu dipertimbangkan untuk dibentuk.
Namun, tiga tahun kemudian, melalui Perjanjian Lausanne yang menetapkan perbatasan Turki modern, rencana itu dibatalkan, dan menyebabkan orang Kurdi menjadi kelompok minoritas di negara-negara yang baru dibentuk. Selama 80 tahun terakhir, upaya untuk membentuk negara Kurdi merdeka selalu dipatahkan dengan brutal.
Di mana-mana orang-orang Kurdi selalu ditindas, didiskriminasi. Selama periode dominasinya di wilayah The Fertile Crescentutara dan wilayah yang berdekatan dengan Pegunungan Zagros dan Taurus, wilayah Kekaisaran Ottoman Turki, pengungsian Suku Kurdi telah terjadi. Mereka dianggap pemberontak dan untuk itu mereka diusir.
Pada awal abad ke-20, minoritas Kristen di Kekaisaran Ottoman mengalami genosida (terutama selama Perang Dunia I dan Perang Kemerdekaan Turki), dan banyak orang dari Suku Kurdi yang menentang Turki juga diungsikan pada saat yang sama.
Etnik Kurdi mendapat perlakuan kasar di tangan otoritas Turki selama bergenerasi. Nama dan pakaian etnik Kurdi dilarang, penggunaan bahasa Kurdi dibatasi. Bahkan keberadaan etnik Kurdi ditolak, dan mereka dipanggil dengan sebutan “orang Turki Pegunungan”.
Tak hanya di Turki, di Irak, penindasan Kurdi untuk otonomi dan kemerdekaan telah berubah menjadi konflik bersenjata sejak pemberontakan Mahmud Barzanji pada 1919. Pengungsian orang Kurdi semakin parah selama konflik Irak-Kurdi dan program Arabisasi dari rezim Ba’ath yang bertujuan untuk membersihkan Kurdistan-Irak dari mayoritas Kurdi. Puluhan ribu orang Kurdi mengungsi dan melarikan diri dari zona perang setelah Perang Kurdi-Irak I dan II pada tahun 1960-an dan 1970-an.
Perang Iran-Irak tahun 1980-an, Perang Teluk I di awal tahun 1990-an, dan pemberontakan berikutnya, secara keseluruhan membuat beberapa juta pengungsi, terutama orang Kurdi, sebagian besar mendapat perlindungan dari Iran, sementara yang lain tersebar dan menjadi diaspora Kurdi di Eropa dan Amerika. Iran sendiri menyediakan suaka bagi 1.400.000 pengungsi dari Irak, yang sebagian besar berasal dari Suku Kurdi—yang terusir akibat Perang Teluk Persia (1990–91) dan pemberontakan lainnya.
Di Suriah, orang Kurdi merupakan 7%-10% dari keseluruhan populasi negara tersebut. Mereka tinggal di Damaskus dan Aleppo serta tiga wilayah yang berdekatan: Kobane, Afrin dan Qamishli. Di negara ini, mereka, sebagai warga negara, telah lama ditekan dan tak diberi hak-hak sipil. Sekitar 300.000 orang tak diakui kewarganegaraannya sejak tahun 1960-an, dan tanah orang Kurdi dirampas dan diberikan kepada orang Arab dalam upaya untuk “meng-Arab-kan” wilayah-wilayah Kurdi—seperti yang terjadi di Irak pada akhir 1970-an.
Kini, di Turki, Irak, Suriah, orang-orang Kurdi masih didiskriminasi. Dan Suitcase, dengan segala kesederhanaanya, mencoba menggambarkan dan menyampaikannya kepada kita semua bahwa, bukan hanya di Palestina atau di Afghanistan, tapi di belahan dunia lain juga masih terdapat praktik penindasan dan penjajahan yang bertentangan dengan hak asasi manusia—“bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.[T]