TIMBIS Paragliding (Paralayang Timbis)di atas ngampan adalah sport tourism yang ditawarkan Desa Adat Kutuh di Gumi Delod Ceking, Kuta Selatan. Atraksi wisata terbang layang ini menawarkan tantangan petualangan untuk uji nyali. Olahraga terbang layang ini mulai diperkenalkan pada akhir 1980-an oleh Bernad Fode dari Prancis. Ia meninggal (2011) setelah mendaki di Gunung dan dikremasi di Bali.
Terbang layang sebagai atraksi sport tourism makin berkembang sejak awal 1990-an hanya dengan bermodalkan payung parasut mengandalkan bantuan Sang Bayu dari laut. Perkembangan Timbis Paragliding makin pesat setelah adanya Event National Paragliding (1996, 1998,1999) yang dipusatkan di Pantai Timbis.
Pantai Timbis makin mendunia sejak digelarnya Asean Beach Game (ABG, 2008) dan Paragliding Accuracy World Cup (PGAWC, 2014). Di Pantai Timbis juga pecah Rekor Muri dengan penampilan penerbang terbanyak dalam sejarah Paralayang Nasional dengan formasi 88 dan 99 penerbang pada 2008 dan 2009.
Mencermati data sejarah itu, Timbis Paragliding yang dirintis I Ketut Manda adalah awal mulainya pariwisata di Desa Adat Kutuh. Nama Timbis adalah nama klasiran dalam peta wilayah Desa Kutuh, sedangkan nama Pantai Pandawa tidak ada dalam nama klasiran peta wilayah Desa Kutuh.
Nama Pantai Pandawa adalah hasil rekayasa untuk mempromosikan kawasan sejak 2012. Sejak itu, Pantai Pandawa makin dikenal dan pengunjung makin membludak. Sementara itu, Pantai Timbis yang sudah dikenal sejak leluhur Desa Kutuh ada, telah dikenal lebih dahulu di mancanegara melalui atraksi sport tourism, paragliding.
Kala Timbis Paragliding dirintis, akses menuju pantai adalah jalan setapak, sangat alami. Hal yang sangat disukai para tamu. Pantainya masih perawan dan menawan. Penuh sensasi. Sebagian anak-anak pantai yang membantu orang tua membudidayakan rumput laut kala itu mulai ikut bekerja sebagai porter membantu melipat payung parasut di tempat landasan pacu di Daratan Timbis dan kadang-kadang di tepi pantai, bergantung pada angin. Menggendong payung dari Pantai ke atas tebing dengan bayaran tidak lebih dari Rp 1.000,00 pada 1990-an dan kini 2024 sudah mencapai Rp 30.000,00.
Terbang di atas Ngampan bermusik ombak berbuih putih ibarat alunan genta yang meneduhkan hati penerbang dan penumpang menjelajahi tebing-tebing perkasa dari udara sepanjang Gunung Payung hingga mendekati Uluwatu. Hal ini mengingatkan saya dengan orang tua, yang dulu menjadi bandega, berjukung secara tradisional memancing ikan dari jalur Loloan Sawang Melang Pasih Kutuh menuju laut dekat Pura Uluwatu, yang disebut ngulur. Kata ngulur dekat dengan ngeluhur. Tetua Kutuh tempo doeloe menyebut Pura Uluwatu sebagai Pura Luhur. Bendega Kutuh yang ngulur artinya memancing ikan sampai dekat Pura Uluwatu. Begitulah perjuangan bandega Kutuh, mayasa lacur di tengah laut yang mahaluas, penuh risiko. Hasilnya pun dipersembahkan kembali ke Luhur sebagai ucapan terima kasih.
Jika kini anaknya terbang ngindang ”melayang” di udara menjelajah dari Gunung Payung hingga mendekati Uluwatu, sesungguhnya adalah proses napak tilas melalui jalur udara dengan penuh risiko seraya berdoa berharap Sang Bayu dari Laut berpihak pada penerbang dan penumpang agar angin baik-baik saja. Ibarat bermain layang-layang, penerbang mengundang angin melalui siulan sebagai mantra.
Betapa indahnya memanggil angin di atas tebing yang disebut ngampan yang berwibawa itu. Untuk sampai pada tahap itu, penerbang lokal seperti I Ketut Manda perlu berlatih dengan tekun penuh kesabaran dan kesadaran berguru pada Bernard Fode. Ibarat meditasi, seorang murid menjadi pembelajar dengan tekad kuat untuk menguasai materi pelajaran agar berhasil naik kelas bisa terbang, mengudara dengan keseimbangan dan kesetimbangan.
Oleh karena itu, I Ketut Manda dari Desa Adat Kutuh berutang budi pada Bernard Fode, yang berhasil mengembangkan olah raga Paralayang berpusat di Pantai Timbis. I Ketut Manda lalu memperkenalkan nama Timbis Paragliding dengan membuka website (1999) atas bantuan seorang bule dari Australia, Ata Kivilkim di alamat www.flybali.info atau www.timbis.com.
Melalui web ini, Timbis Paragliding makin dikenal dunia, bahkan Timbis menjadi idolanya para para penerbang kelas dunia dengan mengatakan “Amazing” sebagaimana dikatakan Max Ammann (Swiss) dan Deringer (AS) seperti dituturkan I Ketut Manda dalam sebuah wawancara dengan penulis.
Timbis Paragliding | Foto: I Ketut Manda
Bernard Fode berhasil menjadikan I Ketut Manda sebagai pembelajar yang tekun dan sungguh-sungguh menjaga integritas dalam berparalayang. I Ketut Manda sejak 1995 memulai kariernya menjadi porter lalu belajar terbang. Mulai dari terbang untuk kesenangan, lalu beralih ke master tandem, lantas menjadi guru (instruktur bersertifikat Nasional) yang berhak melatih tetamu domestik dan mancanegara untuk belajar terbang layang. Salah satu dari murid I Ketut Manda dari Malaysia bernama Mohammad Adam Bin Mohd Yusoh sekarang sudah menjadi pilot Qatar Airways.
Begitulah proses berguru bergulir. Dari murid menjadi guru. Dari guru menjadi murid. Dari guru menjadi penumpang. Dari penumpang jadi pilot. Semua guru semua murid. Siapa yang diuntungkan?
Pertama, I Ketut Manda sebagai pembelajar yang berhasil mengembangkan Paragliding sebagai sport tourism dan menjadi idola bagi sejumlah anak muda Desa Kutuh. Mereka pun dapat keuntungan secara finansial dan orang tua mereka berdagang menjual makanan dan minuman di tempat operasional Timbis Paragliding, dengan dua landasan pacu : di Timbis dan di Gunung Payung.
Kedua, Desa Adat Kutuh juga mendapat keuntungan secara finansial terutama sejak Timbis Paragliding dikelola oleh Desa Adat melalui Baga Utsaha Manunggal Desa Adat (BUMDA) Kutuh sejak 2015. Keuntungan dari Unit Usaha Timbis Paragliding pada tahun 2023 mencapai Rp 600 juta lebih. Angka yang fantastis bila melihat musim terbang yang tidak lebih dari 6 bulan pada musim kemarau (Maret – Oktober) setiap tahun dengan mengandalkan kekuatan Sang Bayu yang berhembus dari laut.
Bahkan saat Pandemi Covid-19, hanya unit Timbis Paragliding yang secara signifikan berkontribusi bagi BUMDA. Sebagai catatan, BUMDA Kutuh memunyai beberapa unit usaha : Unit Pantai Pandawa, Unit Pantai Gunung Payung, Unit Timbis Paragliding, Unit Barang Jasa, dan Unit LPD.
Timbis Paragliding | Foto: I Ketut Manda
Ketiga, Citra Desa Adat Kutuh makin terangkat dan dikenal orang dari berbagai daerah di Indonesia bahkan dunia. Timbis Paragliding telah berkontribusi pula menerbangkan tim penilai lomba desa tingkat nasional dan menjadikan Desa Kutuh sebagai Desa Juara Tingkat Nasional (2009, 2011) berkolaborasi dengan petani rumput laut yang kini ditinggal petani.
Dampak dari keberhasilan sebagai juara nasional, banyak kunjungan yang diterima desa dari berbagai wilayah di Indonesia dari level Pemerintah Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, bahkan Provinsi dan Kementerian. Semua itu berstatus tamu (wisatawan) yang membelanjakan sebagian koceknya di Desa Kutuh.
Pemerintah Desa Dinas dan Adat pasti disibukkan. Namun, sebagai titisan anak yang berguru di Batu Karang Delod Ceking, mesti memaknai sebagai berkah pantang untuk menyerah. Kuat kokoh sebagai mana batu karang yang diterjang ombak. Tegar berdiri. Begitulah seharusnya. Petarung yang gigih melawan panas terik matahari tanpa takut kulit hitam, yang penting hati selembut salju, seperti judul lagu Jamal Mirdad.
Oh, ya pembaca yang budiman. Bila ingin merasakan sensasi berparalayang di atas Ngampan Delod Ceking bisa reservasi lebih dulu, ke ketuttimbis@hotmail.com atau ke WA 08123916918. Kalau angin lagi berpihak bisa terbang bersama master tendem dengan harga domestik Rp 850.000/00 per 15 menit, sedangkan untuk tamu mancanegara dibandrol harga Rp 1.200.000,00 per 15 menit. Harga sudah termasuk asuransi. Mari mencoba terbang! [T]
BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT