- Artikel ini adalah materi sebagai pengantar “Workshop Menulis Puisi” Singaraja Literary Festival 2024, Jumat, 23 Agustus 2024, di Museum Buleleng
- Artikel ini disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Singaraja Literary Festival (SLF), 23-25 Agustus 2024
***
1. Belajar dari Keterampilan & Keterampilan dari Belajar
Seperti halnya memasak, menulis puisi juga merupakan sebuah keterampilan. Tidak pernah ada keterampilan yang terberi seperti halnya bernapas. Keterampilan nyaris selalu membutuhkan belajar: meresepsi, meniru, dan mengkreasi.
Pertama, meresepsi. Kiranya saya tak bisa tak ingat bagaimana saya memeroleh pertama kali imajinasi dari dongeng-dongeng (fabel, kisah-kisah nabi, cerita rakyat) yang dituturkan ibu setiap sebelum saya tidur. Dari pengalaman itu kemudian timbul antusiasme saya terhadap bahasa, yang ternyata membuat saya gemar membaca di kemudian hari. Terutama bahasa atau teks-teks yang mengandung imajinasi dalam bentuk persitiwa-peristiwa imajiner.
Antusiasme semacam itu beberapa tahun yang lain muncul lagi dalam bentuk yang sama sekali lain. Kali ini imajinasi itu berbentuk ungkapan dari sepotong puisi yang ditulis oleh Oka Rusmini: Aku mencari sepotong cinta yang bisa kutelan bagai ice cream[i]. Rupanya kalimat inilah yang menjadi momen perjumpaan pertama yang mengesankan bagi saya dengan puisi.
Kedua, meniru. Setelah momen itu, saya jadi tambah penasaran dengan puisi dan kemudian membaca puisi-puisi penyair lainnya, sampai kemudian timbullah keinginan menulis puisi, sekaligus sadar, ternyata ada banyak gaya dan teknik menulis yang berbeda-beda.
Ketika mulai pertama kali menulis puisi, saya merasa apa yang saya tuliskan itu kok biasa-biasa saja, idenya pun mentok di pikiran yang umum. Lalu saya hentikan dulu usaha itu. Saya kemudian coba baca-baca kembali saja puisi-puisi yang pernah mendapat kesan yang kuat di ingatan saya. Lalu saya coba membaca dengan tidak lagi menggunakan mode menikmati apa yang dibaca saja, tapi mencoba meniru teknik menulis dari yang dibaca.
Di antaranya yang saya ingat dan coba tiru di masa-masa awal menulis puisi adalah puisi-puisi Acep Zamzam Noor, Ahda Imran, dan Nirwan Dewanto. Dari puisi-puisi Acep Zamzam Noor di buku Menjadi Penyair Lagi saya meniru caranya mengolah alam menjadi metafor-metafor yang reflektif, meniru caranya memadukan tema sosial dengan romantisme personal. Dari puisi-puisi Ahda Imran di buku Penunggang Kuda Negeri Malam, saya meniru caranya membuat deskripsi-dekripsi sureal dan destruktif untuk menyampaikan kemurungan dan sinisme. Dari puisi-puisi Nirwan Dewanto di buku Jantung Lebah Ratu saya meniru caranya mendefamiliarisasi pengertian maupun imajinasi atas benda atau makhluk-makhluk tertentu dari pengalaman-pengalaman umum, bahkan dari puisi-puisi pada umumnya. Melalui belajar dari meniru inilah saya merasa punya berbagai sudut pandang yang tak sama atas materi/bahan yang masih sama sebelumnya.
Ketiga, mengkreasi. Bagi saya, kreativitas adalah reaksi lanjutan dari meresepsi dan meniru. Dari situlah kita belajar memahami konvensi dan mengembangkannya ke arah inovasi. Karena sadar bahwa mengatakan hal umum dengan cara yang umum sangatlah membosankan, semisal mendapatkan template massal ucapan selamat tahun baru. Bukan hanya membosankan, tapi juga membuat pikiran dan perasaan kita seperti tak ada. Inovasi seperti halnya “seblak”, di mana kerupuk mentah yang biasanya digoreng, difungsikan secara lain dengan ditumis, bahkan jadi pedas dan ketagihan pula!
Dari beberapa pengalaman yang sangat pribadi di atas, saya sadar bahwa menulis niscaya selalu merupakan dampak dari membaca.
2. Puisi dan Media Sosial: Medium Berkomuni dan Berempati Dengan Sesama
Peperangan, penggusuran, nepotisme hukum dan kekuasaan, pembunuhan, kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan, bunuh diri. Di saat yang bersamaan berhamburan pula konten-konten kegembiraan semisal meme, video-video lucu, joget-joget, dan berbagai eksotisme keseharian pribadi. Suka tidak suka, situasi paradoksal dan ironi semacam itulah kira-kira yang sering muncul bergantian di algoritma media sosial kita akhir-akhir ini. Lalu kenapa kita masih sanggup, punya waktu dan energi, bahkan perlu dan ingin untuk menulis puisi?
Tentu tidak mudah untuk mensimpflikasi jawaban untuk pertanyaan pelik semacam itu. Saya hanya jadi teringat puisi Mahmoud Darwish ini:
PIKIRKAN YANG LAIN [ii]
Ketika kau bersiap untuk sarapan, pikirkan yang lain
(jangan lupakan pakan merpati)
Ketika kau lancarkan perang, pikirkan yang lain
(jangan lupakan mereka yang mencari perdamaian)
Ketika kau membayar minuman, pikirkan yang lain
(mereka yang terpelihara oleh langit)
Ketika kau pulang, ke rumahmu, pikirkan yang lain
(jangan lupakan orang ungsian)
Ketika kau tidur dan menghitung bintang, pikirkan yang lain
(mereka yang entah tidur di mana)
Ketika kau bercakap dengan kiasan, pikirkan yang lain
(mereka yang kehilangan hak untuk bicara)
Ketika sejauh kau berpikir yang lain, pikirkan dirimu sendiri
(katakan, seandainya diriku lilin di kegelapan)
Frasa “pikirkan yang lain” yang terus berulang dalam puisi ini seperti berusaha memperlihatkan kepada kita tentang betapa berharganya hidup berdampingan dengan penuh empati. Mungkin karena empatilah kita masih setia dengan puisi, setia untuk senantiasa berhati-hati untuk melakukan segala sesuatu, setia untuk selalu mempertimbangkan egoisme pribadi.
Di sisi yang lain, media sosial yang memang diciptakan untuk merayakan berbagai sisi individualitas dalam diri kita, justru membuat kita kemudian kehilangan kendali atas ruang pribadi itu sendiri, lantaran segala hal pribadi mudah terintervensi dan dikendalikan oleh publik. Saya jadi teringat juga dengan puisi Setyaningsih ini:
KONTEN [iii]
Sampai siang ini, dia telah memulung 48K likes dan 205K views. 1.02 M subscribers menunggunya kepedasan mukbang bakso aci. Video pernikahannya banjir ucapan. Video kehamilan anak pertama diincar iklan.
Besok, dia mengunggah video lari pagi sambil panen daun bawang di pekarangan. Dia merekam adegan memasak sup ayam dan makan bersama keluarga. Rumah berlantai dua dibangun setelah menyukseskan orangtua berangkat haji.
Meski hampir lupa membangun garasi, dia membeli mobil mewah yang kelak dikendarai menembus jalan macet ke surga.
“Alhamdulillah,” ucapnya.
“Jangan lupa like dan subscribe ya, gaes!
Keluargaku, kontenku.”
Puisi ini saya pikir adalah sindiran halus yang sangat keras bahwa kebiasaan mengkotenkan hal pribadi di ruang publik seringkali menempatkan kita dalam kondisi “hampir lupa membangun garasi” demi kebutuhan dan tanggung jawab diri sendiri. Lupa yang merebut dan menciptakan kesenjangan dengan orang lain.
3. Keseharian sebagai Medan Penciptaan dan Penemuan Watak Pribadi dalam Puisi
Dalam dunia kreatif, seringkali ketika menulis, kita selalu dibayang-bayangi dorongan obsesif untuk membuat karya kita menjadi otentik dan mencapai kebaruan. Barangkali itu memang resiko yang niscaya terhindarkan, apalagi kita sudah membaca bentangan historis dari tradisi karya dari penulis-penulis sebelumnya.
Terkait otentisitas, saya pikir itu adalah dampak dari dialektika yang intens antara penulis dengan keseharian hidupnya. Keseharian yang saya maksud ialah segala hal yang terkait dengan konteks sosio-biografis penulisnya.
Sebagai contoh, mungkin di antara kita ada yang pernah membaca puisi-puisi Afrizal Malna. Puisi-puisinya dengan intens dan konsisten terus merepresentasikan absurditas kehidupan manusia modern. Ada banyak material-material khas kebudayaan modern berserakan dalam puisinya, dalam wujud kata, metafor maupun imaji. Kalimatnya seringkali non-linier, seperti halnya kesemrawutan kota. Fakta tekstual semacam itu saya pikir berkaitan erat dengan fakta sosio-biografis penulisnya yang juga kebetulan lahir, hidup dan berkarya di ruang kota. Bisa jadi pandangan ini nampak seperti cocokologi. Namun kita bisa mengeceknya sendiri tentang hal itu di berbagai wawancara dan fakta-fakta biografis penulisnya di berbagai sumber yang ada buku maupun internet.
Selain faktor konsistensi dan itensi, setidaknya bagi saya, penemuan watak pribadi (yang khas) itu adalah dampak dari bagaimana penulis meresepsi dan membiarkan dirinya berjalan bersama-sama dengan medan bahasa dan sosio-budaya yang ada di sekitarnya, sehingga antara karya dengan kesehariannya menemukan titik bersama.
Puisi yang ditulis dengan pov keseharian seorang guru dan seorang pekerja kantor swasta besar kemungkinan akan berbeda wataknya, dari mulai material bahasa sampai dengan yang digelisahannya. Misalnya dua puisi ini:
Julia F. Gerhani
BELAJAR AKSARA[iv]
Ibu Guru bilang jangan lupa memberi huruf kapital di awal kalimat, sedang Nessi lebih suka huruf kecil-kecil karena teringat butir-butir menir yang tidak ditampi Ibu. Huruf-huruf besar dan kecil bertabrakan di buku, Nessi tidak bisa menjadi polantas untuk menangkapnya. b dan d sama-sama lurus kakinya. Satu buncit di depan dan satu buncit di belakang, maka Nessi membaca bebek sebagai dedek dan mengingat adiknya yang suka mengambil permennya diam-diam. dada menjadi baba, dan Nessi mengingat ayahnya yang tidak pulang-pulang seperti percakapan bisik-bisik yang remang. Ibu Guru bilang jangan lupa memberi tanda titik di akhir kalimat, tapi Nessi suka tanda koma. Ia memberi tanda koma pada setiap akhir kata, untuk mengingatkannya: ada jeda di luka dada sebelum henti yang lama.
Ruhma Ruksalana Huurul’in[v]
ANAK BARU
anak baru di kantor besar
pulang lebih lambat dari senior
saat wawancara
kelebihannya adalah mengerjakan laporan
dalam waktu 8 jam
kekurangannya: mudah mengantuk
sekarang
kelebihannya ada di jam kerja
dan ia kekurangan jam tidur
Menulis dengan menempatkan keseharian sebagai medan penciptaan puisi saya pikir lebih leluasa, rasional dan memantik banyak kemungkinan penjelajahan lain atas puisi dan diri, ketimbang sibuk mengejar kebaruan yang entah kenapa tak pernah jelas tolak ukurnya. Teknik menulis mungkin bisa sangat dengan mudah dicuri atau ditiru. Tapi pengalaman-pengalaman personal atas keseharian rasanya tidak. Tentu keseharian bukanlah satu-satunya medan yang menarik untuk ditulis, ada banyak juga hal lainnya.
[i] Oka Rusmini. Pandora (Grasindo, 2008), puisi berjudul “Paranoia”.
[ii] Mahmoud Darwish. Almon yang Mekar dan Hal-Hal Lainnya (JBS, 2018).
[iii] https://www.buruan.co/puisi-puisi-setyaningsih/
[iv] https://www.bacapetra.co/puisi-puisi-julia-f-gerhani-arungan-tambah-kurang-bagi-kali/
[v] Ruhma Ruksalana Huurul’in. Pulang Vakansi (Halaman Indonesia, 2022)
- BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024