PERAYAAN 10 Muharam umat Muslim di Dusun Batu Gambir, Desa Julah, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng berlangsung sakral dan penuh kekeluargaan. Anak-anak bersama orang tuanya turun dari bukit, membelah hutan, dengan senyum yang lebar.
Sebelum sore ditutup Maghrib, mereka berbondong-bondong menuju Masjid Istiqomah, Selasa (16/7/2024) kemarin.
Para pemuda juga demikian, berkumpul di sana dengan baju rapi. Sedangkan para ibu di depan tungku memasak kebuli sedari pagi. Kemudian, nasi kebuli yang telah jadi, diponggok di atas kepalanya dan siap dihidangkan untuk dimakan bersama di tempat yang agung itu setelah tradisi selesai digelar.
Umat Muslim Batu Gambir sedang khusyuk di dalam Masjid Istiqomah | Foto: Fathur
Para bapak, yang datang dari ladang, turut membantu mempersiapkan yang lain. Di sekitar masjid, setelah hari sudah gelap, menjelma menjadi tempat pertemuan banyak orang. Sedangkan di dalam masjid mereka merayakan bulan Muharram yang suci tersebut setelah Isya—dengan khusyuk.
Hari bahagia di balik bukit Julah. Di bulan Muharram, tahun baru Islam, saatnya orang-orang Muslim Batu Gambir melakukan ritual suci, tradisi memandikan mustika (pusaka tua Batu Gambir)—yang mengikat tali persaudaraan umat Muslim di dusun tersebut semakin kuat.
Seorang ibu yang sedang membawa hidangan dan bungkusan-bukusan nasi kebuli | Foto: Fathur
Menariknya, ritual suci membasuh pusaka ini dilakukan oleh anak-anak. Anak-anak yang dipilih bertugas memandikan lima butir batu mustika (pusaka) sementara para orang tua membacakan kitab Al-Barzanji—kitab yang disusun oleh Sayyid Zainal ‘Abidin Ja’far bin Hasan bin ‘Abdul Karim al-Husaini asy-Syahzuri al-Barzanji ini berisikan kisah perjalanan Rasulullah Saw, puji-pujian kepadanya, dan doa-doa lainnya.
Seorang anak sedang memasukkan batu pusaka ke dalam air dan para tetua sedang melantunkan kitab Barzanji | Foto: Fathur
Orang dewasa hingga para dadong dan sesepuh lainnya bertugas menyelenggarakan prosesi tradisi tersebut. Artinya, semua orang memiliki perannya masing-masing, termasuk para pemuda dalam menyiapkan kayu bakar.
“Ini adalah bentuk perayaan Tahun Hijriyah, tahun baru Islam bagi kami umat Muslim di sini,” ucap Amir Mukmin, salah satu tokoh Muslim di Batu Gambir. Menurut Amir, kegiatan ini hanya meneruskan tradisi orang tua dulu dalam mengenang cikal-bakal adanya masjid di Batu Gambir.
Amir Mukmin, orang-orang di sana akrab memanggilnya Tuan Guru, juga menjelaskan mengenai alasan kenapa tradisi tersebut harus dilakukan anak-anak. Katanya, karena ritual suci itu mesti dilakukan oleh orang yang suci. Dan anak-anak dianggap masih suci karena belum baligh atau dewasa—dosanya belum tercatat.
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa tradisi ini adalah semata-mata untuk meningkatkan keimanan sebagai seorang Muslim dan kecintaan kepada Rasulullah Muhammad Saw melalui pembacaan Al-Barzanji tersebut.
Tradisi Penguat Identitas
Islam—atau masyarakat Hindu di sana menyebutnya agama suci, dulu (karena istilah “Islam” belum populer zaman dahulu)—dan Hindu di Batu Gambir disinyalir sudah hidup berdampingan sangat baik sejak dulu.
Konon, penyebaran agama Islam dan Hindu di sekitaran Bondalem dilakukan oleh empat punggawa (masing-masing beragama Islam dan Hindu) yang diutus oleh Kerajaan Karangasem ke Buleleng.
“Awal sekali, alm. Armani, buyut saya itu, diutus oleh Kerajaan Karangasem. Empat orang yang diutus, salah satunya buyut saya tadi. Dulu tinggalnya bukan di sini, tapi di Bondalem, di sana dikasih tanah,” terang Zaenudin (50), keturunan ke-5 dari Armani, tokoh muslim yang pertama kali datang ke Batu Gambir.
Kemudian, sekitar tahun 1880-an, lanjut Zaenudin, berjalanlah utusan kerajaan tersebut ke Batu Gambir dan mendirikan langgar—musala. Sampai hari ini, agama Islam kemudian berkembang dan memiliki tradisi yang khas, sebagaimana umat Hindu di sekitar daerah tersebut.
Zaenudin juga menjelaskan bagaimana asal muasal adanya pusaka yang sekarang sedang dimandikan tersebut. Alkisah, batu—semacam mustika—pusaka tersebut ditemukan oleh buyutnya saat mencangkul tanah untuk pembuatan pondasi langgar pertama.
Umat Muslim Batu Gambir sedang khusyuk salat di Masjid Istiqomah | Foto: Fathur
“Nah, batu itu sempat dibuang, dilempar, tapi pusaka itu datang lagi ke buyut saya di waktu yang lain. Terus saja begitu. Namun, suatu ketika buyut saya bermimpi, ini menurut cerita kakek, benda tersebut harus disimpan di langgar yang sekarang menjadi masjid ini. Dan setiap 10 Muharraman kami mandikan. Begitulah tradisi ini bermula,” kakek tua itu bercerita dengan menggebu-gebu.
Jauh-jauh hari sebelum 10 Muharram yang jatuh pada 16 Juli 2024, masyarakat Batu Gambir sudah mengumpulkan bahan-bahan makanan yang akan digunakan untuk jamuan saat acara. Pula membuat dapur umum di luar masjid.
Nasi kebuli, hidangan Timur Tengah yang terbuat dari beras ketan, kelapa, dicampur dengan bumbu-bumbu dan daging ayam itu menjadi sajian utama. Semua itu dimasak tanpa dicicipi terlebih dulu.
Hal tersebut juga termasuk rangkaian ritual yang sudah dilakukan umat Muslim Batu Gambir sedari dulu. Dan tradisi tersebut, yang diyakini dapat mengawetkan dan menguatkan identitas keislaman mereka, memang benar adanya.
“Karena tradisi itu adalah akar kehidupan. Sampai saat ini, masyarakat masih memiliki solidaritas yang cukup kuat,” ujar Gofur (33), Ketua Takmir Masjid Istiqomah. Kekeluargaan di Batu Gambir tidak bisa dibantahkan. Gotong royong satu sama lain masih lestari di sini.[T]
Reporter: Sonhaji Abdullah
Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto