“JUDUL skripsi saya, Analisis Dampak Pelatihan Customer Service dengan Pendekatan Jendela Johari Terhadap Kualitas Komunikasi Interpersonal dan Kepuasan di PT. Telkom,” cerita pria tua itu dengan nada pelan.
Berawal sebagai pensiunan dari perusahaan plat merah, tepatnya di PT. Telkom Cabang Kota Denpasar, ia mendapatkan sebuah ide dalam membuat judul penelitian skripsinya. Ia berkerja di PT. Telkom pada tahun 1980-an dan memasuki usia pensiun di tahun 2000-an.
Pria tua itu bernama Made Tawa. Usia senja yang harusnya dinikmati dengan bermain bersama cucunya, ia malah memilih jalan hidup untuk kembali mengejar ilmu pengetahuan.
Pada saat pandemi Covid -19 meluluhlantakkan tatanan, di tahun 2019 ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di STAHN Mpu Kuturan Singaraja dengan mengambil jurusan Ilmu Komunikasi.
Seperti kata pepatah, ilmu itu tidak akan pernah habis untuk dipalajari. Begitulah kata-kata yang menggambarkan sosok laki-laki tua itu. Kulit yang sudah mulai menyusut, warna rambut yang sudah memutih, tetapi semangatnya dalam menimba ilmu masih menyala.
Setelah kurang lebih lima tahun menempuh pendidikan S1-nya, lelaki kelahiran 1 Januari 1944 itu kini telah resmi menyandang gelar sarjananya.
***
Pagi yang cerah di hari Kamis, 30 Mei 2024, Gedung kesenian Gde Manik tampak begitu padat dari hari-hari biasa. Satu persatu kendaraan yang didominasi oleh roda empat itu keluar masuk gedung yang bersejarah di Kota Pendidikan itu.
Gedung itu tampak dipenuhi oleh ratusan mahasiswa yang ditemani kelurganya. Bukan untuk demo menuntut UKT diturunkan seperti yang tengah viral di media sosial, bahwa UKT akan dinaikkan. Tetapi mereka berkumpul bersama kelurganya untuk merayakan hari paling bersejarah bagi mereka yang menuntut ilmu pengetahuan di perguruan tingggi negeri. Biasa orang mengenalnya dengan perayaan wisuda.
Mahasiswa yang biasanya mengenakan jas almamater, pagi itu sedikit berbeda. Mereka menggunakan pakaian yang begitu gagah dan anggun. Jubah hitam lengkap dengan toga di atas kepala membuat aura di hari itu begitu kuat. Senyuman manis para mahasiswa berserta keluraga yang mendampingi menjadikan hari itu semakin terlihat sakral.
Di dalam gedung yang layaknya seperti bioskop itu, dengan ruangan yang bernuansa merah, terdapat tamu penting, PJ Bupati Kabupaten Buleleng, Ketut Lihadnyana.
Made Tawa saat diwawancarai banyak wartawan | Foto: Team Mpu Kuturan TV
Dan di antara 142 mahasiswa yang diwisuda, Tawa, kakek tua itu, yang paling kelihatan berbeda dari wisudawan lainnya. Ia tampak begitu memancarkan aura yang sangat bahagia. Satu persatu nama mahasiswa dipanggil untuk maju ke atas panggung guna pemindahan tali toga dan penyerahan ijazah.
Ketika MC memanggil nama lengkap Made Tawa, ruangan yang sunyi tiba-tiba dipenuhi dengan suara riuh tepuk tangan dari pada wisudawan dan tamu undanggan. Membuat ruangan itu seperti bergertar tergoncang oleh gempa.
Sambil dipapah oleh anak laki-lakinya, dibantu dengan beberapa panitia, Tawa, dengan langkah tertatih, maju keatas panggung, membuat suasana kala itu mejadi haru. Saat itu sangat tampak sekali perjuangan seorang pria yang sudah berumur 81 satu tahun itu dalam menuntut ilmu pengetahuan hingga mendapatkan gelar S.I.Kom
Tepat pukul 11.00 Wita, acara telah selesai dan banyak wisudawan yang masih sibuk berfoto mengabadikan momen 1 kali dalam seumur hidup itu. Berbeda dengan Made Tawa, baru keluar dari gedung yang sangat kental dengan salah satu parti politik itu, ia sudah ditunggu-tunggu para wartawan.
Di meja bundar yang disediakan oleh panita wisuda, ia duduk bersama dengan anak laki-lakinya yang bernama Made Guna Setiawan. Beberapa handpone disodorkan di dekat mulutnya untuk merekam suara ketika ia berbicara terkait kisahnya sampai bisa sarjana.
Saat itu, dia berbicara dengan nada yang sangat pelan sekali. Kondisi sakit stroke ringan dari tahun 2021, membuat geraknya terbatas. Oleh karena itu, saat maju ke atas panggung ia harus di papah.
“Kendala saya selama ini adalah kodisi tubuh, saya terkena stroke ringan dari tahun 2021 sampai sekarang. Hingga menyababkan saya dulu sempat cuti kuliah untuk proses penyembuhan,” ujar pria yang memiliki cucu 40 ini.
Tawa memang memiliki 10 anak, dan masing-masing anaknnya memiliki 4 orang anak lagi sehingga ia memiliki 40 cucu. Banyak memang—tidak bisa dibayangkan seperti apa ramainya jika 40 cucu itu kumpul dalam satu rumah yang sama.
Ia juga bercerita akan kembali melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2. “Habis ini saya akan kembali melanjukan S2 dengan target jurusan teologi—karena masih ada yang ingin saya cari. Katanya itu harus S2, baru bisa ketemu materinya,” cerita pria itu sambil tersenyum di depan para wartawan.
Tawa memiliki semangat yang tinggi dalam hal menuntut ilmu pengetahuan, karena ia memiliki motto “belajar itu tidak ada batas waktunya, tidak ada terlembat untuk menggejar pendidikan”.
Di akhir wawancara, Tawa berpesan kepada generasi muda agar tidak cepat bangga atas apa yang telah dicapai, karena perasaan bangga itu adalah awal dari sebuah kegagalan.[T]
Reporter: Gede Agus Eka Pratama
Penulis: Gede Agus Eka Pratama
Editor: Jaswanto