HANYUT. Petang menuju malam dengan cuaca yang cerah, barangkali menonton sebuah film merupakan pilihan yang tepat—meskipun sebagian orang mungkin lebih memilih sekadar duduk di tepi pantai sembari menikmati matahari terbenam.
Di akun Instagram sebuah media jurnalisme warga di Singaraja, tatkala.co, saya melihat poster yang berisi informasi pemutaran dan diskusi tiga film pendek. Ketiga film yang akan ditayangkan itu, dilihat dari judulnya, masing-masing memiliki daya tarik tersendiri untuk ditonton.
Salah satu film pendek yang diputar malam itu berjudul Berdoa, Mulai (2022). Film pendek yang bercerita tentang realitas yang terjadi di masyarakat dan diakhiri dengan plot twist menggelitik itu, adalah buah karya dari filmmaker muda asal Cirebon, Jawa Barat, bernama Tanzilal Azizie.
Berdoa, Mulai diputar dan didiskusikan bersama dua film pendek lainnya, Bersama Membangun Negeri (2022) karya Deo Mahameru dan Membicarakan Kejujuran Diana (2021) karya Angkasa Ramadan, di Rumah Belajar Komunitas Mahima serangkaian Tatkala May May May 2024 yang digelar tatkala.co, Kamis (23/5/2024) malam.
Menikmati jalannya pemutaran film dalam acara Tatkala May May May 2024 | Foto: Pande
Pada cover film Berdoa, Mulai, digambarkan seorang perempuan yang sedang duduk di meja makan sembari menyatukan kedua telapak tangannya di hadapan sepiring makanan. Setahu saya, itu adalah sikap berdoa menurut keyakinan umat Kristiani.
Dari cover dan judul film tersebut, sebenarnya sudah bisa ditebak bahwa pesan agama lah yang akan menjadi poin utama dalam film ini. Namun, siapa sangka, ada saja adegan-adegan yang tidak bisa saya tebak. Justru, seringkali saya dibuat tertawa oleh setiap adegan di film itu.
Pada dasarnya, keseluruhan cerita film Berdoa, Mulai berbicara tentang kehidupan Ruth, seorang siswi beragama Kristen yang menempuh Pendidikan Menengah Atas di salah satu sekolah yang mayoritas beragama Islam.
Apakah tidak ada sekolah lain di daerah tersebut? Setidaknya itu yang menjadi pertanyaan saya, sehingga Ruth memutuskan untuk bersekolah di tempat tersebut.
Sayangnya, di film itu tidak dijelaskan secara pasti apa alasan Ruth memilih bersekolah di tempat itu. Mungkin saja, hanya itu satu-satunya sekolah Menengah Atas yang ada di daerahnya, pikir saya.
Beberapa kali ajaran agama Islam coba ditekankan dalam film tersebut. Seperti adegan Ruth yang harus ikut berdoa dan mendengarkan ceramah tentang agama Islam pada saat upacara bendera.
Dilanjutkan dengan pelajaran pendidikan sejarah yang menjelaskan tentang sila pertama Pancasila, bahwa sesungguhnya sila pertama Pancasila awalnya berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya yang kemudian diubah menjadi Ketuhanan yang Maha Esa, dan tentang penjelasan neraka jahanam dalam perspektif agama Islam.
Rusdi saat mengutarakan pendapatnya atas ketiga film yang diputar di acara Tatkala May May May 2024 | Foto: Pande
Beberapa siswi yang berhijab menjadi pelengkap untuk menguatkan film ini, apalagi ada adegan dua pemuda yang sedang salawatan saling berebut microphone menambah sedikit gelak tawa penonton pada malam itu.
Dari semua hal kejadian, pada dasarnya sudah berhasil menggambarkan bagaimana perasaan Ruth yang berada di tengah lingkungan dengan keyakinan yang berbeda dengannya. Tentu saja, ia harus bisa menyesuaikan diri dalam setiap keadaan di lingkungan sekolahnya itu.
Hal seperti itu pada dasarnya merupakan sesuatu yang lumrah terjadi di Indonesia. Apalagi di kota-kota besar. Siswa dengan keyakinan yang berbeda-beda, tentu bukan lagi sebuah fenomena baru di sebuah lingkungan sekolah.
“Jalan ceritanya sudah menjadi rahasia umum, apalagi dibumbui humor-humor kecil yang sukses menggelitik,” kata Rusdi, salah satu peserta pemutaran film dan diskusi yang hadir pada malam itu.
Mengenai hal itu, saya sependapat dengan Rusdi. Sekali lagi, memang benar konsep dan ide cerita film ini merupakan suatu hal yang biasa—bahkan sudah menjadi rahasia umum. Meskipun begitu, lewat adegan-adegan lucu yang tak terduga membuat film ini berhasil mematok posisi nyaman para penonton untuk tetap menyaksikannya sampai akhir cerita.
Satu adegan percakapan yang saya ingat adalah percakapan Ruth dan Abdul di sebuah kantin sekolah milik Bu Nendra. “Daging babi itu rasanya gimana sih Ruth?” begitu Abdul memulai percakapannya.
Dan Ruth menjawa jika dia tidak doyan dengan daging babi. Namun, Abdul menekankan jika Ruth adalah orang Kristen dan biasanya orang Kristen memakan daging babi. Begitu poin dari percakapan mereka.
Uniknya, ketika Abdul mengatakan jika daging babi haram hukumnya dalam ajaran agama Islam, Ruth mengcounter pernyataan itu dengan sebuah pertanyaan, “Lalu kamu mabuk minum-minuman keras itu tidak haram?” tandas Ruth yang membuat Abdul terdiam seketika.
Ya, daging babi, bagaikan aktor antagonis yang harus menjadi perdebatan dalam setiap percakapan agama. Sehingga, pertanyaan Ruth kepada Abdul tersebut bagai tameng sederhana yang tidak akan bisa dijelaskan lagi, tentang apakah minuman keras tidak sama haramnya dengan memakan daging babi?
“Harusnya Ruth tidak ikut dalam pelajaran agama yang berbeda dengannya, justru adegan itu keluar dari realitas kehidupan yang sebenarnya,” tambah Rusdi dalam diskusi itu.
Sekali lagi, saya setuju dengan pendapat itu. Seingat saya, dulu, ketika ada teman yang berbeda agama dengan saya, ia diperbolehkan untuk tidak mengikuti pelajaran tersebut. Dan hal itulah yang seharusnya terjadi. Tapi, di film itu Ruth justru terlihat betah mengikuti pelajaran agama yang berbeda dengannya.
Film ini sukses membuat saya ingin mengulasnya lebih jauh karena ending filmnya yang menarik dan mengelitik. Apalagi membandingkan dengan realitas masyarakat saat ini.
Seperti pada adegan keluarga Ruth yang akan menikmati santapan makan malam bersama. Ketika itu, Ruth disuruh memimpin doa oleh ayahnya. Awalnya tidak ada yang salah pada adegan itu. Justru Ruth terlihat lancar mengucapkan doa makan menurut keyakinannya.
Namun, hal yang tak terduga dan—sekali lagi—berhasil membuat penonton tertawa ketika Ruth akan menyantap makanannya itu, ia mengucapkan, “Bismillahirahmanirrahim”. Sontak, hal itu membuat keluarga Ruth menjadi kaget dan terbengong-bengongdengan tindakan Ruth tersebut.
Sebagai ending, adegan tersebut berhasil membuat penonton kaget dan tertawa. Meski, menurut Rusdi, hal itu adalah hal yang biasa dalam masyarakat saat ini, namun bagi saya inilah hal unik yang bisa dijadikan sebuah ide untuk membuat tulisan kali ini. Tentu saja saya mencoba menghubungkan apa yang terjadi pada Ruth dengan kehidupan keluarga saya.
Suasana menonton ketiga film dalam acara Tatkala May May May 2024 | Foto: Pande
Parta, sepupu kecil saya. Umurnya baru menginjak usia 5 tahun. Namun, dengan kelucuan anak usia 5 tahunan, apa yang terjadi pada Ruth tampaknya terjadi juga pada Parta.
Bayangkan saja, betapa lucunya ketika Parta begitu hafal mengucapkan doa makan menurut agama Islam, meskipun dengan ucapan yang masih terbata-bata.
“Siapa yang mengajari ia doa seperti itu?” tanya saya ketika baru pertama kali mendengarnya mengucapkan doa makan menurut agama Islam. Pada saat itu, saya benar-benar kaget dibuatnya. Saking kagetnya, saya justru mencoba menghentikan ucapan doa yang keluar dari mulut mungilnya.
Namun sayang, tindakan saya itu justru membuat air mata Parta pecah. Mungkin tindakan saya salah. Sepertinya saya terlalu bersemangat dan membuat Parta sedikit terkejut. Jujur saja, saat itu saya benar-benar tidak sengaja. Kalimat yang membuat Parta menangis itu terlontar secara spontan.
“Di Upin-Ipin,” jawab ibu Parta sembari tertawa kecil, ketika saya tanya darimana Parta mempelajari bacaan doa agama Islam itu.
Parta memang lebih fasih mengucapkan hal-hal unik yang ia dapat dari kartun yang berasal Negeri Jiran itu. Bahkan ia lebih sering menggunakan beberapa kosa kata Melayu dalam percakapan sehari-hari. Dan tentu saja, hal itu menjadi bahan candaan keluarga besar ketika Parta mencoba berkomunikasi menggunakan bahasa tersebut.
Jika bernostalgia sedikit, kartun Upin & Ipin merupakan tontonan langganan sejak saya masih seumuran Parta saat ini. Sialnya, hingga kini, di umur saya yang mulai menginjak kepala dua, ternyata kartun dua anak kembar botak itu masih menjadi tontotan kesukaan saya.
“Eits, jangan menyalahkan. Tidak ada yang berbeda, semua sama—sama-sama mengajarkan hal baik,” ccap bapak menimpali jawaban Ibu Parta saat itu.
Saya ingat, ketika masih kecil dulu, bapak pernah berpesan untuk selalu menekankan jika setiap doa, apa pun itu, entah dari agama kita sendiri atau dari agama lain, tidak ada yang mengajarkan keburukan atau menjerumuskan seseorang. Karena bapak percaya semua doa yang diucapkan itu untuk kebaikan kita bersama. Sehingga, tidak ada yang perlu disalahkan.
Diskusi via Zoom dengan filmmaker dan sutradara film dalam acara Tatkala May May May 2024 | Foto: Pande
Meskipun doa itu dikatakan baik, tapi sebaiknya tidak mengucapkan doa dari agama lain untuk kegiatan sehari-sehari. Kita memiliki keyakinan. Keyakinan yang telah hadir sedari lahir sudah semestinya kita jaga. Apalagi setiap agama sudah memiliki doa, entah dari bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, tapi semua itu sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Serial kartun Upin & Ipin secara tidak sengaja memberikan penekanan-penekanan dan memasukan elemen-elemen agama ke dalam audiovisualnya. Sehingga, secara perlahan akan menjadi titik di mana penonton akan lebih mudah mengingat dan memahami.
Untuk hal ini, peranan kedua orang tua sangat penting—untuk terus mengawasi agar tontonan anak masih tetap dalam tahap aman. Mengingat, anak kecil masih senang-senangnya bergerilya dengan imajinasinya.
Ruth, ataupun Parta, menjadi salah satu contoh nyata dari bagaimana lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan seseorang. Sehingga, saya berharap, nantinya, sebuah doa tidak lagi diucapkan asal sembarangan, seperti yang terjadi pada Ruth dan Parta.
Dan belajar untuk tidak asal berucap, juga merupakan antisipasi serta memberikan efek pembatasan bagi diri kita sendiri. Perlu digaris bawahi, bahwa doa dari agama lain tidak selamanya selaras dengan apa yang kita lakukan. Apalagi kita tidak memahami secara pasti arti dan pelaksanaan doa tersebut bagaimana. Alangkah baiknya, menggunakan doa sesuai dengan keyakinan agama kita masing-masing.
Film Berdoa, Mulai bagi saya menjadi karya film yang layak untuk ditonton. Selain karena telah berhasil dikemas dalam sebuah cerita yang sederhana dan penuh makna, film ini juga menggambarkan bagaimana realitas yang sering kali dihadapi orang-orang yang hidup dalam lingkungan dengan keyakinan yang berbeda.
Secara tidak langsung, film ini mengajarkan bagaimana arti sebuah toleransi, dan memahami bahwa di balik perbedaan, ada nilai kecil dan makna besar yang bisa menyatukan kita.[T]