Apabila dihitung sejak tanggal 29 Juni 2012, maka per bulan Mei 2024, landskap subak hampir 12 tahun ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Selama dua belas tahun pengakuan itu berjalan, nama subak kian berkibar di dunia global.
Namun, ketenaran acapkali memang tidak berjalan lurus dengan perbaikan. Meskipun kian terkenal, permasalahan subak seolah hanya berputar pada lingkaran setan yang sama. Tidak banyak masalah subak yang berhasil kita urai. Persoalan subak justru terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu.
Pembusukan demi pembusukan atas sistem tata kelola air leluhur Bali ini terus terjadi. Posisi dan kondisi subak tetap hidup segan mati tak mau. Berbagai persoalan terus menikam subak. Masalah-masalah tersebut antara lain adalah alih fungsi lahan, daya dukung irigasi, serta kesejahteraan petani subak.
Peradaban Subak
Subak setidaknya telah eksis selama seabad di Bali. Menurut Callenfels, kata kasuwakan ‘wilayah subak’ telah terekam dalam Prasasti Pandak Badung (1071 Masehi) yang kemudian dipertegas melalui keterangan kalimat, masukatang huma di kadandan di errara di kasuwakan rawas ‘mengukur sawah di Kadandan pada Yeh Aa dalam wilayah Subak Rawas’ pada Prasasti Klungkung (1072 Masehi) (Purwita, 1993 dalam Sutawan, 2008).
Jauh daripada itu, istilah-istilah yang berkaitan dengan tata cara bercocok tanam dan tata kelola air telah dikenal dalam beberapa prasasti masa Bali Kuno lainnya. Callenfels mengatakan bahwa kata huma ‘sawah’ telah ada dalam Prasasti Sukawana A1 ( 882 Masehi), sedangkan undagi pangarung ‘tukang pembuat terowongan/aungan’ ditemukan dalam Prasasti Bebetin A1 pada tahun 896 Masehi) (Purwita, 1993 dalam Sutawan, 2008).
Dalam khazanah manuskrip, eksistensi subak sangat banyak ditemukan. Teks Tantu Panggelaran yang diduga berasal dari abad ke-15 membicarakan asal-muasal jenis padi yang kini hidup di dunia. Pada teks yang sama, konon pada masa silam para dewalah yang telah mengajarkan manusia bercocok tanam untuk bertahan hidup. Berdasarkan narasi ini, maka tidaklah salah apabila orang Bali sangat menjunjung tinggi pertanian.
Manuskrip lain yang memiliki hubungan erat dengan subak antara lain Darma Pamaculan. Teks ini kadang kala disebut Pratekaning Bhatara ring Bali. Darma Pamaculan bisa dikatakan sebagai salah satu teks etik bagi petani di Bali. Kedudukannya sama seperti halnya teks Kusuma Dewa yang jadi sumber etik bagi seorang pamangku ‘pendeta’ maupun Siwagama bagi orang Bali yang memilih jalan spiritual (sulinggih). Darma Pamaculan menjelaskan seluk-beluk praktik pertanian, baik dari praktik fisik hingga rohani berupa pelaksanaan ritual.
Tradisi lisan orang Bali juga mewariskan pengetahuan tata kelola air di Bali. Sebagai contoh adalah mitos Ida Ratu Ayu Mas Membah yang menarasikan bagaimana air Danau Batur mengalir ke berbagai kawasan di Bali hingga membangun relasi budaya antara masyarakat pegunungan dengan masyarakat pesisir.
Penempatan subak sebagai entitas mahapenting dalam peradaban Bali ditunjukkan melalui praktik ritual dan adat-istiadat orang Bali. Petani Bali memandang padi selayaknya manusia, sehingga padi harus dipelihara layaknya memelihara manusia. Ada masa ketika padi dianggap tengah hamil, sehingga petani merayakan kehamilan padi itu dengan suka cita melalui ritual biukukung.
Ritual-ritual orang Bali tidak terlepas dari daur hidup padi. Salah satu yang terpenting adalah ngusaba. Ngusaba dapat dikatakan sebagai pesta ungkapan syukur masyarakat terhadap hasil panen melimpah ke hadapan Tuhan Yang Mahamenghidupi. Ngusaba dilakukan dalam berbagai tingkatan, seperti di Pura Ulun Carik, Pura Masceti, hingga Pura Ulun Danu.
Di Bawah Asuhan Pariwisata
Popularitas subak membawa dampak seperti dua mata pisau yang sama-sama tajam. Pada satu sisi popularitas subak menyajikan potensi besar dalam perlindungan dan pengembangannya untuk kesejahteraan masyarakat pendukungnya. Namun, di sisi lain, eksploitasi yang terlampau masif acapkali tidak memperhatikan kelestarian subak. Subak seolah menjadi kanibal memakan dirinya sendiri.
Popularitas subak menjadikannya bahan jualan pariwisata yang efektif. Daerah dengan persawahan indah, seperti Jatiluwih dan Tegalalang, menjadikan lahan persawahan sebagai magnet kunjungan wisatawan. Langkah tersebut berhasil. Kunjungan wisatawan meledak, tempat tersebut menjadi destinasi wisata favorit yang dikunjungi ribuan orang sepanjang tahun.
Arus pariwisata ke subak pada akhirnya mendorong alih fungsi yang kian masif. Kedatangan wisatawan direspons dengan penyediaan fasilitas pariwisata seperti rumah makan, coffeeshop, vila, hingga hotel berbintang. Tidak jarang pemainnya adalah kaum kapitalis yang berorientasi hanya pada keuntungan sebesar-besarnya tanpa memberi dampak bagi masyarakat.
Pada sisi yang lain, pemilik lahan yang tersandera kesejahteraan akhirnya hanya bisa berhadapan pada realitas kehidupan: lebih baik menjual lahan daripada bertani yang tak menjanjikan masa depan. Mereka dipaksa berdamai dengan keadaan, sembari berharap kebaikan pemodal untuk memberi jatah pekerjaan bagi anak cucunya.
Fasilitas penunjang pariwisata yang dibangun di kawasan subak acapkali mencaplok lahan-lahan produktif persawahan dan ekosistem penyokong subak seperti sempadan sungai atau jurang. Bersama dengan itu, mereka turut “membegal” air—sumber daya utama dalam ekosistem subak—untuk memanjakan wisatawan. Seluruh praktik itu dilegitimasi seolah bijak dan berkelanjutan dalam bingkai ekowisata yang konon menawarkan keharmonisan antara alam dengan pariwisata.
Petani-petani Bali yang masih bertahan dalam lakunya sebagai wong tani seolah tidak terurus. Petani nyebak ‘menangis keras’ membaca nasib. Tanggung jawab petani subak demikian banyak, terbingkai sakala-niskala. Bersamaan ketika mereka ditonton pada panggung semu pariwisata subak, harga pupuk dan piranti produksi pertanian tetap mahal melambung di angkasa. Apabila mereka panen, harga gabah sering tak bersahabat karena berbagai persoalan. Segala kepahitan itu belum dihitung jika mereka mengalami gagal panen atau lahannnya mengalami musibah akibat bencana dan perubahan iklim.
Konflik horizontal antara desa adat dan subak dalam beberapa tahun belakangan juga kian mengkhawatirkan. Konflik semacam ini tercitrakan pada kasus “saling klaim” Pura Masceti Medahan antara desa adat dan subak setempat. Konon, persoalan ini muncul sebagai dampak turunan dari “pemberian kuasa” pemerintah pada desa adat sebagaimana diatur dalam Perda Desa Adat.
Meruwat Kanibalisme Subak
Kanibalisme yang merasuki sistem subak sesungguhnya berakar dari cara pandang kita terhadapnya. Banyak dari kita hanya memandang subak sekadar sawah. Subak dipandang hanya sebagai hamparan sawah atau terasering bertingkat-tingkat yang sedap dipandang mata sebagaimana dipromosikan dalam buklet promosi pariwisata. Oleh karena itulah banyak dari kita menempatkan subak hanya sebagai objek wisata dengan menafikkan jalinan nilai luhur yang ditanam leluhur selama berabad-abad.
Teks Rajapurana Pura Ulun Danu Batur yang disimpan dan disakralkan oleh masyarakat adat Batur bersama aliansi subak mengingatkan pada kita tentang nilai konektivitas dan solidaritas yang dikandung sistem subak. Tata kelola air yang menjadi napas hidup subak adalah ajaran mengelola perkawanan dan kesetiakawanan. Warisan ini mengajarkan orang-orang Bali untuk berbagi peran sembari tetap terhubung demi kesejahteraan bersama.
Nilai-nilai perkawanan dan kesetiakawanan itu termaktub dalam konsep pasihan ‘tempat-tempat terkasih’ dalam struktur sosio-kultural manusia Batur. Pasihan—sebagaimana dijelaskan Rajapurana Pura Ulun Danu Batur bagian Babad Patisora, Pangeling-eling Pasihan, dan Pratekaning Usana Siwa Sasana—merujuk pada kawasan atau organisasi yang memanfaatkan air dan tanah milik Ida Bhatari Sakti Batur.
Anggota Pasihan Batur kini jumlahnya 340-an lembaga (desa dan/atau subak). Jumlahnya telah beranak pinak dari konsep awal sejumlah 45 lembaga. Konsep ini lahir dari keyakinan bahwa air dan tanah adalah milik seluruh rakyat, bukan milik satu dua orang. Secara spiritual, pemilik air dan tanah termanifestasi sebagai Ida Bhatara Sakti Makalihan, yakni entitas Tuhan yang bergelar Ida I Ratu Sakti Ayu Luwih atau Ida I Ratu Tengahing Segara atau Ida Bhatari Dewi Danuh (pemilik air) dan Ida I Ratu Sakti Madue Gumi (pemilik tanah).
Masyarakat yang memanfaatkan lahan-lahan dan air milik Ida I Ratu Sakti Batur memiliki kewajiban berbakti kepada dua manifestasi Tuhan Yang Mahapengasih tersebut. Bakti masyarakat pasihan itu direalisasi melalui persembahan sarin tahun atau sawinih ‘hasil panen’ pada saat pelaksanaan upacara terbesar di Pura Ulun Danu Batur—pura pemujaan Ida I Ratu Sakti Batur, yakni pada Ngusaba Kadasa.
Nilai-nilai yang dititipkan melalui Bhisama Bhatari Batur di dalam konsep pasihan penting untuk dikontekstualisasi pada era kekinian untuk “meruwat” kanibalisme subak yang kian mengkhawatirkan. Persembahan sarin tahun mengajarkan manusia untuk tidak tamak. Perkawanan dan kesetiakawanan dikemas dalam laku nyata berupa apresiasi sarin tahun bagi masyarakat di hulu oleh masyarakat di hilir.
Manajemen satu pulau wajib direalisasi dalam kebijakan nyata. Pemerintah sebagai leading sector perlu memetakan ulang bentang alam Bali secara menyeluruh. Zonasi perlu dilakukan. Ketika ada kawasan dimanfaatkan untuk aktivitas produksi, harus ada kawasan yang tetap berperan menjaga kelangsungan sumber daya.
Dalam konteks pengembangan subak menjadi pariwisata, sawah dan ekosistem penunjangnya mengambil peran sebagai sumber daya. Sawah, hutan, dan sungai berada di hulu, sementara pariwisata di hilir. Maka, pemerintah, tanpa kecuali, harus melindungi lahan subak dari ancaman alih fungsi pembangunan pariwisata. Polanya dapat dengan mereplikasi subak abadi.
Demi menjamin kesejahteraan bersama, seluruh keuntungan dari aktivitas pariwisata dapat dikelola pada satu pintu, sebelum didistribusikan ke seluruh rakyat secara berkeadilan. Distribusi kesejahteraan ini dapat dikemas dalam bentuk penyediaan fasilitas publik memadai seperti layanan kesehatan, air bersih gratis, dan/atau dana dukung pendidikan maupun pemberdayaan petani.
Pemerintah idealnya berani mensubsidi segala keperluan petani, termasuk membebaskan petani subak dari berbagai pajak. Menuntut pelestarian subak hanya dari podium orasi, tanpa melihat penderitaan petani hanyalah mimpi indah yang terlalu usang. Omon-omon doang! [T]
BACA artikel lain dari penulis JERO PENYARIKAN DUURAN BATUR