JUMAT sore, 17 Mei 2024 saya melakukan perjalanan menuju area Jatiluwih, Penebel, Tabanan, Bali. Rasanya tidak perlu saya jelaskan Jatiluwih yang sangat dikenal, baik oleh warga Bali, Indonesia maupun mancanegara.
Berangkat dari area Canggu, desa yang konon telah sangat macet menyamai ibu kota ini, saya memutuskan untuk mengaktifkan GPS di gawai. Sekadar memastikan ada jalan tikus yang bisa dilalui umtuk sampai di Jatiluwih lebih cepat.
Melewati Kediri, Tabanan, akhirnya saya masuk pusat Kecamatan Penebel. Terlalu percaya akan teknologi GPS (General Postioning System) tanpa pernah membaca atau mencari tahu peta perjalanan secara manual juga tidak baik.
Beberapa arahan GPS menyuruh saya putar balik , masuk kanan, kiri, dan akhirnya setelah saya turuti, saya tiba di jalan buntu. Tetapi perjalanan selalu mempunyai sisi kejutan yang membuat kita selalu banyak tahu.
Melewati arahan GPS saya membaca sebuah plang dengan tulisan Warung Kopi JIRO, tepat di sisi jalan. Saya ingin singgah. Karena sudah petang saya tidak jadi singgah. Saya meneruskan untuk jalan lagi.
Tersesat kedua kalinya, saya malah dibarahkan ke Subak Babahan dan menemukan sign “Nyarik Kopi” yang lagi banyak dicari oleh pemburu sawah, kopi sunrise dan sunset. Akhirnya saya mendekati wilayah untuk sampai di Jatiluwih.
Memasuki area Jatiluwih, penjor ramai di mana-mana. Ada apa? Saya penasaran. Oh iya, ada gawe besar di Bali tentang air ternyata. World Water Forum, sahut pekerja yang dengan semangat memasang rangkaian janur meski hari sudah petang.
Setelah check -in di sebuah penginapan, saya memutuskan untuk mencari suguhan minuman hangat. Di tepi jalan di Jatiluwih, samar-samar saya melihat seorang pria dengan sepeda motor dan payung khas pedagang minuman keliling. Tidak berpikir panjang akhirnya saya menepi.
Pria itu Wayan Sudiarta namanya. Pria dari Banjar Bolangan, Babahan, Penebel. Ia yang berusia 62 tahun ini ternyata pemilik Warung Kopi Jiro yang saya sempat lihat di jalan.
Wah, akhirnya saya bisa menikmati obrolan sambil ngerempah di Kopi Rempah Jiro.
Warung Kopi Rempah Jiro di Jatiluwih | Foto: Don Rare
“Jiro sendiri mempunyai kepanjangan Jamu Asli Indonesia Rempah Original,” kata pria yang juga di kenal dengan nama Pak Candi ini.
Warung di rumahnya ia bangun pada September 2023. Setelah pensiun ia memutuskan untuk berjualan di seputaran Jatiluwih sejak bulan Januari 2024.
“Jadwal mangkalnya setiap hari Jumat, Sabtu dan Minggu dan di hari-hari libur,” ujar Pak Candi.
Spesial buat hari Minggu, Kopi Rempah Jiro akan mangkal dari pagi sampai malam. Sedangkan hari Jumat dan Sabtu jadwal mangkal dari sore mulai jam 13.00 sampai jam 20.00.
Warung keliling Kopi Rempah Jiro di tepi sawah di Jatiluwih pada malam-malam yang dingin | Foto: Don Rare
Pak Candi mempunyai latar belakang pendidikan nutrisionis. Ia pria yang tidak pelit dengan ilmu rempah dan mempunyai tujuan yang sangat mulia dalam memandang realita.
“Saya tidak sekedar berjualan, tetapi bagaimana generasi muda mampu mengenali akarnya. Rempah salah satu alasan dan akar bagaimana indonesia dijajal oleh bangsa asing,” ungkapnya.
Sambil meneguk minuman rempah jahe, pandan, temu ireng, saya semakin intens berkomunikasi terkait menu yang dijajakan.
“Kopi rempah, jahe sereh, jebug arum, cengkeh, daun pandan, madu, dan gula merah, itu adalah beberapa bahan rempah yang kita punya dan masih banyak lagi,” tuturnya.
Sambil mengambil sebiji pisang gedang saba rebus, saya bertanya berapa penghasilan Pak Candi? Dan ia memberi gambaran angka yang bisa memotivasi anak muda, mungkin untuk tidak gengsi menjadi pedagang dibandingkan misalnya menjadi ASN .
Pak Candi menghidangkan kopi di wrungnya | Foto: Don Rare
Penghasilnya paling sedikit Rp.300.000, dan itu pun hanya setengah hari. Taruhlah penghasilannya Rp.200.000 bersih, maka bisa dihitung berapa penghasilannya dalam sebulan.
Dalam benak saya langsung menghitung. Anggaplah 5 hari kerja mengikuti pemerintah, maka satu bulan akan menjadi 20 hari. Rp. 200.000X 20 = Rp.4.000.000. Lumayan melebihi gaji pegawai PPPK yang baru dilantik.
Tetapi ini bukan tentang uang dan hasil semata, ini tentang akar, ini tentang rempah dan ini pastinya tentang menjadi hidup adalah sebuah pengabdian. Pengabdian pada hidup bisa saja menjadi pengingat bahwa rempah adalah kita, dan mengenalkan itu adalah sebuah pekerjaan yang mulia. Karena hari sudah larut dan embun turun di benteng sawah terakhir di Bali ini, saya meneguk sisa rempah dari Warung Rempah Jiro ini seraya membayar Rp. 10.000. [T]
Reporter: Nyoman Nadiana
Penulis: Nyoman Nadiana
Editor: Adnyana Ole