TAHUKAH anda wadak? Pertanyaan klise ini terpaksa terlontar mengikuti kata pembuka konten di media sosial. Mengingat terminologi “wadak” hanya diakrabi oleh kalangan krama Bali yang bermukim di Kecamatan Kintamani bagian barat. Setidaknya mereka yang pernah melihat/menjumpai sapi “liar” di kawasan itu.
Ada tiga desa yang memiliki tradisi memelihara wadak di kawasan itu, Desa Selulung dan Desa Mengani di Kabupaten Bangli, dan Desa Tambakan di Kabupaten Buleleng. Tulisan ini khusus mengulas wadak yang ada di Desa Mengani.
Jika baru pertama kali melihat wadak tidak jarang protes di jaman sekarang masih ada warga memelihara sapi secara liar? Protes ini tentu budidaya sapi liar akan sangat merugikan. Sapi liar tidak jarang menjadi hama bagi tanaman petani seperti jagung, pisang, kacang atau yang lainnya. Terkadang juga memicu kecelakaan lalu lintas, jika tidak disadari ada wadak di pinggir jalan, pengguna jalan bisa terkejut dan kecelakaan sulit dihindari saat lalu lintas ramai.
Lantas apa itu wadak? Bagi warga Desa Mengani, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli sangat akrab dengan wadak. Wadak di Mengani, diartikan sebagai sapi yang disakralkan karena sebelum dilepas secara liar sapi ini diupacarai di Jaba Pura Dalem Agung Mengani lewat upacara “ngerasakin”. Wadak ini sebagai bagian dari wali yang diselenggarakan di Desa Adat Mengani.
Foto: Made Sarjana
Ada 17 jenis upacara wali yang dilaksanakan mulai dari wali mesegeh di ujung desa bagian utara dan diakhiri panguangan di Pura Bale Agung. Dari 17 upacara wali adat tersebut ada beberapa upacara besar seperti wali neduh, wali nyelamping (ngaturang emping), wali ngusaba kelod di Pura Dalem Pingit Desa Mengani, sebulan setelahnya upacara Ngusaba Kaja di Pura Puseh. Sehari setelah Ngusaba Kaja dilanjutkan dengan wali panguangan.
Wali panguangan menjadi upacara puncak dari rentetan Wali Adat di Desa Adat Mengani. Lama panguangan berlangsung antara 7-10 hari dengan agenda utama nunas wadak, ngerempah wadak, dan ngelayud. Nunas (meminta) wadak atau ngejuk/menangkap menjadi satu acara yang ditunggu-tunggu warga Mengani mulai anak-anak hingga yang memasuki usia senja baik laki-laki dan perempuan.
Kegiatan ini memacu adrenalin karena warga laki-laki meboros/berburu wadak. Terkadang wadak yang diburu tidak selalu ditemukan di wilayah Desa Mengani tetapi di desa tetangga. Tahun 2023, krama Adat Mengani berburu wadak hingga ke Dusun Lawak, Desa Belok Sidan, Kabupaten Badung. Tahun 2010, wadak yang ditemukan di Desa Bunutin, Kintamani, Bangli.
Untuk wali di Desa Adat Mengani pada tahun 2024 ini dilaksanakan pada minggu ke-3 April 2024 antara 23 – 29 April 2024. Prosesi “nunae” wadak dilaksanakan pada Kamis (25/4/2024). Saat ini ada enam wadak dan yang akan di-“tunas” adalah yang paling besar. Istilah “nunas wadak” menunjukkan kegiatan berburu wadak sebagai kegiatan sakral.
Prosesi diawali dengan meatur piuning ke seluruh pura yang ada di Desa Mengani yang dilaksanakan para jro keduluan (jro kebayan, jro kebau, dan jro singukan). Desa Adat Mengani sama seperti desa ada di wilayah Kecamatan Kintamani, pemerintahannya menggunakan sistem ulu-apad yakni ada 60 orang krama desa pengarep (warga yang punya hak mengelola tanah ayahan desa) memiliki posisi duduk secara berurutan di bale panjang saka roras di Pura Bale Agung Desa Mengani.
Foto: Made Sarjana
Warga yang baru menikah dan menggantikan orang tuanya sebagai krama (warga) desa pengarep ada di posisi paling teben/bawah. Jika “karirnya” mulus, seorang krama desa dimungkinkan mendapatkan posisi sebagai keduluan dan memimpin upacara. Selanjutnya persembahyangan bersama oleh seluruh krama dengan harapan agar prosesi nunas wadak berjalan lancar. Aktivitas nunas wadak terkadang diiringi situasi yang tak terduga. Sebut saja proses nunas wadak tahun 2024 ini semula diperkirakan sangat mudah ternyata harus bersusah payah.
Berdasarkan informasi pecalang “jro gede”, demikian sebutan penuh rasa hormat warga Mengani untuk sapi liar yang disakralkan itu, ada did ekat desa. Mengingat keberadaan wadak yang dekat dan sudah berhasil diikat oleh pecalang, informasi itu menyebabkan banyak yang menduga prosesi ngejuk (meangkap) wadak tidak berlangsung lama. Dugaan itu ternyata jauh panggang daripada api. Kendati sudah terikat, ketika banyak warga hadir di lokasi ternyata wadak itu kaget dan lari tunggang langgang.
Perburuan pun dimulai, wada lari kencang menuju selatan dan setelah 1 jam warga mencari ditemukan diujung selatan wilayah Desa Mengani, tepatnya beberapa puluh meter diutara Bendungan Sidan, yakni bangunan besar di Bali yang sedang dibangun pada masa pemerintah Presiden Joko Widodo saat ini. Adrenalin krama Mengani pun terpacu untuk mendapatkan wadak itu, sekitar lima jam perburuan barulah jro gede berhasil dimasukkan kandang di Jaba Tengah Pura Bale Agung.
Pada Jumat (26/4/2024), wadak itu dijadwalkan disembelih untuk sarana upakara. Sebelum disembelih. Sama halnya dengan upacara nunas wadak, prosesi “ngerempah” atau menyembelih ini juga sacral. Ada persembahyangan dan pementasan kesenian tradisional baik tari wali seperti tari baris dan rejang yang ditarikan seka truna-truni serta tari bebali berupa rejang renteng dan baris gede.
Setelah itu ada prosesi menyembelih wadak dilakukan secara simbolis oleh keduluan (pemimpin upacaraq adat) dengan menusukkan keris selama tiga kali sebagai simbolis. Selanjut daging sapi/wadak diolah untuk sarana upakara dan sisanya bagi merata untuk 243 KK warga Mengani. Sabtu 927/4/2024) ada upacara ngelayud artinya masyarakat membagi daging yang dipersembahkan sebagai sarana upacara tersebut. Jadi saat panguangan ada dua kali pembagian daging sapi, saat ngerempah dan nglayud.
Foto: Made Sarjana
Lantas kenapa krama Mengani mesti mempertahankan tradisi memelihara “wadak”? Jawabnya ini kearifan lokal terkait peningkatan produksi pertanian dan strategi menjaga ketahanan pangan yang diterima Krama Mengani secara turun temurun. Tujuh belas (17) tahapan upacarapada wali adat Desa Mengani di masa lampau berkaitan dengan budi daya padi gaga (padi di tegalan/lahan kering).
Budidaya padi ini dalam setahun hanya sekali panen, dan wali-wali itu diadakan ditujukan agar padi tumbuh subur dan berhasil baik. Ketika usai panen, ada upacarq pnguangan sebagai “pesta rakyat” saat panguangan. Krama Desa Adat Mengani bersuka ria mengucapkan rasa syukur atas keberhasilan panennya.
Prosesi menyembelih wadak wujud rasa syukur atas kebehasilan menghasilkan protein hewani. Sapi dipilih tentu saja karena sapi bisa tumbuh besar sehingga menghasilkan daging yang cukup bagi seluruh warga desa. Hal ini ditunjukkan dengan kebiasaan, sisa daging yang dihaturkan sebagai sesajen dibagi secara merata kepada seluruh warga.
Foto: Made Sarjana
Wali di Desa Mengani punya makna khusus untuk menjaga kesehatan lahir batin bagi warganya. Tradisi ini sebagai strategi khusus menguatkan ketahanan pangan atau setidaknya mengajarkan kepada warga setempat untuk seimbang dalam menyediakan pangan berupa ketersediaan karbohidrat dan protein. Rangkaian wali untuk dengan tujuan menghasilkan padi yang berlimpah dan berkualitas, sedangkan tradisi memelihara wadak sebagai upaya menyiapkan protein yang memadai.
Kondisi ini menjadi alasan kuat, tradisi wadak memang tak sepatutnya ditolak, karena ada pelajaran penting bagi generasi penerus untuk selalu berusaha mengelola usaha tani secara sekala dan niskala, membangun kebersamaan serta berbagi di puncak kegiatan wali adat. Yuk, melali ke Mengani sekali-sekali, nikmati keindahan alam dan tradisi serta belajar berbagi antar sesama. [T]
BACA ARTIKEL LAIN DARI Penulis:Made Sarjana