DI TENGAH lahan becek dan berlumpur, sekelompok petugas dari Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng dan dua orang petani sedang bersiap menebar benih padi merah (padi bali) di sepetak lahan Subak Sambangan, Banjar Babakan, Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Kamis (7/3/2024) pagi. Di atas bedengan-bedengan yang sebelumnya sudah diberi garis dan patok penanda benih, mereka menyusun bulir-bulir padi itu secara merata.
“Bibit ini sebelumnya sudah direndam di air selama dua hari,” ujar Made Suadyana sambil menyuguhkan kopi hitam yang baru saja diseduh. Pagi itu gerimis memang turun. Meski tak sampai membuat kuyup, tapi cukup melunakkan tanah dan membuat alas kaki bernoda lumpur. “Setelah direndam, ditiriskan sehari, baru disemai,” sambung petani pemilik lahan yang dijadikan Dinas Pertanian sebagai uji penanaman itu.
Di tengah gerimis, Suadyana memimpin orang-orang dari Dinas Pertanian itu untuk mulai menebar benih. Mereka melepas alas kaki. Membenamkan kaki yang telanjang itu ke dalam lumpur berair di sela-sela bedengan. Gabah-gabah padi merah yang terbungkus plastik dibedah dan ditebar secara merata. Sementara mereka menyemai sambil bersenda gurau, seorang petani lainnya asyik dan fokus memotong ilalang. “Untuk dijadikan penutup benih yang sudah ditebar,” terang Suadyana sebelum terjun ke petak penyemaian.
I Gusti Ayu Maya Kurnia, Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Buleleng, dan jajaran sedang menyemai bibit padi merah | Foto: Jaswanto
Ilalang-ilalang yang panjang itu dipotong seukuran bedengan, sekitar setengah meter. Pemakaian rumput belukar ini bukan tanpa alasan. Tapi sungguh sangat beralasan. Bisa saja sebenarnya menggunakan jerami sebagai penutup benih yang telah disebar, tapi itu sangat berisiko. “Kalau pakai jerami, biasanya masih ada satu atau dua padi tersisa di sana. Nanti itu ikut tumbuh, campur jadinya,” kata Suadyana.
Padi merah yang disemai di lahan Suadyana, merupakan bibit yang diambil dari Desa Munduk. Di Buleleng, daerah Munduk, Gobleg, dan Gesing memang masih menanam dan melestarikan varietas padi bali—jenis padi yang hari ini mulai digantikan dengan padi hibrida. Banyak petani menilai, meski harganya lebih mahal, rentang waktu semai, tanam, sampai panen padi bali terlalu panjang. Petani hari ini tak cukup sabar akan hal itu. Tapi mau bagaimana lagi, zaman telah berubah.
“Bibit awalnya memang dari Munduk. Tapi yang kami tanam saat ini merupakan hasil panen tahun lalu—yang ditanam di Subak Babakan,” ujar petani pensiunan POPT Dinas Pertanian Buleleng itu. Sebagai seorang yang pernah mengabdikan diri di Dinas Pertanian Buleleng, Suadyana merelakan beberapa petak sawahnya untuk dijadikan lahan persemaian, percobaan pengembangan varietas padi merah di Buleleng.
Sebelum hari penyemaian dilakukan, katanya, ia dan pihak dinas sudah melakukan koordinasi dengan pengurus Subak Sambangan untuk memastikan suplai air ke lahan percobaan itu cukup. “Sehingga dapat mendukung pertumbuhan dan kualitas padi yang dihasilkan bisa lebih bagus dari tahun-tahun sebelumnya,” sambungnya.
Proses pemotongan ilalang sebagai penutup bibit padi yang sudah ditebar di persemaian | Foto: Jaswanto
Secara teknis, program ini tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pihak Dinas Pertanian masih mencoba menerapkan SOP yang sama. Meski begitu, pertimbangan dalam pemilihan lahan, pemeliharaan, usaha pencegahan hama, akan dan sudah dilakukan berdasarkan kondisi di lapangan, tidak monoton harus mengikuti purwarupa setahun atau dua tahun yang lalu.
“Setelah bibit ditanam, maksudnya dipindah ke lahan yang lebih luas, seperti tahun-tahun sebelumnya, kami akan melakukan pengamatan seminggu sekali,” kata Suadyana.
Pengamatan itu dilakukan sebagai bentuk lanjutan proses percobaan dan kontrol apakah tanaman membutuhkan penanganan—Suadyana menyebutnya penyemprotan—pestisida atau tidak. Dan mengenai pemupukan akan digunakan pupuk organik. “Tapi, kalau diperlukan kimia, itu pun harus sesuai rekomendasi dinas—karena mereka yang tahu takarannya,” tutur Suadyana tegas.
Uji Mutu Pengendalian OPT
Sebagaimana yang tertuang dalam judul, kegiatan yang diinisiasi Dinas Pertanian Buleleng ini bertujuan untuk memperbaiki genetik padi merah Desa Munduk. Hal ini dilakukan sebagai sebuah usaha untuk, setidaknya, sebagaimana telah disinggung di atas, dapat memangkas masa semai, tanam, dan panen.
Di Munduk, padi jenis ini ditanam di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Tapi di tangan orang-orang Dinas Pertanian, varietas ini dicoba ditanam di dataran yang lebih rendah. Dan ini bukan percobaan yang pertama.
Penyemaian di lahan milik Suadyana di Subak Sambangan itu merupakan yang ketujuh—G7 mereka menyebut. Pada tahun sebelumnya, setidaknya dua tahun belakangan, mereka mencoba menyemai dan menanam di wilayah Subak Babakan Sambangan, tidak jauh dari tempat percobaan tahun ini.
Program perbaikan genetik padi merah ini sudah dikerjakan sejak tahun 2019. Perlu diketahui, dari awal penanaman sampai hari ini, fokus Dinas Pertanian memang bukan berorientasi pada jumlah produksi. Tapi lebih kepada, sekali lagi, pemangkasan masa semai dan panen. Toh, percobaan ini juga dilakukan di lahan yang terbatas. Bahkan, di Munduk, di Gobleg, atau di Gesing, pada umumnya padi merah juga ditanam tidak lebih luas dari padi hibrida.
“Jadi, untuk saat ini, fokus kami bukan peningkatan produksi dulu, tapi mempersingkat masa semai dan panen, baru produksi,” I Gusti Ayu Maya Kurnia, Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Buleleng, menerangkan. Perempuan yang akrab dipanggil Bunda itu ikut serta menebar benih padi merah di Subak Sambangan pagi itu.
Sampai sejauh ini, menurut Bunda Maya, percobaan yang dilakukan cukup membanggakan. Padi merah yang biasanya membutuhkan masa semai sampai sebulan bisa dipangkas menjadi dua puluh sampai dua puluh lima hari. Ini sebuah pencapaian. Sebab, di tanah asalnya, di Munduk, misalnya, petani membutuhkan waktu semai sampai sebulan lebih. Mempersingkat masa semai adalah salah satu tujuan Dinas Pertanian.
Made Suadyana sedang menata ilalang di atas bibit padi yang sudah disemai | Foto: Jaswanto
Tak hanya masa semai, masa panen juga berusaha dipangkas. Pada percobaan terakhir, setahun lalu, sejak winih padi merah ditanam di Subak Babakan, sekitar 137 hari sudah dapat dipanen. Padahal, biasanya, padi merah baru bisa dipanen setelah berumur 160-an hari. Ini menjadi kabar baik bagi petani yang “tak sabaran” —walaupun kenyataannya masih kalah cepat dengan masa panen padi hibrida.
Selain melakukan percobaan untuk memangkas masa semai dan panen, program ini juga bertujuan untuk menguji mutu pengendalian hama—atau organisme pengganggu tumbuhan (OPT)—padi merah yang berasal dari Munduk. Untuk melakukan itu, rencananya Dinas Pertanian Buleleng akan bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) setelah padi dipanen.
“Ini merupakan usaha untuk menciptakan varietas padi merah Buleleng. Selama ini kita belum punya varietas sendiri,” ujar Maya. Ia terlihat sangat serius saat mengutarakan hal tersebut. Setelah berhasil dengan percobaan uji mutu pengendalian OPT, Dinas Pertanian baru akan fokus memikirkan produktivitas padi merah.
Sampai hari ini, dalam konteks masalah dan tantangan yang dihadapi, iklim adalah anomali—dan ini sangat berpengaruh terhadap hasil panen dan proses pelaksanaan program. “Itu hal yang tidak bisa diprediksi. BMKG memberi informasi bahwa hari ini akan hujan, pada kenyataannya malah terik. Kita tidak bisa mengendalikan itu,” ujar Kabid Tanaman Pangan itu sembari tersenyum dan menyeka keringat di dahinya.
Sedangkan dalam hal uji mutu pengendalian OPT, untuk tahun-tahun yang lalu, bisa dikatakan tidak cukup menyenangkan. Tapi ini bukan karena ketidakseriusan atau kelalaian petugas, hanya saja lahan yang dipilih ternyata sudah terpapar hama wereng dan kawan-kawan—yang mengharuskan petugas melakukan penanganan menggunakan pengawahama kimia. Untuk itu, berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, kali ini petugas lebih selektif dalam menentukan lahan yang dijadikan tempat uji coba dan serius perihal perlakuan terhadap hama.
“Panen di tahun-tahun yang lalu sampai tidak kami kirimkan untuk diuji. Tapi untuk tahun ini, kami berharap bisa diuji. Kami melibatkan petugas OPT yang sudah pengalaman dalam menangani padi merah di desa-desa di Banjar. Setidaknya ada lima orang POPT yang kami libatkan secara intensif—karena ini sangat penting,” terang Maya serius. Petugas POPT (Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan) tersebut sudah terlibat sejak pemilihan benih, perendaman, penyemaian, hingga penanaman, perawatan, dan panen nantinya.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole